"Kau menyukai senja?"
Seperti hantu. Entah dari mana arah datangnya. Tiba-tiba saja berdiri di hadap dudukku. Berjarak setengah meter dari ujung  jari jempol kaki kanan, yang ditopang paha kiriku. Aku menunda jawaban. Lebih tepatnya, aku masih terkesima memangku keheranan.
Satu sosok lelaki, kukira sebaya usia negara atau mungkin lebih tua. Tubuh itu cenderung ke kanan, seperti putaran arah jarum jam. Sepasang mata tua yang berdiam di balik kacamata menatapku. Tak ada senyuman, apalagi kata sapa untuk sebuah perkenalan.
"Berhentilah menulis tentang senja!"
Suara yang tak begitu jelas. Tangan kanannya mengajukan jari telunjuk yang gemetar. Perlahan mendekat, menuju sudut kanan dari mata kiriku. Hanya sesaat. Jari itu sudah berpindah, tepat berada di ujung hidungku. Kulihat ada butir bening tersisa di situ.
"Senjamu hanya air mata. Tulislah tentang hujan!"
Suaraku sudah berkumpul di ubun-ubun. Bercampur dengan aliran darah yang dipacu jantung serta oksigen yang dipompa paru-paru. Lelaki tua itu menghilang. Bersama cahaya lampu yang tiba-tiba menyala, dan bayangan wajah istriku.
"Subuh dulu, Mas!"
***
Hari ini, hari ketujuh aku melupakan senja. Aku ingin  bercerita tentang hujan. Bukan sebagai kegilaan baru yang kulakukan, karena menantikan sepucuk rindu pada butiran hujan yang masih enggan berjatuhan.
Namun, satu puisi yang ingin kujadikan sebagai pembuktian kepada lelaki tua berkacamata yang hadir dalam mimpiku. Satu minggu lalu.