Aku ingin bercerita padamu. Kisahku pagi tadi. Aku baru saja matikan kontak motor di pangkalan. Tetiba Amin mendekatiku. tangannya ringan menyentuh bahuku. Tak ada senyuman.
"Abang tahu ada kecelakaan?"
"Hah! Kecelakaan apa? Kapan? Â Di mana?"
Aku terkejut! Baru jam tujuh pagi. Aku pun,  belum dapat  penumpang. Amin sudah berikan berita buruk. Akh... Semoga, hariku tak buruk pula!
Kulepas helm. Menaruh diatas jok motor. Dan berjalan menuju bangku panjang. Sudah tiga tahun, aku menikmati jasa bangku tua itu. Aku segera duduk. Amin di sebelahku.
"Mobil sayur dan mobil pribadi, Bang! sebelum shubuh tadi. Di Simpang Kota Beringin!"
"Di situ lagi?"
"Iya!"
Jika kau pernah ke Kota Curup menuju Kepahiang. Duaratus meter sesudah Gerbang Batas Kabupaten Rejang Lebong-Kepahiang. Sesudah masjid, kau akan temui satu tikungan. Di sisi kanannya ada satu pohon beringin yang sudah tua. Kukira berusia ratusan tahun. Dengan dahan yang rendah menjuntai ke jalan. Pohon beringin itu, nyaris menyembunyikan area pemakaman umum. Akupun menduga, keberadaan pohon beringin itu menjadi asal muasal nama desa.
"Ada korban, Min?"
"Satu mati. Dua luka parah!"
"Oh!"
"Yang mati sopir mobil sayur, Bang!"
"Sudah tiga kali dalam minggu ini!"
"Sejak dulu angker kan, Bang!"
Aku terdiam. Sejak dulu aku kerap mendengar berbagai kisah tragis di tikungan itu. Banyak masyarakat  Kota Curup yang sepakat disertai keberadaan pohon beringin dan kuburan. Menambah kesan kuat kata angker dibumbui kisah beraroma mistis dari mulut ke mulut.
Sejak dulu juga, aku tak pernah dan tak mau percaya itu. tapi pelan-pelan, benakku mulai ingin percaya. Bahwa memang tikungan itu angker. Tiga kejadian dalam satu minggu? Di tempat yang sama?
Baru tadi malam, aku hadiri di acara nujuhhari Imron. Teman satu pangkalan ojek yang menemui ajalnya. Tewas di tikungan itu. Motor Imron kehilangan kendali. Disebabkan genangan oli yang berserakan di jalan. Motor terguling dan Imron jatuh terbanting. Truk pengangkut semen melintas dan melindas tubuh Imron. Bagiku, itu adalah musibah. Tak ada urusan dengan kata angker!
Dua hari yang lalu, melibatkan dua orang pelajar! Kudengar kabar, akibat kebut-kebutan dan bersenggolan. Tak ada kematian. motor ringsek dan keduanya Alami  luka lumayan parah disertai patah tulang. Bagiku juga tak ada kaitan dengan kata angker!
"Abang ada rokok?"
Suara Amin merusak alur fikirku. Tanpa suara, aku keluarkan rokok kretek dari saku jaket. amin segera menyambut dan menyalakan kretek itu. Mataku memandang semua penjuru jalan. Masih sepi. Di hari libur, penumpang ojek bisa dihitung jari. Apalagi masih pagi. Amin berikan senyum pengganti terima kasih.
"Eh, Bang! Ada kisah mistis tentang kecelakaan tadi!"
"Sudah! Aku gak percaya mistis!"
"Aku mendengar cerita dari penumpangku. Tangan sopir itu terputus. semua orang sibuk mencari. Dari shubuh, baru jam setengah tujuh tadi ditemukan..."
Tanpa permisi, Amin sudah memulai cerita. Aku tak tertarik. Kunyalakan dan menikmati asap kretekku. Saat suara Amin kembali kudengar.
"Ternyata, tersangkut di dahan beringin. Anehnya, tangan itu tak bisa diambil. Tangan itu dijepit dahan beringin!"
"Eh?"
Itu reaksiku. Amin orang pertama yang menyapaku saat baru bergabung di Pangkalan. Amin suka bercerita. Tentang apapun. Terkadang aku sukar mempercayai kebenaran cerita-cerita Amin. Tapi, Â tak mau kusanggah. Sejak menjamurnya ojek online di Kota Curup, Amin adalah temanku yang tersisa.
"Anehnya lagi, Tangan sopir itu menunjuk ke rumahnya di Kepahiang!"
"Haha... "
"Serius, Â Bang! Itu cerita..."
"Kalau pun iya, bisa saja dipotong dahannya, kan?"
"Gak ada yang berani, Bang! Kan, Â pohon beringin itu terkenal angker!"
Aku kembali tertawa mendengar kata angker itu. Amin garuk kepala. Memasang wajah serius menatapku.
"Terserah Abang, percaya atau tidak!"
"Haha..."
"Tangan itu bisa diraih. Tapi tak mau lepas dari dahan. Bilang orang-orang, Penunggu beringin sengaja menahan tangan sopir itu!"
"Penunggu? Maksudmu hantu? Emang hantu masib berkeliaran? Kan sudah mau shubuh?"
"Tiga dukun dan orang pintar dipanggil, untuk melepaskan tangan itu..."
Amin tetap melanjutkan cerita. Tak menjawab pertanyaanku. Pangkalan masih sepi. Kembali kunikmati asap kretek. Amin terburu membuang puntung kretek miliknya.
"Tangan itu tetap tak mau lepas!"
"Sekarang masih?"
"Sudah dibawa ke rumah sakit, Bang!"
"Kenapa bisa lepas?"
Mataku menatap Amin. Wajahnya cerah. Melihat aku mulai tertarik dengan ceritanya. Sambil memperbaiki posisi duduknya menghadapku. Amin kembali buka suara.
"Ada orang pintar yang lepasin, Bang! Dari Desa Tanjung Alam."
Tanjung Alam, desa itu berjarak lima kilometer dari lokasi kejadian. Dahiku berkerut. Â Otakku mulai menimbang untuk menerima kisah mistis. Amin bertambah semangat.
"Abang tahu? Orang pintar itu, masih kecil! Hebat ilmunya, Â Bang! Â Bisa mengalahkan ilmu tiga orang dewasa! Biasa dipanggil Dukun cilik Tanjung Alam!"
"Hah! Masih kecil? Kamu bilang Dukun cilik?"
"Iya! Dia datang, tak sampai lima menit, tangan itu segera lepas!"
"Wah! Bisa sehebat itu?"
"Dia bilang sebab tangan sopir tak bisa lepas, karena jari telunjuk itu!"
"Ada cincinnya?"
"Gak!"
"Jadi?"
"Dukun cilik cuma bilang begitu!"
Kali ini, aku yang garuk kepala. Hatiku semakin bimbang. Antara mau percaya atau tidak. Amin semakin bersemangat.
"Abang tahu yang dilakukannya?"
"Lah? Kan, kamu yang cerita?"
"Bernyanyi!"
"Hah!"
"jari sama jari, jari sesama jari. Telunjuk kalahkan kelingking. Kelingking kalahkan jempol dan jempol kalahkan telunjuk"
"jari sama jari dan jari sesama jari. jempol dikalahkan kelingking, kelingking dikalahkan telunjuk, telunjuk dikalahkan jempol"
tetiba Amin bernyanyi dengan nada yang aneh. Matanya terpejam. Kukira mengingat lirik. Mata Amin terbuka. Rasa ingin tahu tak bisa kutahan.
"itu lagu apa?"
"Itu mantra, Bang!"
"Eh?"
"Dukun cilik itu, tiga kali memutari pohon beringin. Sambil menyanyikan mantra itu. Sesudah tiga putaran, dukun itu berdiri persis di bawah tangan sopir sayur itu. Sambil acungkan jempol! Tangan itu segera terlepas!"
Kau tahu? Tak lagi ada reaksiku. Lebih memilih diam. aku sadar, jika dibohongi emosiku tak terkendali. Tapi tak kulakukan. Amin satu-satunya temanku yang tersisa. Tawa Amin pecah. Wajah puas terpampang di wajahnya.
"Maaf, Bang! Cuma cerita. Daripada bengong nunggu penumpang?"
Kuabaikan ucapan Amin. Dari jauh, sosok Pak Ulek berjalan pelan menuju Pangkalan. Salah satu pelanggan tetap Pangkalan. Aku segera bangkit. Sesaat menatap Amin.
"Giliranku, kan?"
"Iya! Maaf, Bang! Tadi cuma..."
"Lupakanlah!"
"Siap, Bang!"
"Aku narik dulu!"
"Boleh bagi rokok lagi, Bang?"
"Beli!"
Curup, Â 27.01.2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H