Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kandang Ayam

28 Juni 2022   16:22 Diperbarui: 28 Juni 2022   16:25 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kandang Ayam (Sumber foto: pixabay.com)

"Dorong yang kuat!"

Lagi, satu sentakan nada menyusup ke liang telingaku.

Aliran nada itu tak berhenti di situ, terus naik dengan cepat ke puncak kepala, berserakan di batang otak yang berserabut. Kemudian meluncur dengan deras ke arah dada, memicu debar kencang di dua bilik jantung. Sebelum berhenti pelan memendam rasa pahit.

Baca juga: Pulang

"Iya. Itu benar. Tarik dengan pelan, Nak!."

Nada suara itu sedikit menurun, namun tak menghentikan jantungku berdebar. Satu garis tipis terlihat di ujung papan kayu seberan. Limbah peti buah dari rumah Pakde Marno, tetangga sebelah rumah. Ganggaman tanganku masih gemetar memegang gagang gergaji.

"Genggamnya santai saja! Biar tanganmu tak cepat lelah!"

Kukendorkan genggaman tangan pada gagang gergaji. Tapi, aku kesulitan melakukan dorongan pada jejak garis yang telah ditinggalkan oleh mata gergaji.

"Dorong yang kuat, tarik yang pelan. Dorong kuat, tarik pelan."

Kusesuaikan gerak tangan kanan sesuai dengan perintah itu. hingga telingaku, hanya merekam dua kata bergantian : "Dorong, tarik! Dorong, tarik."

Mataku melihat mata gergaji semakin dalam terbenam di badan kayu. Semakin lama, ayunan tanganku terasa semakin ringan. Kayu berdiameter lima centimeter itupun terpotong dua.

"Sudah, Yah!"

Sepasang tanganku menunjukkan dua potong kayu. Sepasang mata tua yang sejak tadi duduk di sisiku sambil memberi instruksi, menatapku. Segaris senyuman hadir di sepasang bibir yang menghitam akibat gulungan rokok nipah. Ayah bangkit berdiri sambil meraih sebilah papan.

"Sekarang, belah papan ini. Kau ukur dulu, biar sama besar!"

Tanpa suara, kuambil bilah papan dari tangan Ayah. Mataku mencari penggaris dan pensil.

"Bukan penggaris yang itu. Gunakan siku-siku ini!"

Penggaris berbentuk huruf L terpampang di wajahku. Tanpa suara, Ayah meraih kembali bilah papan di tanganku. Dengan cekatan, sepasang tangan tua itu bergerak lincah memainkan pensil dan siku-siku di atas bilah papan.

"Ikuti garis tengah ini!"

Jari telunjuk Ayah menunjuk garis hitam tebal di badan papan. Kuanggukkan kepala, kemudian meletakkan bilah papan di atas anak tangga rumah. Tangan kananku bersiap mengayunkan mata gergaji ke ujung garis.

"Ganti dengan gergaji warna biru! Mata gergaji potong berbeda dengan gergaji belah!"

***

"Dorong yang kuat!"

Kulihat tangan kecil itu terayun lamban. Namun, mata gergaji bergerak liar di antara garis hitam pensil pada potongan kayu. Sebelum terlepas dan berjatuhan di lantai rumah, seiring jeritan anakku.

"Aduh!"

Terkesiap, mataku melihat warna merah darah di tangan kiri anakku. Spontan, kuraih jempol mungil tangan kiri anakku, segera kumasukkan ke mulutku. Rasa asin sesaat menguasai lidahku. Tak lagi ada suara.

"Masih sakit?"

"Sedikit."

"Masih mau bantu Ayah?"

Anggukan pelan tanpa ragu dihadirkan sosok kecil di hadapku. Kuraih potongan kayu dan gergaji yang tergeletak di lantai.

"Lihat cara Ayah dulu, ya?"

Ah, ingin rasanya melontarkan tiruan kalimat ayahku puluhan tahun lalu; "Kau anggap gampang menggunakan gergaji?"

***

Seperti narapidana yang baru bebas dari sel isolasi, sepasang anak ayam sibuk berlarian di dalam kandang baru, berbahan kayu dan bilah bambu, berukuran satu meter persegi. Sesosok tubuh mungil memilih diam dengan tatapan mata tajam mengamati kejadian di dalam kandang.

"Jadi, ayam ini akan tidur di tongkat kayu itu, Yah?"

"Iya."

"Kalau yang jantan berkokok, yang betina bertelur kan, Yah?"

Kuanggukkan kepala sambil menahan tawa. Mata bocah lelaki berusia enam tahun itu beralih menatap jempol tangan kirinya yang dibalut plester.

"Kenapa? Sakit lagi?"

"Lebih sakit jari telunjuk yang terpukul palu saat memaku tadi, Yah!"

"Oh! Waktu kecil dulu, Ayah juga pernah kena palu, saat memaku, Nak!"

"Tapi, aku gak nangis!"

"Harus! Anak Ayah, gak boleh cengeng, kan?"

Kuajukan ibu jari tangan kananku. Wajah anakku sumringah, kemudian membantuku membereskan peralatan yang tadi digunakan untuk membuat kandang ayam.

***

"Tadi si Adek cerita, jari tangannya terluka kena gergaji, Mas!"

Satu suara mengusik mataku dari layar ponsel. Segelas kopi yang baru diseduh, diletakkan di hadap dudukku. Kuikuti tatapan mata istriku ke arah dinding kamar tidur. Jarum pendek di jam dinding membeku di angka sepuluh.

"Luka kecil! Dia sudah tidur?"

Sekilas kulihat anggukkan kecil. Istriku memilih duduk di sisi kiri. Kutatap wajah lembut sosok perempuan yang hingga kini sanggup bertahan mendampingiku.

'Dia gak bilang, jari telunjuknya kena palu?"

"Iya."

"Dia cerita, kalau dia menahan sakit dan gak nangis?"

"Iya. Karena Mas yang bilang, kalau anak lelaki itu jangan...."

"Dia juga...."

"Iya. Si Adek malah mampu cerita dengan detil cara-cara membuat kandang ayam. Terus bilang, kalau Ayahnya dulu pun diajari Kakeknya cara membuat kandang ayam."

Kuraih gelas berisi kopi di hadapku. Kusesap sedikit. Perlahan, kugenggam jemari tangan kiri istriku. Sambil mengusap pelan cicin pernikahan yang melingkar di jari manisnya.

"Dia bilang, kalau tadi kena marah?"

"Eh, tadi Mas marah sama si Adek?"

"Gak! Tapi Ayahku dulu begitu!"

Istriku memilih diam. Mungkin membayangkan wajah ayahku. Aku mengingat wajah ayah istriku. Setahun yang lalu, dalam rentang tiga bulan, jejak usia keduanya dibatasi virus korona.

"Tapi, karena membuat kandang ayam itu, Mas memilih jadi arsitek, kan?"

"Bisa jadi! Dulu ayahku bilang, keterampilan menggunakan alat tukang menjadi modal untuk merantau."

Kurasakan genggaman erat di jemari tangan kananku. Tangan kiriku mengusap rambut legam panjang istriku.

"Masih ingat, pertama kali Mas ke rumah menemui Ayahmu?"

"Iya. Itu momen langka, kan?"

"Langka apanya?"

"Mas bukannya ditawari masuk rumah, malah diajak membuat kandang ayam!"

Suara tawa tertahan menguasai kamar tidur. Dua menit berlalu. Istriku belum juga mampu menghentikan tawa. Kurasakan hangat di permukaan wajahku.

"Eh, aku baru sadar, Mas! Jejangan syarat untuk menjadi menantu ayahku, harus pandai membuat kandang ayam, ya?"

Lagi, kurelakan tawa pecah singgah di setiap penjuru dinding kamar.

Curup, 28.06.2022

zaldychan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun