Hanya satu diantaranya yang masih sangat muda. Manthili namanya. Usianya tak lebih dari 12 warsa. Baru beberapa sasi ia diijinkan bergabung dengan para tandak. Setelah dipastikan Manthili datang bulan oleh Nyi Lantang, tetua para tandak, barulah gadis yang mulai memasuki remaja ini diperkenannya menyandang sampur dan menghibur dengan kegemulaian tubuhnya.Â
Belum ada seorang pria pun yang tertarik untuk menghabiskan waktu bersenang dengan Manthili, meski mereka sudah melenggak bersama di panggung tanah Rowo Kidul.
Tentu karena gadis ini masih tampak bau kencur. Dari balik kemben[8]nya yang tertutup sampur, dadanya masih terlihat rata. Justru inilah yang dinikmati Manthili. Ia ingin menjadi tandak, bukan penghibur. Ia akan menari sepuasnya. Bahkan saat gending senyap, saat tanah lembab ini hanya disinari gemintang yang temaram, ia bebas menikmati imaji dari setiap liukan tubuhnya, menghadirkan pesona-pesona syurgawi yang hanya dimengerti dirinya.Â
Manthili yakin, hanya dia yang seperti ini. Tidak pada tandak lainnya yang menyenangi kepeng dari para pria yang disisipkan ditengah payudaranya. Perempuan yang bersukarela melepas kebebasan imajinya dengan pria yang dianggapnya mencipta sukacita bersama.
Semua imajinya lenyap mendadak tatkala satu-persatu warga Rowo Kidul terkena penyakit kulit yang aneh. Selama hampir seabad seingatan nenek kakek buyut mereka, belum pernah sekali pun penyakit semacam ini menyerang satu diantara mereka. Kehidupan rawa yang tak memberi kesempatan tanah mengering, beragam serangga dan binatang penguasa kelembaban sebagai penyebar penyakit, sangat memungkinkan mereka terserang sakit.Â
Mereka telah menemukan penangkal-penangkalnya. Kali ini, segala jenis herba telah diramu dari tetumbuhan dan binatang di sekitar mereka, tak ada yang mempan. Pengalaman penyembuhan penyakit-penyakit kulit sebelumnya, tak berarti menghadapi pagebluk kali ini.
Kini, sepekan sejak wabah menyerang, hampir separoh warga termakan penyakit misterius ini. Tabib-tabib didatangkan, bahkan bantuan dari kerajaan Majapahit. Karena kecemasan yang luar biasa penyakit ini akan merebak keluar Rowo Kidul, kebijakan isolasi pun diberlakukan. Tak ada warga dari mana pun boleh ke Rowo Kidul, begitu juga sebaliknya, tak seorang pun warga Rowo Kidul bisa keluar dari tanah yang berubah jadi mengerikan.
Sedangkan ikan masih meruah mengitari daratan-daratan Rowo Kidul, seakan menanti untuk dipestakan. Tapi kini tak seorang pun peduli. Mereka hanya menangkapnya untuk kebutuhan keseharian, tak bisa menjualnya. Dan tak ada nelayan dari luar Rowo Kidul yang tertarik untuk menangkap dan membawanya pulang.
Warga mulai menguburkan satu demi satu keluarganya yang meninggal dunia. Tetembangan di tanah tarian kini berubah jadi ratap kepiluan yang dari hari ke hari semakin menyayat hati. Jerit kesedihan itu semakin membuat para penderita dipercepat menuju kematian. Cepat sekali penyakit ini menular.Â
Tak terkatakan ketakutan yang kian mencekam. Orang-orang mulai khawatir untuk merawat sanak saudara mereka yang sakit. Cepat sekali mereka harus dihadapkan kehilangan demi kehilangan yang tak bisa dielakkan.
Perlahan berembus bisikan-bisikan yang entah dari mana. Ikan-ikan itu dihadirkan untuk menyebarkan penyakit ini. Semula mereka percaya begitu saja hingga menghentikan menyantapnya. Tapi kemudian mereka meragukan bisikan kabur itu saat orang-orang mulai mempertanyakan, mengapa warga dari luar Rowo Kidul yang memakan ikan dari rawa ini tak mengalami seperti mereka?Â