Mohon tunggu...
Tjut Zakiyah Anshari
Tjut Zakiyah Anshari Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Sanggar Kepenulisan PENA ANANDA CLUB, domisili Tulungagung.

https://linktr.ee/tjutzakiyah Ibu rumah tangga, penulis, dan narablog di zakyzahra-tuga.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Manthili Larung

11 September 2022   11:19 Diperbarui: 11 September 2022   11:28 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk pertama kali mereka mendengar bencana itu dari Nyi Lantang pagi ini saat menjelaskan tarian ritual. Tentu saja para gadis sangat terperanjat. Meski mereka sudah terbiasa disentuh para pria bahkan pada buah dadanya, tak pernah sekalipun ia membayangkan bakal membiarkan siluman buaya putih menyusu padanya. 

Begitu juga Manthili yang mendadak merasa bergidik hingga menggelengkan kepalanya berulang kali. Dipejamkannya matanya karena mendadak merasa mual. Ia bangkit bermaksud untuk segera pulang.

"Manthili!" suara lantang Nyi Lantang menghentikannya.

"Duduklah kembali. Simbah belum selesai," lanjut perempuan yang usinya sudah lewat 70 warsa, namun masih tampak raut ayunya yang memesona. Sedang Ki Lantang sendiri jauh lebih muda, baru lewat setengah abad usianya.

Nyi Lantang mengatakan kalau formasi tari tidak boleh berkurang. Tak ada satu pun yang sudah diikat sebagai tandak rawa bisa melepaskan diri dari kewajiban ini.

"Menjadi tandak rawa itu anugerah dan berkah langit. Dan kini penduduk Rowo Kidul membutuhkan kalian. Tidak pantas ada yang menolaknya." Ki Lantang menatap kagum istrinya yang selalu bisa membangkitkan ruh para tandak.

"Kula mboten purun[10]," suara itu bergetar bercampur tangis. Manthili mengatakannya. Penolakan Manthili membuatnya menghadapi masalah yang lebih besar. Ketika semua diijinkan pulang untuk menyiapkan diri, Manthili tetap tinggal di padepokan. Orangtuanya dipanggil untuk datang menemui Nyi Lantang.

Orangtua Manthili tak bisa berbuat apa-apa meski hati biyungnya hancur melihat tangis raung anak gadisnya. Biyung Manthili meratap tapi tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menghentikan keikutsertaan putrinya dalam ritual malam nanti.

Bunyi gending membelah malam yang pekat, bertepatan dengan bulan mati. Walau udara terasa hangat, tak bisa melenyapkan kebekuan dan ketercekaman. Isak-isak tangis dari semua sudut desa, selirih apapun dapat terdengar di kesunyiannya. Bahkan dari daratan-daratan kecil yang letaknya terpisahkan oleh genangan air rawa.

Tanah lapang yang paling tinggi diantara dataran desa rawa ini, kini diterangi delapan oncor mengelilingi tepian. Tarian kali ini tanpa seorang penonton pun kecuali para pemain gending, Ki Lantang dan istrinya.

Para tandak menata diri menjadi tiga baris yang setiap baris terdapat delapan tandak. Mereka yang muda usia berada di barisan paling depan. Tentu saja salah satunya Manthili.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun