***
"Kau lihat? Nyaris di setiap rumah ada pohon pepaya, kan? Itu ulah ayahmu!"
Pagi-pagi sekali, aku diajak Ibu berjalan kaki keliling kampung. Tak hanya bercerita tentang kenangan di masa kecil ibu, tapi juga bercerita tentang apa saja yang telah dilakukan ayah, sejak dua tahun lalu.
"Ayahmu yang bagikan bibitnya ke setiap rumah. Alasannya, memanfaatkan lahan tidur!"
"Hahaha..."
"Tiga hari sekali, akan datang pembeli pepaya dengan membawa mobil. Orang kampung tak lagi harus menjual ke pasar!"
Aku menyimak cerita ibu yang penuh semangat. Akupun teringat kisah Ayah yang pernah bertengkar dengan kepala sekolah, gara-gara ayah menanam banyak pepaya di tanah kosong yang berada di belakang setiap kelas.
Sambil tertawa, Ayah menamakan gerakan itu: "Revolusi Pepaya". Namun, tawa ayah semakin keras saat harus menerima kenyataan, sekolah itu kemudian lebih dikenal sebagai "Sekolah Pepaya!".
Kini, revolusi pepaya itu, telah merambat ke kampung ibu. Bedanya, tak lagi di tanah belakang kelas yang kosong. Tapi di setiap pekarangan rumah orang kampung.
Ibu mengajakku pulang, setelah ingat ayah tinggal sendiri di rumah. Saat memasuki halaman, kulihat sedang bicara dengan empat anak muda yang datang bertamu.
"Ibu berharap, semoga tahun depan kampung ini sudah ada lampu. Biar anak mudanya maju! Tapi Ayahmu tak setuju. Malah mengajak anak-anak muda itu ke pertanian dengan menanam sayuran! Dasar orang aneh!"
Aku tertawa mendengar kalimat terakhir ibu. Ibu lupa, sudah ada lampu di kampung ibu. Ayahku.
Curup, 28.11.2022
Zaldy Chan