Saat menulis kajian serius semisal penelitian atau pertanian, Prof Felix bisa begitu cekatan "menghajar" para praktisi.
Tetiba, bisa saja "menghantam" dengan tajam melalui puisi, atau ketika mengkritisi. Namun, terampil meracik fenomena aktual secara "halus" dalam kemasan humor.
Ada banyak penulis di dunia yang mampu menulis kritikan. Namun, hanya sedikit yang memiliki racikan formula ajaib bernama humor. Alih-alih bertujuan menulis kritikan, malah berujung makian. Hiks!
Kemampuan mengukur dan mengatur putaran turbin dalam pikiran, yang berujung sajian tulisan yang aman dan lembut itu, tak akan hadir tanpa keseimbangan logika dan imajinasi. Iya, kan?
"SMA kemarin, jurusan apa?"
"IPA!"
"Sekarang kuliah ambil jurusan apa?"
"Pendidikan Jasmani!"
"Lah! Bakal jadi guru penjas?"
"Bilang ayahku, guru penjas langka! Peluangnya lebih besar!"
Pernah alami atau mendengar percakapan seperti ini, walau tak persis sama? Begitulah! Berkaitan dengan pendidikan. Anak dan orangtua, acapkali melakukan "banting setir"!
Apapun jenis dan jenjang pendidikan yang dilalui, beragam pengetahuan yang dijejaki, belum bisa menghindari "tabrakan" antara logika yang diukur dengan kebutuhan, terkadang tak sejalan dengan imajinasi yang mengiringi keinginan.
Terkadang, kebutuhan takluk oleh keinginan. Di waktu yang lain, keinginan mesti menyerah pasrah dari kebutuhan. Di luar itu? Berujung keraguan!
Saat masuk SMA, Ragu memilih sekolah dan jurusan sesuai minat dan bakat. Saat kuliah, bergeser! Memilih program studi sesuai ruang dan peluang yang diamati. Pilunya, setelah kuliah, malah riweh mencari lowongan. Sebab, yang dibutuhkan adalah pengalaman!
Suatu saat nanti, kembali akan menemukan "benturan". Ada pekerjaan, tak sesuai pendapatan. Ada pendapatan, tak mencukupi kebutuhan. Ada pemenuhan kebutuhan, tak sesuai keinginan. Begitu, tah?