"Lihat langit, Nak!"
Mataku mengikuti tatapan ayah. Menengadah. Â Bias jingga terlihat di balik punggung Bukit Barisan. Agaknya, benih-benih hujan masih terlelap di bilik persembunyian.
Mata ayah masih bertahan menikmati jejak matahari yang perlahan meredup di ufuk barat. Bilang ayah, senja pertama setelah nyaris satu minggu, hujan betah berlama-lama mengunjungi kampungku.
"Akhirnya, lampu langit padam!"
Tak seperti nyala bara di tungku. Saat perapian padam, yang bersisa abu pembakaran berwarna kelabu. Lampu langit padam meninggalkan gelap. Dan senyap.
Tanpa suara, sesaat Ayah beringsut dari bangku. Tangannya meraih gelas, tergesa menandaskan cairan pekat kopi hingga terlihat ampas. Tiba-tiba, Ayah berdiri di hadapku. Tangannya menunjuk lima gelas kosong di lantai.
"Hayuk masuk! Saatnya, menitip cerita ke langit!"
Tak berubah! Itu cara ayah memberitahu waktu maghrib telah tiba. Diam-diam, lengan kiri ayah singgah di bahuku, memaksa langkah kakiku ikut bergerak menuju pintu. Seakan memberi tanda, ayah selalu ada, jika dingin malam bertamu.
***
"Mantap!"
Dua jempol dan satu senyuman Ayah menyambutku, yang mengiringi langkah ibu. Â Aku tahu, tatapan ayah tertuju ke tanganku.