Pemuisi pun hanya  tertawa menyaksikan terciptanya perselisihan rasa. Jika pun ditanya, bagaimana proses kelahiran puisi, yang dipaparkan akan disesuaikan dengan siapa yang mengajukan pertanyaan. Hanya itu.
Namun, Pemuisi akan mampu menjelaskan kata demi kata dari tulisan yang dipilih sebagai senjata. Untuk menuangkan timbangan akal budi dan rasa melalui barisan kata-kata.
Istriku, mengerti itu. Hingga menjauh dari kamar. Bergegas ke ruang tamu. Seperti biasa, sesudah isya adalah pilihan waktu istimewa baginya. Mengabdikan waktu dengan segenap perhatian untuk menyaksikan drama Korea.
***
"Sudah kau tulis tentang hujan?"
"Belum selesai!"
Mimpi berdiri di sisi meja. Tangannya meraih secarik kertas buram, yang ternoda tetesan dari secangkir kopi senja tadi. Perlahan meletakkan kembali ke hadap dudukku. Kusaksikan, tiga baris kata itu tak juga berubah. Tak berkurang, tak juga bertambah.
Kamar itu sunyi. Ia masih berdiri di sisi meja. Menatapku dalam diam. Istriku sudah sejak tadi dikuasai lelap. Mungkin bermimpi tentangku, puisi senja atau tentang bintang Drama Korea.
Dingin lantai kamar terasa berkumpul di bawah kursi. Pelan-pelan menelusuri kedua jempol kaki dan terus menjalar bergerak naik menuju mata kaki.
"Tak ada yang lebih tabah"
"Itu Sapardi Djoko Damono!"