Menunggu senja, menikmati terpaan angin darat menuju laut, serta melihat kesibukan nelayan memecah ombak, memacu perahu ke tengah lautan dengan lampu-lampu kecil yang menyala bak kunang-kunang, ketika matahari terbenam adalah keindahan. Bagiku, itu adalah perjuangan.
"Mak kembali mengingat Abu!"
Senjamu tak hanya diwarnai jingga. Juga air mata.
***
Tenda pengungsian itu berwarna biru kusam. Di beberapa tempat, robek dan bolong. Tiga bulan, hujan dan terik matahari tak henti menghantam.
Dari kejauhan, kulihat Mak berjalan cepat bersama seorang lelaki, menuju ke arahku. Nyaris sebaya Abu. Mak bergerak cepat meringkas barang di dalam tenda. Lelaki itu mengusap kepalaku. sesaat Mak menatapku, juga lelaki yang berdiri di sebelahku.
"Dia adik Abumu. Kita berangkat sekarang!"
"Hah?"
"Ke Padang!"
Aku tersenyum. Kukira, Martunis pasti merasakan perasaan sepertiku. Dua puluh satu hari di tengah lautan bertahan hidup. Akupun masih hidup. Tapi aku tahu, kisahku dan kisah Martunis berbeda.
Martunis tujuh tahun, usiaku sepuluh tahun. Martunis kehilangan Ibu. Aku kehilangan Abu.