"Kau mau?"
Tak ada jawabmu. Perlahan, wajahmu menunduk. Kedua tanganmu menggenggam sapu tangan berwarna putih. Hening menguasai kau juga aku.
Harusnya, sore itu, bahagia milikmu. Sebab sore itu adalah hari lahirmu. Namun, bukan rasa bahagia yang kuhadirkan untukmu. Tapi airmatamu. Untukku.
Permukaan danau Dendam Tak Sudah tak beriak. Tenang menanti pertunjukan cahaya senja. Namun tidak rasaku.
***
"Malam tadi, pulang jam berapa dari Bengkulu?"
Suara Amak, menyusup ke liang telingaku, segelas kopi diajukan ke hadap dudukku di ruang tamu. Tak seperti biasanya, pagi itu Amak memilih duduk di sebelahku. Tatapan mata tua itu menunggu jawabku. Â
"Pukul Sembilan!"
"Kau antar pulang?"
Satu anggukan pelan, kupilih sebagai jawaban. Kudapatkan segaris senyuman.
Aku tahu, Amak menunggu kisahku. Setelah kuajukan izin untuk meletok asen, sebagai tanda inginku memilikimu. Bertahun bersama, kau dan aku tahu. Jauh perjalanan tak akan pernah seindah pelangi.
"Sudah kau serahkan?"
"Sudah!"
"Siapa saksinya?"
Kali ini, tak ada senyuman. Kusaksikan helaan nafas panjang. Sekilas Amak mengusap pelan kepalaku, sebelum berdiri.
"Jangan tiru Ayahmu! Kalau meletok asen, mesti ada saksi. Biar sah secara adat. Nanti kalau..."
"Tak akan!"
Amak berlalu dari ruang tamu. Meninggalkan aku, segelas kopi, dan sunyi.
***
"Sudah kau tanyakan?"
"Piteak Kinoi?"
"Iya. Diminta berapa? Biar..."
"Belum, Mak!"
Malam itu, aku baru satu langkah menjauh dari pintu, sepulang dari rumahmu. Begitulah! Nyaris tiga bulan berlalu. Setelah kisah senja di danau Dendam Tak Sudah itu, Amak berubah fungsi seperti penyidik masa depan kau dan aku.
Bukan tak mau memberi tahu. Bagiku, Piteak Kinoi, bukan lagi urusan Amak. Agar tak menitipkan beban pikiran. Aku belum menemukan jalan juga cara untuk menanyakan itu. Tak akan pernah kutanyakan itu padamu, tapi langsung ke orangtuamu.
"Tadi siang, Amak ke pernikahan putrinya teman Amak. Hampir limapuluh juta!"
"Oh!"
"Tapi, suaminya pegawai negeri!"
Nyaris satu jam Amak bercerita. Dan aku duduk diam mendengarkan. Aku tahu. Sekuat apapun aku menyimpan beban, sebagai perempuan, naluri Amak akan merasakan. Sebagai orangtua, kukira Amak juga ingin bertanggungjawab hingga jenjang pernikahan.
Cerita Amak malam itu. Menjadi berita derita bagiku.
***
"Selamat ulang tahun, ya?"
Kuusap pelan kepalamu. Wajahmu memerah. Tangan kananmu, menarik pelan tangan kiriku. Mengajak duduk ke ruang tamu. Sisa hujan disertai angin kencang, tak akan nyaman menikmati sore di beranda rumahmu.
Kau menghilang dari ruang tamu. Hanya sesaat, dan kembali dengan tisu dan sapu tangan berwarna putih. Sambil anggukkan kepala, kau ajukan padaku. Tak sengaja, mataku tertuju ke jari manis tangan kirimu. Telah satu tahun berlalu.
Tak lagi bersuara. Kuraih sapu tangan, mengusap wajah dan lenganku. Kau masih berdiri diam, memperhatikan gerak-gerikku. Kurasakan, senyuman tak ingin beranjak dari bibirmu.
"Kenapa sepi?"
"Ayah dan ibu pergi. Anak teman Ayah, ada yang nikah."
Aku mengenal nada bicaramu. Akupun mengenal cara menghindarmu. Kembali, kau biarkan aku sendiri di ruang tamu.
***
"Kenapa baru pulang?"
Langkahku terhenti. Amak sudah berdiri di depan pintu. Kukira, sejak tadi Amak menungguku. Jarum pendek dan jarum panjang pada jam di dinding terdiam di angka sepuluh. Bunyi butiran hujan, kuanggap sebagai jawaban.
Â
"Ganti bajumu! Temui Amak di ruang tamu."
Dua perintah yang tak mungkin dibantah. Perintah otakku, segera lakukan yang diinginkan Amak. Secepatnya. Dan bergegas. Dua kakiku bergerak menuju pintu kamar.
Kutemui Amak di ruang tamu. Jari telunjuk tangan kanan Amak, menunjuk kursi tamu yang kosong. Di atas meja. Telah tersedia segelas kopi. Masih terlihat bayangan kabut tipis mengitari bibir gelas, berusaha melepaskan diri menuju udara bebas.
"Tadi aku bertemu calon mertuamu!"
"Hah? Calon mertua? Kan belum..."
"Sudah satu tahun! Amak tahu yang kau pikirkan!"
Kalimat bertemu ayah dan ibumu, hanya pembuka cerita bagi Amak. Aku pun mengerti arah pembicaraan malam itu.
"Jangan biarkan anak gadis orang menunggu!"
Kurasakan tiba-tiba ada pukulan godam di kepalaku. Kabut tipis di permukaan gelas berisi kopi, kupilih sebagai sasaran pandanganku.
"Besok, kau ajak gadismu ke rumah! Bawa pakaian untuk tiga hari!"
"Eh? Maksud Amak..."
"Iya! Bemaling. Ayahmu pernah lakukan itu!"
Curup. 28.06.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Catatan Kaki:
Meletok Asen : Mengikat janji. Dalam Adat Rejang. Sebagai tanda keseriusan seorang pria (bujang) kepada wanita (gadis). Biasanya disimbolkan dengan barang seperti kain sarung atau sejadah. Di masa kini, lebih cenderung menggunakan cincin (di luar mahar). Saat melakukan itu mesti ada saksi, walaupun bukan orangtua si gadis.
 Â
Piteak Kinoi : Permintaan Orangtua. Dalam Adat Rejang, permintaan ini, harus dipenuhi sebagai syarat untuk menikah. Biasanya berbentuk uang yang digunakan untuk biaya perkawinan (uang belanja). Juga ada permintaan khusus dari orangtua dan tetua adat. Semisal keris, selimut, seperangkat pakaian lengkap si gadis (termasuk pakaian dalam).
Bemaling : Kawin Lari. Dalam Adat Rejang, bemaling ada 2 bentuk. Pertama. Bemaling Terang. Melarikan anak gadis dengan sepengetahuan orangtua di bujang atau si gadis. Kedua. Bemaling Gelap. Melarikan si gadis, tanpa pengetahuan orangtua si gadis. Biasanya berlindung di rumah perangkat desa, orang terdekat atau rumah orangtua si bujang. Yang akan menghubungi orangtua si gadis.
Jika sudah dinyatakan Bemaling, maka orangtua dan Kutei (Tetua Adat) wajib menikahkan disertai denda adat. Cara ini, sebagai alasan bagi calon pengantin. Ketika tidak disetujui orangtua, terlalu besar biaya yang diminta, atau "menghindari" prosedur adat yang terkadang dirasakan menyulitkan. Namun, istilah ini tak berlaku dengan cara-cara negatif semisal telah berzina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H