Hujan bukan hanya butiran langit
Tapi peredam rasa sakit,
Tulismu
Tiga baris kalimat itu masih jauh dari selesai. Terkurung pada sehelai kertas buram yang tergeletak di atas meja berbahan kayu mahoni yang sudah sejak dulu kusam.
Tujuh kali senja kulewati. Belum kutemukan satu kata yang bisa kucacahkan pada kertas buram itu. Tujuh kali, aku hanya menikmati kedatangan dan kehilangan semburat jingga. Tak tak tebersit sedikit pun keinginan untuk menuliskan.
"Belum selesai, Mas?"
Perempuan yang secara sadar takluk dan memasrahkan diri menjadi istriku, menyajikan segelas kopi. Diletakkan di sebelah kertas buram, di atas meja kayu mahoni kusam. Tangannya meraih kertas itu. Membacanya sesaat. Perempuan itu menatapku.
"Kenapa memaksa diri? Mas sudah nyaman dengan senja, kan?"
"Seperti senja. Hujan pun tak sesederhana itu!"
"Makanya, tulis saja tentang senja. Kan, sama-sama tak sederhana?"
"Hujan dan senja tak pernah sama, Cantik! Aku ingin menulis hujan. Titik!"
Siapa yang ingin memulai perdebatan dengan Pemuisi? Sosok yang terbiasa menjadi tuhan dari setiap kata yang dituliskan. Membiarkan para pembaca tersesat menentukan pengertian pada persimpangan makna.