Manthili merasakan badannya menggigil antara panas dan dingin. Hatinya mengerang antara takut dan marah. Ia memulai gerakannya dengan tumpukan kecewa karena orangtuanya melepaskannya tanpa daya. Keyakinannya kalau ia berbeda dengan tandak rawa lainnya, malam ini akan hancur. Ia tak mampu mempertahankannya. Ia membayangkan masa gelap setelah malam ini karena mendapati dirinya akan memasuki dunia yang tak lagi merdeka.
Seiring derasnya air mata, gerak tubuhnya pun kian menggila. Ia akan menghabiskan seluruh energinya sampai saat yang paling tak terbayangkan tiba. Sampailah ketika tepian rawa tampak berbuih. Tak ada satu tandak pun yang tidak berdiri bulu kuduknya. Suara mantra Ki Lantang membuat mereka kian tak berkutik. Sesosok bayangan muncul dari tepian rawa. Manusia yang tampak bagai bayang-bayang.
Serempak para tandak melepaskan kembennya. Mereka hanya menutupi dadanya dengan sampur. Pria itu berjalan ke tengah semakin mendekati mereka. Para tandak mulai merasakan getaran aneh yang membuatnya jireh[11]. Perawakan pria itu sangat gagah dengan langkah bak taruna.Â
Langkahnya menuju ke Manthili. Ketika kian dekat terdengar dengkuran yang semakin kuat. Alunan gending dan mantra yang juga semakin lantang, tak mampu mengubur dengkuran yang tambah membuat bergidik. Kini jelas sudah wajah lelaki yang gagah itu dan membuat Manthili memekik sekerasnya.
Sontak semua tandak menghentikan gerakan, walau gending dan mantra terus mengalir. Manthili melangkah mundur. Namun langkah pria yang menyeramkan itu kian pendek jarak dengannya. Entah kekuatan dari mana membuatnya sanggup berbalik badan, dengan sekuat tenaga Manthili melajukan kakinya, lari menjauhi lelaki yang pastinya siluman buaya putih!
Manthili berlari terus hingga baru menyadari kini dirinya berdiri di tepi rawa. Ikan-ikan yang masih membeludah mulai menggigiti kakinya. Rasa takutnya membunuh rasa sakit akibat gigitan-gigitan itu.
"Tak ada yang bisa mengambil kebebasanku! Kalau aku memang berkah dari langit, hanya langit yang bisa mengambilku!" teriak Manthili sambil memandang teman-teman tandak, pemain gending, Ki Lantang, Nyi Lantang, yang berdiri jauh darinya.
Tapi entah bagaimana, jaraknya dengan lelaki itu mendadak sedemikian dekat! Manthili terkejut luar bisa. Ia mundur dengan cepat. Kakinya yang melemh akibat luka, dan tanah licin yang diinjaknya membuat tubuh mungilnya dengan cepat menggelincir ke dalam rawa. Serombongan ikan seperti dikomando menggiringnya gadis cilik itu ke tengah raw. Tak ada suara Manthili. Lalu terdengar tawa yang sedemikian keras bersamaan dengan lenyapnya siluman buaya putih.
***
Manthili menyeruak ke kerumunan warga yang sudah menyesaki area tak jauh dari bukit tanah tempat prosesi akan dilaksanakan. Meskipun gulita dan hanya diterangi beberapa oncor, siapapun masih bisa melihat deretan perempuan yang akan menjadi jawaban atas wabah chikungunya yang menyerang hampir dua ratus warga. Perempuan-perempuan itu adalah para tandak. Ini adalah keputusan para sesepuh.
Warga tak bisa melewati batas yang memberi jarak sekitar 200 meter. Cahaya-cahaya dari senter yang sengaja mereka bawa, ternyata tak mampu untuk memperjelas panggung alami prosesi ritual telanjang dada.