Teriakan dan jeritan memenuhi ruang ketakutan. Di sepanjang jalan, orang-orang berlarian. Air keruh semakin menghitam di selokan. Tiba-tiba terdengar suara yang menderu. Air laut menyapu semua yang tersisa di jalanan.
Tak lagi ada orang-orang yang berlarian. Tak lagi ada ketakutan. Jalan pun menghilang. Hanya tersisa gelombang. Mengajak pulang perahu, motor, mobil dan tubuh-tubuh yang mengambang. Ke lautan.
Aku mengenang pagi itu. 26 Desember 2004. Gempa 9.0 Magnitudo memantik bencana Tsunami.
Hari ini. Di bawah tugu. Kau dan aku berdiri di pemakaman 14.264 jasad tak bernama. Di Gampong Ulee Lhueue.
Kampung Ibuku.
***
Ie laot diek, ie laot diek
Teriakan itu kembali hadir dari dalam kamar. Aku berdiri di pintu, menyaksikan tubuh tua itu berbaring gelisah di atas kasur. Malam ketiga. Mak bersuara, tanpa terjaga.
Ie laot diek, ie laot diek
Lagi. Kudengar suara Mak. Kemudian hening. Kakiku melangkah pelan mendekati ranjang. Tindakan keliru. Saat tanganku meraih selimut di kaki, Mak  bergerak pelan, dan terbangun.
"Kenapa, Nak?"