"Belum, Mak!"
Malam itu, aku baru satu langkah menjauh dari pintu, sepulang dari rumahmu. Begitulah! Nyaris tiga bulan berlalu. Setelah kisah senja di danau Dendam Tak Sudah itu, Amak berubah fungsi seperti penyidik masa depan kau dan aku.
Bukan tak mau memberi tahu. Bagiku, Piteak Kinoi, bukan lagi urusan Amak. Agar tak menitipkan beban pikiran. Aku belum menemukan jalan juga cara untuk menanyakan itu. Tak akan pernah kutanyakan itu padamu, tapi langsung ke orangtuamu.
"Tadi siang, Amak ke pernikahan putrinya teman Amak. Hampir limapuluh juta!"
"Oh!"
"Tapi, suaminya pegawai negeri!"
Nyaris satu jam Amak bercerita. Dan aku duduk diam mendengarkan. Aku tahu. Sekuat apapun aku menyimpan beban, sebagai perempuan, naluri Amak akan merasakan. Sebagai orangtua, kukira Amak juga ingin bertanggungjawab hingga jenjang pernikahan.
Cerita Amak malam itu. Menjadi berita derita bagiku.
***
"Selamat ulang tahun, ya?"
Kuusap pelan kepalamu. Wajahmu memerah. Tangan kananmu, menarik pelan tangan kiriku. Mengajak duduk ke ruang tamu. Sisa hujan disertai angin kencang, tak akan nyaman menikmati sore di beranda rumahmu.