Mohon tunggu...
Tjut Zakiyah Anshari
Tjut Zakiyah Anshari Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Sanggar Kepenulisan PENA ANANDA CLUB, domisili Tulungagung.

https://linktr.ee/tjutzakiyah Ibu rumah tangga, penulis, dan narablog di zakyzahra-tuga.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Manthili Larung

11 September 2022   11:19 Diperbarui: 11 September 2022   11:28 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keheranan yang mengundang kian menggunungnya sakwasangka setelah semua menyadari, hanya Rowo Kidul dari Kadipaten Rowo Njero yang terkena wabah! Penduduk desa lain dari kadipaten ini juga menyantap ikan-ikan ini, semuanya sehat. Jelas ini bukan karena ikan yang meruah! Ini kutukan!

Penasehat spiritual desa Rowo Kidul akhirnya menyampaikan ke warga tentang pesan jagad yang diterimanya semalam. Setelah dua pekan, tak terhitung kematian yang harus merundungi para warga. Tidak hanya kesedihan, tapi ketakutan lebih dahsyat pengaruhnya dalam mempercepat penyebaran penyakit dan kematian berikutnya.

"Kita harus melakukan ritual itu, kisanak, nisanak," kata Ki Lantang, suami tetua para tandak. Warga yang mendengarnya dalam putus asa mendesaknya untuk mengatakan tanpa berbelit-belit. Jika memang itu bisa menghilangkan dengan cepat penyakit secepat datangnya, pengorbanan apapun akan siap mereka lakukan.

"Nyusoni siluman bajul putih[9]," jelas Ki Lantang dengan suara bergetar. Tak seorang pun berani berkomentar. Mereka akan menyerahkan semuanya kepada Nyi Lantang dan Ki Lantang.

Pagi ini, hari ke-15 pagebluk. Ki Lantang dan Nyi Lantang mengumpulkan para tandak. Anehnya, tak satupun tandak yang terkena wabah. Termasuk keluarga dekat mereka. Sebenarnya, keadaan itu tidak lepas dari perhatian warga. Namun mereka tak sempat memikirkan lebih jauh karena beban pribadi yang harus dihadapinya saat ini. 

Ketika ritual itu disampaikan Ki Lantang, tentu saja ada yang merasa kegirangan. Mereka seharusnya juga merasakan kepedihan yang warga alami, demikian pikir beberapa orang. Diantara para warga ada yang berpikiran sudah seharusnya para tandak dan keluarganya melakukan pengorbanan.

Manthili dengan riang berlari menuju padepokan Nyi Lantang. Ia mendengar malam ini mereka akan menari. Di tengah duka yang makin menguarkan aroma pahit dan gelap, tentu pikiran polosnya mengatakan tarian ini untuk menghibur dan mengembalikan semangat penduduk. 

Wajah girangnya tak bisa disembunyikan. Wajah yang membuat banyak warga yang melihat terasa terbakar hati. Bagaimna ia sesumringah itu, sementara setiap hari mayat bergelimpangan bersama tangis-tangis pilu? Namun orang-orang harus menelan kekesalannya mengingat yang dipikirkannya itu hanya seorang gadis kecil.

Tanpa basa-basi Nyi Lantang menyampaikan alasan malam nanti melakukan tarian ritual.

"Kita akan menghentikan pagebluk ini," kata Nyi Lantang. Meski mulutnya tersumpal tembakau susur, suaranya jelas dan lantang. Hanya tandak-tandak yang hampir berusia tengah baya dapat mengerti maksud Nyi Lantang. Karena tarian ritual itu sudah jarang dilakukan. 

Terakhir ketika air rawa ini mendadak meluap sekitar 35 warsa lalu yang menelan korban banyak warga. Tentu Manthili dan beberapa perempuan muda dua puluhan belum pernah tahu. Apalagi musibah itu tak pernah menjadi buah bibir dan cerita tutur kakek nenek dan bapak biyung mereka. Tentu karena dianggap tak ada guna mengungkit duka, lara, dan bencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun