Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Restu Abu

1 Desember 2020   19:11 Diperbarui: 1 Desember 2020   20:36 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kelopak bunga mawar (sumber gambar: pixabay.com)

Teriakan dan jeritan memenuhi ruang ketakutan. Di sepanjang jalan, orang-orang berlarian. Air keruh semakin menghitam di selokan. Tiba-tiba terdengar suara yang menderu. Air laut menyapu semua yang tersisa di jalanan.

Tak lagi ada orang-orang yang berlarian. Tak lagi ada ketakutan. Jalan pun menghilang. Hanya tersisa gelombang. Mengajak pulang perahu, motor, mobil dan tubuh-tubuh yang mengambang. Ke lautan.

Aku mengenang pagi itu. 26 Desember 2004. Gempa 9.0 Magnitudo memantik bencana Tsunami.

Hari ini. Di bawah tugu. Kau dan aku berdiri di pemakaman 14.264 jasad tak bernama. Di Gampong Ulee Lhueue.

Kampung Ibuku.

***

Ie laot diek, ie laot diek

Teriakan itu kembali hadir dari dalam kamar. Aku berdiri di pintu, menyaksikan tubuh tua itu berbaring gelisah di atas kasur. Malam ketiga. Mak bersuara, tanpa terjaga.

Ie laot diek, ie laot diek

Lagi. Kudengar suara Mak. Kemudian hening. Kakiku melangkah pelan mendekati ranjang. Tindakan keliru. Saat tanganku meraih selimut di kaki, Mak  bergerak pelan, dan terbangun.

"Kenapa, Nak?"

"Hari hujan, Mak! Selimut Mak terbuka."

Sedikit gugup, kutarik selimut menutupi tubuh Mak hingga sebatas dada. Tanpa suara, mata tua itu menatapku. Kemudian beralih menatap dinding. Jam bundar berlatar gambar Ka'bah, menunjukkan pukul tiga dini hari.

"Oh! Hampir subuh. Mak belum tahajud!"

Perlahan, tangan tua itu menyibak selimut di tubuhnya. Menggerakkan kaki ke pinggir ranjang. Tergesa mencari sandal, dan bergerak lugas ke kamar mandi.

Sebagai anak satu-satunya. Aku tahu, Mak pasti melakukan yang diinginkannya.

***

"Sudah bicara?"

"Sudah!"

Kau tersenyum. Kedua tanganmu memeluk lengan kiriku. Bagimu, bicara apapun tentang pernikahan adalah kebahagiaan. Satu-satunya penghalang kebahagiaan itu, bukan keputusanku. Namun, keberanianku. Berani bicara kepada Mak.

"Mak setuju, kan?"

Tak perlu kujawab tanyamu. Kali ini, tanganku menggenggam erat tanganmu. Kuajak kau duduk di susunan batu-batu besar pemecah ombak. Pantai Padang, sore itu dipenuhi orang-orang yang memburu senja.

Menunggu senja, menikmati terpaan angin darat menuju laut, serta melihat kesibukan nelayan memecah ombak, memacu perahu ke tengah lautan dengan lampu-lampu kecil yang menyala bak kunang-kunang, ketika matahari terbenam adalah keindahan. Bagiku, itu adalah perjuangan.

"Mak kembali mengingat Abu!"

Senjamu tak hanya diwarnai jingga. Juga air mata.

***

Tenda pengungsian itu berwarna biru kusam. Di beberapa tempat, robek dan bolong. Tiga bulan, hujan dan terik matahari tak henti menghantam.

Dari kejauhan, kulihat Mak berjalan cepat bersama seorang lelaki, menuju ke arahku. Nyaris sebaya Abu. Mak bergerak cepat meringkas barang di dalam tenda. Lelaki itu mengusap kepalaku. sesaat Mak menatapku, juga lelaki yang berdiri di sebelahku.

"Dia adik Abumu. Kita berangkat sekarang!"

"Hah?"

"Ke Padang!"

Aku tersenyum. Kukira, Martunis pasti merasakan perasaan sepertiku. Dua puluh satu hari di tengah lautan bertahan hidup. Akupun masih hidup. Tapi aku tahu, kisahku dan kisah Martunis berbeda.

Martunis tujuh tahun, usiaku sepuluh tahun. Martunis kehilangan Ibu. Aku kehilangan Abu.

***

Malam keempat. Tak lagi ada teriakan dari dalam kamar. Menjelang subuh, kutemui jasad tua yang sudah dingin. Terbaring nyaman di atas ranjang dengan wajah yang tenang.

***

"Lusa kita berangkat!"

Kau membisu. Hanya isyarat dengan kepalamu. Matamu menikam manik mataku. 

Kau sudah tahu keputusanku. Tiga hari setelah kepergian Mak. Kau dan aku akan meminta restu pada Abu. Di pemakaman tak bernisan. Di depan Tugu peringatan. 

Kampung ibuku.   

Curup, 01.12.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Catatan :

ie laot diek : Air laut naik

Mak : Ibu

Abu : Ayah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun