Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menakar Logika dan Imajinasi dalam Ungkapan "Gua Anak IPA, Lu IPS, Ya?"

9 Juli 2021   15:44 Diperbarui: 14 Juli 2021   11:30 1261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Dadu dan Rubiks (sumber gambar: pixabay.com)

"Logic will get you from A to Z; imagination will get you everywhere." [Albert Einstein]

Secara kelirumologi, kuterjemahkan ungkapan peraih Nobel Fisika tahun 1921 itu dengan kalimat: Logika akan membawamu dari A ke Z; Imajinasi akan membawamu ke manapun.

Kemudian, secara kiramologi, kuduga Einsten telah menyaksikan pertengkaran antara logika dan imajinasi, sehingga melahirkan Teori Relativitas yang mashsyur itu, serta dianggap sebagai pijakan awal Teori Kuantum era milenial.

Aku tak memiliki kemampuan menjelaskan Ilmu ajaib Einstein tersebut. Namun, mencoba memaknai ungkapan di atas, sebagai "Poros Tengah" dari dua kutub dunia pendidikan di Indonesia.

Semisal ungkapan, "Gue Anak IPA. Lu IPS, ya? Hahaha..."

Ilustrasi sketsa lukisan (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi sketsa lukisan (sumber gambar: pixabay.com)
Logika versus Imajinasi dan Kurikulum

Sejak aku masih sekolah, hingga sekarang menjadi seorang ayah. Perdebatan penuh gengsi tentang Anak IPA atau Anak IPS itu masih berlanjut. Dan, itu pun dialami anak sulungku, ketika harus menjejaki kelas 10 di Sekolah Menengah Atas.

Mungkin saja situasi yang nyaris sama, karena saat ini, sedang masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) juga dialami banyak orangtua. Karena jika ikut campur menentukan jurusan, khawatir tak sesuai kemampuan. Bila membiarkan anak menentukan pilihan, jejangan tak sesuai harapan. Hiks...

Dua tahun lalu, kusaksikan sulungku kesulitan memutuskan jurusan. Banyak saran dan masukan yang diterima, bukannya menghadirkan keyakinan. Malah menambah keraguan.

Gawatnya, ukuran saat mendaftar adalah nilai mata pelajaran yang diujikan pada Ujian Nasional (UN). Sialnya, mata pelajaran itu adalah Matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia.

Ada ungkapan provokatif dari sebagian pelaku dan pengamat dunia pendidikan. Bahwa, sistem pendidikan di Indonesia, khususnya jika berpijak pada kurikulum, adalah menciptakan dan melahirkan "Kelas Pekerja" bukan "Kelas Pemikir".

Parameternya? Kelas pekerja membutuhkan dominasi logika. Sedangkan Pemikir sebaliknya, butuh daya imajinasi.

Jika meminjam rumus Einstein di atas. Maka, pendidikan di Indonesia, mengalami "ketidakseimbangan" jika kata "ketidakadilan" tak pantas diujarkan atau digunakan.

Ukurannya? Tiga Mata Pelajaran yang di-UN-kan. Pelajaran Matematika dan IPA dianggap mewakili Kutub Logika, dan hanya Bahasa Indonesia yang menjadi wakil dari Kutub Imajinasi.

Hematku, gegara ketidakseimbangan ini, maka anakku menjadi ragu memilih jurusan. Karena jika membaca potensi diri, secara logika merasa berat masuk IPA. Namun, asupan gizi di bangku sekolah tak tersedia melatih berimajinasi.

Saat di TK dan SD. Masih ada tugas menghapal lagu wajib nasional, notasi lagu daerah, memainkan alat musik, membaca atau mencipta puisi, hingga menggambar dan mewarnai. Itu pun terkadang masuk kurikulum ekstra, bukan intra kurikuler. Pada jenjang SMP ragam pembelajaran di atas sudah jauh berkurang.

Sependektahuku, pihak sekolah hingga perguruan tinggi, acapkali melakukan Tes Potensi Akademik bagi siswa atau mahasiswa. Walau terkadang dilakukan secara seremonial, kukira akan mengeluarkan hasil yang beragam.

Namun, hasil Tes Potensi Akademik belum menjadi pijakan oleh Pengambil keputusan saat menentukan kebijakan tentang penggunaan kurikulum. Wong, kurikulum yang digunakan selalu seragam, tah?

Ini menjadi aneh! Seumpama petani yang menyemai beragam benih tanaman, namun memberikan perlakuan serta perawatan pada tanaman dengan pola seragam! Akibatnya? Hasil belajar tak bisa menjadi ukuran.

Ilustrasi Laman Akun Felix Tani (sumber gambar: Tangkapan layar akun Felix Tani/Kompasiana))
Ilustrasi Laman Akun Felix Tani (sumber gambar: Tangkapan layar akun Felix Tani/Kompasiana))
Belajar Keseimbangan Logika dan Imajinasi

Aku ingin mengajak pembaca bertamasya pada artikel-artikel yang telah ditulis oleh Tuanku eFTe.

Tak bermaksud membalas artikel yang diunggah oleh Prof Felix Tani. Biar gampang, kuambil contoh artikel tentangku (Kompasiana, 8/7/2021). Artikel itu hampir membuatku berpikir ulang, haruskah menyesal terlanjur mengaku sebagai murid?

Artikel itu sepenuhnya mengungkapkan kebenaran, KECUALI yang salah. Dan, sebagai murid yang belum diakui, aku ingin terlihat baik. Sehingga tak etis mengungkapkan kesalahan guru di ruang publik, tah?

Aku tak akan menggunakan Argumentum ed Hominem pada pribadi Prof. Felix. Namun, berpijak pada konten dan konteks artikel tentangku itu, kujadikan benang merah belajar keseimbangan antara Logika dan Imajinasi.

Pertama. Melakukan Riset

Aku tak akan bertanya, bagaimana bisa Prof Felix begitu detail dan komprehensif memaparkan kondisi geografis dan demografis Kota Curup sebagai kota kelahiran dan tempat tinggalku.

Paparan data dan angka tentang kotaku, akan mudah ditemukan dalam jejak digital. Dan, sebagai Periset, bisa kupastikan Prof Felix sudah melakukan riset sebelum menulis. Kemudian memberi sentuhan imajinasi dari hasil riset tersebut ke dalam tulisan yang menjadi logis.

Padahal artikel itu dimasukkan ke kanal humor? Yang dianggap sebagian orang, tak butuh riset. Sing penting bikin ketawa!

Kedua. Menulis Humor tapi Terukur

Akupun tak akan mencari tahu, kenapa ada "tembok aneh" dari akuan sedang riset pertanian, seorang Sosiolog Pertanian dan Pedesaan, tetapi enam bulan terakhir dominan menulis fiksi (Novel Poltak dan Puisi) serta humor.

Racikan humor dalam tulisan itu memiliki alur dan punchline yang terukur. Pilihan diksi dan lema yang jauh dari frasa "Humor Garing" atau terkesan "Humor Shaming".

Versiku, artikel humor yang ditayangkan Prof Felix, tak hanya mengundang tawa, tapi juga mengajak pembaca berpikir. Tak masalah, apatah lebih dahulu tertawa baru berpikir, atau berpikir dulu baru tertawa. Kukira, Prof. Felix tak sempat memikirkan itu.

Ketiga. Memiliki Turbulensi Safety dan Softly

Saat menulis kajian serius semisal penelitian atau pertanian, Prof Felix bisa begitu cekatan "menghajar" para praktisi.

Tetiba, bisa saja "menghantam" dengan tajam melalui puisi, atau ketika mengkritisi. Namun, terampil meracik fenomena aktual secara "halus" dalam kemasan humor.

Ada banyak penulis di dunia yang mampu menulis kritikan. Namun, hanya sedikit yang memiliki racikan formula ajaib bernama humor. Alih-alih bertujuan menulis kritikan, malah berujung makian. Hiks!

Kemampuan mengukur dan mengatur putaran turbin dalam pikiran, yang berujung sajian tulisan yang aman dan lembut itu, tak akan hadir tanpa keseimbangan logika dan imajinasi. Iya, kan?

Ilustrasi TTS Angka (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi TTS Angka (sumber gambar: pixabay.com)
Mungkinkah Logika dan Imajinasi Seimbang?

"SMA kemarin, jurusan apa?"
"IPA!"
"Sekarang kuliah ambil jurusan apa?"
"Pendidikan Jasmani!"
"Lah! Bakal jadi guru penjas?"
"Bilang ayahku, guru penjas langka! Peluangnya lebih besar!"

Pernah alami atau mendengar percakapan seperti ini, walau tak persis sama? Begitulah! Berkaitan dengan pendidikan. Anak dan orangtua, acapkali melakukan "banting setir"!

Apapun jenis dan jenjang pendidikan yang dilalui, beragam pengetahuan yang dijejaki, belum bisa menghindari "tabrakan" antara logika yang diukur dengan kebutuhan, terkadang tak sejalan dengan imajinasi yang mengiringi keinginan.

Terkadang, kebutuhan takluk oleh keinginan. Di waktu yang lain, keinginan mesti menyerah pasrah dari kebutuhan. Di luar itu? Berujung keraguan!

Saat masuk SMA, Ragu memilih sekolah dan jurusan sesuai minat dan bakat. Saat kuliah, bergeser! Memilih program studi sesuai ruang dan peluang yang diamati. Pilunya, setelah kuliah, malah riweh mencari lowongan. Sebab, yang dibutuhkan adalah pengalaman!

Suatu saat nanti, kembali akan menemukan "benturan". Ada pekerjaan, tak sesuai pendapatan. Ada pendapatan, tak mencukupi kebutuhan. Ada pemenuhan kebutuhan, tak sesuai keinginan. Begitu, tah?

Hematku, sulit menemukan formula keseimbangan logika dengan imajinasi jika berharap pada pendidikan semata. Idealnya, diiringi dengan pengalaman nyata.

Sesulit aku menerima fakta. Bahwa Prof Felix, begitu betah tinggal di Gang Sapi. Harusnya, tinggal di Gang Anggrek, Gang Pakchoy atau Gang Saledri. Sebagai ahli pertanian, tentu saja Tuanku eFTe faham, bahwa sapi adalah lahan kajian Peternakan. Bukan Pertanian.

"Tapi, sapi butuh rumput! Dan rumput ranah pertanian!"

Asumsiku, ini yang bakal menjadi Argumentum ed Momentum dari Prof. Felix, jika kuajukan pernyataan itu.

Selain kukuh berpedoman pada peribahasa baku, "guru digugu dan ditiru", atau "guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Agaknya, kuajukan saja pertanyaan baru:

"Bagaimana caranya menghornati guru yang terus berlari?"

Curup, 09.07.2021
Zaldy Chan
[Ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun