Labuh semplah[1], sasi Sitra[2], 1217 Saka. Seharusnya tak seorang pun merundung dengan ratap yang tiada henti. Sedang selama dua wuku[3] ikan-ikan meruah di sehamparan rawa desa Rowo Kidul. Mereka tak perlu bersusah payah, hanya tinggal memungutnya saja sebelum ikan-ikan ini menjadi bangkai.Â
Pasti telah terjadi pladu[4], entah di mana. Sedang musim masih hendak menyambut penghujan, tidak mungkin ada luapan air bah.
Kala wabah itu mulai datang, tepat hari sepekan setelah pladu. Warga masih terlena dengan ikan-ikan. Tanpa menebar jaring, satu keluarga bisa mendapatkan lebih dari dua pikulan[5]. Perahu-perahu rawa nyaris tak leluasa bergerak.Â
Saking lambatnya, ikan-ikan itu dapat meloncat ke dalam perahu. Hari saat wabah mulai datang... penduduk beroleh berkah, melebihi saat panen raya.
Hampir sepekan Rowo Kidul lebih ramai dari hari biasa, bahkan saat panen raya. Kabar pladu ini segera tersebar. Tak seorang pun melepaskan kesempatan. Hingga orang-orang dari utara, barat, dan timur berduyun ke Rowo Kidul.Â
Mereka bersama-sama menikmati anugerah langit. Rumah-rumah warga kini sesak dengan para tamu yang ingin menginap. Terutama mereka yang ingin menikmati pesta pladu, memanggang ikan dengan menikmati tembang dan tarian yang bisa berlangsung selama beberapa hari dan malam.
Selama sepasar[6] di tengah tanah lapang paling timur desa, pesta digelar dengan tarian dan minum tuak. Sementara di tepiannya, warga membentuk gerombol-gerombol. Mereka memanggang ikan dan menyantapnya sambil menikmati liukan tubuh lentur tandak[7] Rowo Kidul.Â
Ketika santapan dan tuak telah memanaskan tubuh dan hasrat mereka, para pria bangkit dan mendekati satu perempuan untuk pasangan menari. Tak peduli setidak beraturannya gerakan tubuh, para lelaki ini merangsek bagai kerbau di arena pacuan.
Para lelaki yang menghabiskan malam dalam mabuk, esok pagi akan pulang ke desa masing-masing sambil membawa berinjing ikan. Atau mereka akan membawa berpikul-pikul ikan ke kota raja dan desa-desa darat untuk dijual. Pesta pladu tak boleh dilewatkan.
Tidak semua tandak masih muda. Tapi tak satupun dari mereka memiliki pasangan hidup. Meskipun bukan keharusan, nyatanya tak seorang pria pun yang bersedia menikahi tandak. Mereka hanya menikmatinya untuk kesenangan yang kadang dipertahankan selama beberapa sasi.Â
Setiap tandak punya hak untuk menentukan dan memilih siapa pria yang bersenang dengannya selama waktu tertentu. Tidak ada yang akan melawan keputusannya. Karena para pria itu tahu, suatu pantangan jika sampai membuat para tandak murka. Mereka adalah para penyusu bajul putih!
Hanya satu diantaranya yang masih sangat muda. Manthili namanya. Usianya tak lebih dari 12 warsa. Baru beberapa sasi ia diijinkan bergabung dengan para tandak. Setelah dipastikan Manthili datang bulan oleh Nyi Lantang, tetua para tandak, barulah gadis yang mulai memasuki remaja ini diperkenannya menyandang sampur dan menghibur dengan kegemulaian tubuhnya.Â
Belum ada seorang pria pun yang tertarik untuk menghabiskan waktu bersenang dengan Manthili, meski mereka sudah melenggak bersama di panggung tanah Rowo Kidul.
Tentu karena gadis ini masih tampak bau kencur. Dari balik kemben[8]nya yang tertutup sampur, dadanya masih terlihat rata. Justru inilah yang dinikmati Manthili. Ia ingin menjadi tandak, bukan penghibur. Ia akan menari sepuasnya. Bahkan saat gending senyap, saat tanah lembab ini hanya disinari gemintang yang temaram, ia bebas menikmati imaji dari setiap liukan tubuhnya, menghadirkan pesona-pesona syurgawi yang hanya dimengerti dirinya.Â
Manthili yakin, hanya dia yang seperti ini. Tidak pada tandak lainnya yang menyenangi kepeng dari para pria yang disisipkan ditengah payudaranya. Perempuan yang bersukarela melepas kebebasan imajinya dengan pria yang dianggapnya mencipta sukacita bersama.
Semua imajinya lenyap mendadak tatkala satu-persatu warga Rowo Kidul terkena penyakit kulit yang aneh. Selama hampir seabad seingatan nenek kakek buyut mereka, belum pernah sekali pun penyakit semacam ini menyerang satu diantara mereka. Kehidupan rawa yang tak memberi kesempatan tanah mengering, beragam serangga dan binatang penguasa kelembaban sebagai penyebar penyakit, sangat memungkinkan mereka terserang sakit.Â
Mereka telah menemukan penangkal-penangkalnya. Kali ini, segala jenis herba telah diramu dari tetumbuhan dan binatang di sekitar mereka, tak ada yang mempan. Pengalaman penyembuhan penyakit-penyakit kulit sebelumnya, tak berarti menghadapi pagebluk kali ini.
Kini, sepekan sejak wabah menyerang, hampir separoh warga termakan penyakit misterius ini. Tabib-tabib didatangkan, bahkan bantuan dari kerajaan Majapahit. Karena kecemasan yang luar biasa penyakit ini akan merebak keluar Rowo Kidul, kebijakan isolasi pun diberlakukan. Tak ada warga dari mana pun boleh ke Rowo Kidul, begitu juga sebaliknya, tak seorang pun warga Rowo Kidul bisa keluar dari tanah yang berubah jadi mengerikan.
Sedangkan ikan masih meruah mengitari daratan-daratan Rowo Kidul, seakan menanti untuk dipestakan. Tapi kini tak seorang pun peduli. Mereka hanya menangkapnya untuk kebutuhan keseharian, tak bisa menjualnya. Dan tak ada nelayan dari luar Rowo Kidul yang tertarik untuk menangkap dan membawanya pulang.
Warga mulai menguburkan satu demi satu keluarganya yang meninggal dunia. Tetembangan di tanah tarian kini berubah jadi ratap kepiluan yang dari hari ke hari semakin menyayat hati. Jerit kesedihan itu semakin membuat para penderita dipercepat menuju kematian. Cepat sekali penyakit ini menular.Â
Tak terkatakan ketakutan yang kian mencekam. Orang-orang mulai khawatir untuk merawat sanak saudara mereka yang sakit. Cepat sekali mereka harus dihadapkan kehilangan demi kehilangan yang tak bisa dielakkan.
Perlahan berembus bisikan-bisikan yang entah dari mana. Ikan-ikan itu dihadirkan untuk menyebarkan penyakit ini. Semula mereka percaya begitu saja hingga menghentikan menyantapnya. Tapi kemudian mereka meragukan bisikan kabur itu saat orang-orang mulai mempertanyakan, mengapa warga dari luar Rowo Kidul yang memakan ikan dari rawa ini tak mengalami seperti mereka?Â
Keheranan yang mengundang kian menggunungnya sakwasangka setelah semua menyadari, hanya Rowo Kidul dari Kadipaten Rowo Njero yang terkena wabah! Penduduk desa lain dari kadipaten ini juga menyantap ikan-ikan ini, semuanya sehat. Jelas ini bukan karena ikan yang meruah! Ini kutukan!
Penasehat spiritual desa Rowo Kidul akhirnya menyampaikan ke warga tentang pesan jagad yang diterimanya semalam. Setelah dua pekan, tak terhitung kematian yang harus merundungi para warga. Tidak hanya kesedihan, tapi ketakutan lebih dahsyat pengaruhnya dalam mempercepat penyebaran penyakit dan kematian berikutnya.
"Kita harus melakukan ritual itu, kisanak, nisanak," kata Ki Lantang, suami tetua para tandak. Warga yang mendengarnya dalam putus asa mendesaknya untuk mengatakan tanpa berbelit-belit. Jika memang itu bisa menghilangkan dengan cepat penyakit secepat datangnya, pengorbanan apapun akan siap mereka lakukan.
"Nyusoni siluman bajul putih[9]," jelas Ki Lantang dengan suara bergetar. Tak seorang pun berani berkomentar. Mereka akan menyerahkan semuanya kepada Nyi Lantang dan Ki Lantang.
Pagi ini, hari ke-15 pagebluk. Ki Lantang dan Nyi Lantang mengumpulkan para tandak. Anehnya, tak satupun tandak yang terkena wabah. Termasuk keluarga dekat mereka. Sebenarnya, keadaan itu tidak lepas dari perhatian warga. Namun mereka tak sempat memikirkan lebih jauh karena beban pribadi yang harus dihadapinya saat ini.Â
Ketika ritual itu disampaikan Ki Lantang, tentu saja ada yang merasa kegirangan. Mereka seharusnya juga merasakan kepedihan yang warga alami, demikian pikir beberapa orang. Diantara para warga ada yang berpikiran sudah seharusnya para tandak dan keluarganya melakukan pengorbanan.
Manthili dengan riang berlari menuju padepokan Nyi Lantang. Ia mendengar malam ini mereka akan menari. Di tengah duka yang makin menguarkan aroma pahit dan gelap, tentu pikiran polosnya mengatakan tarian ini untuk menghibur dan mengembalikan semangat penduduk.Â
Wajah girangnya tak bisa disembunyikan. Wajah yang membuat banyak warga yang melihat terasa terbakar hati. Bagaimna ia sesumringah itu, sementara setiap hari mayat bergelimpangan bersama tangis-tangis pilu? Namun orang-orang harus menelan kekesalannya mengingat yang dipikirkannya itu hanya seorang gadis kecil.
Tanpa basa-basi Nyi Lantang menyampaikan alasan malam nanti melakukan tarian ritual.
"Kita akan menghentikan pagebluk ini," kata Nyi Lantang. Meski mulutnya tersumpal tembakau susur, suaranya jelas dan lantang. Hanya tandak-tandak yang hampir berusia tengah baya dapat mengerti maksud Nyi Lantang. Karena tarian ritual itu sudah jarang dilakukan.Â
Terakhir ketika air rawa ini mendadak meluap sekitar 35 warsa lalu yang menelan korban banyak warga. Tentu Manthili dan beberapa perempuan muda dua puluhan belum pernah tahu. Apalagi musibah itu tak pernah menjadi buah bibir dan cerita tutur kakek nenek dan bapak biyung mereka. Tentu karena dianggap tak ada guna mengungkit duka, lara, dan bencana.
Untuk pertama kali mereka mendengar bencana itu dari Nyi Lantang pagi ini saat menjelaskan tarian ritual. Tentu saja para gadis sangat terperanjat. Meski mereka sudah terbiasa disentuh para pria bahkan pada buah dadanya, tak pernah sekalipun ia membayangkan bakal membiarkan siluman buaya putih menyusu padanya.Â
Begitu juga Manthili yang mendadak merasa bergidik hingga menggelengkan kepalanya berulang kali. Dipejamkannya matanya karena mendadak merasa mual. Ia bangkit bermaksud untuk segera pulang.
"Manthili!" suara lantang Nyi Lantang menghentikannya.
"Duduklah kembali. Simbah belum selesai," lanjut perempuan yang usinya sudah lewat 70 warsa, namun masih tampak raut ayunya yang memesona. Sedang Ki Lantang sendiri jauh lebih muda, baru lewat setengah abad usianya.
Nyi Lantang mengatakan kalau formasi tari tidak boleh berkurang. Tak ada satu pun yang sudah diikat sebagai tandak rawa bisa melepaskan diri dari kewajiban ini.
"Menjadi tandak rawa itu anugerah dan berkah langit. Dan kini penduduk Rowo Kidul membutuhkan kalian. Tidak pantas ada yang menolaknya." Ki Lantang menatap kagum istrinya yang selalu bisa membangkitkan ruh para tandak.
"Kula mboten purun[10]," suara itu bergetar bercampur tangis. Manthili mengatakannya. Penolakan Manthili membuatnya menghadapi masalah yang lebih besar. Ketika semua diijinkan pulang untuk menyiapkan diri, Manthili tetap tinggal di padepokan. Orangtuanya dipanggil untuk datang menemui Nyi Lantang.
Orangtua Manthili tak bisa berbuat apa-apa meski hati biyungnya hancur melihat tangis raung anak gadisnya. Biyung Manthili meratap tapi tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menghentikan keikutsertaan putrinya dalam ritual malam nanti.
Bunyi gending membelah malam yang pekat, bertepatan dengan bulan mati. Walau udara terasa hangat, tak bisa melenyapkan kebekuan dan ketercekaman. Isak-isak tangis dari semua sudut desa, selirih apapun dapat terdengar di kesunyiannya. Bahkan dari daratan-daratan kecil yang letaknya terpisahkan oleh genangan air rawa.
Tanah lapang yang paling tinggi diantara dataran desa rawa ini, kini diterangi delapan oncor mengelilingi tepian. Tarian kali ini tanpa seorang penonton pun kecuali para pemain gending, Ki Lantang dan istrinya.
Para tandak menata diri menjadi tiga baris yang setiap baris terdapat delapan tandak. Mereka yang muda usia berada di barisan paling depan. Tentu saja salah satunya Manthili.
Manthili merasakan badannya menggigil antara panas dan dingin. Hatinya mengerang antara takut dan marah. Ia memulai gerakannya dengan tumpukan kecewa karena orangtuanya melepaskannya tanpa daya. Keyakinannya kalau ia berbeda dengan tandak rawa lainnya, malam ini akan hancur. Ia tak mampu mempertahankannya. Ia membayangkan masa gelap setelah malam ini karena mendapati dirinya akan memasuki dunia yang tak lagi merdeka.
Seiring derasnya air mata, gerak tubuhnya pun kian menggila. Ia akan menghabiskan seluruh energinya sampai saat yang paling tak terbayangkan tiba. Sampailah ketika tepian rawa tampak berbuih. Tak ada satu tandak pun yang tidak berdiri bulu kuduknya. Suara mantra Ki Lantang membuat mereka kian tak berkutik. Sesosok bayangan muncul dari tepian rawa. Manusia yang tampak bagai bayang-bayang.
Serempak para tandak melepaskan kembennya. Mereka hanya menutupi dadanya dengan sampur. Pria itu berjalan ke tengah semakin mendekati mereka. Para tandak mulai merasakan getaran aneh yang membuatnya jireh[11]. Perawakan pria itu sangat gagah dengan langkah bak taruna.Â
Langkahnya menuju ke Manthili. Ketika kian dekat terdengar dengkuran yang semakin kuat. Alunan gending dan mantra yang juga semakin lantang, tak mampu mengubur dengkuran yang tambah membuat bergidik. Kini jelas sudah wajah lelaki yang gagah itu dan membuat Manthili memekik sekerasnya.
Sontak semua tandak menghentikan gerakan, walau gending dan mantra terus mengalir. Manthili melangkah mundur. Namun langkah pria yang menyeramkan itu kian pendek jarak dengannya. Entah kekuatan dari mana membuatnya sanggup berbalik badan, dengan sekuat tenaga Manthili melajukan kakinya, lari menjauhi lelaki yang pastinya siluman buaya putih!
Manthili berlari terus hingga baru menyadari kini dirinya berdiri di tepi rawa. Ikan-ikan yang masih membeludah mulai menggigiti kakinya. Rasa takutnya membunuh rasa sakit akibat gigitan-gigitan itu.
"Tak ada yang bisa mengambil kebebasanku! Kalau aku memang berkah dari langit, hanya langit yang bisa mengambilku!" teriak Manthili sambil memandang teman-teman tandak, pemain gending, Ki Lantang, Nyi Lantang, yang berdiri jauh darinya.
Tapi entah bagaimana, jaraknya dengan lelaki itu mendadak sedemikian dekat! Manthili terkejut luar bisa. Ia mundur dengan cepat. Kakinya yang melemh akibat luka, dan tanah licin yang diinjaknya membuat tubuh mungilnya dengan cepat menggelincir ke dalam rawa. Serombongan ikan seperti dikomando menggiringnya gadis cilik itu ke tengah raw. Tak ada suara Manthili. Lalu terdengar tawa yang sedemikian keras bersamaan dengan lenyapnya siluman buaya putih.
***
Manthili menyeruak ke kerumunan warga yang sudah menyesaki area tak jauh dari bukit tanah tempat prosesi akan dilaksanakan. Meskipun gulita dan hanya diterangi beberapa oncor, siapapun masih bisa melihat deretan perempuan yang akan menjadi jawaban atas wabah chikungunya yang menyerang hampir dua ratus warga. Perempuan-perempuan itu adalah para tandak. Ini adalah keputusan para sesepuh.
Warga tak bisa melewati batas yang memberi jarak sekitar 200 meter. Cahaya-cahaya dari senter yang sengaja mereka bawa, ternyata tak mampu untuk memperjelas panggung alami prosesi ritual telanjang dada.
Dengan menunjukkan kartu persnya ke panitia, dan menandatangani kesepahaman etika publikasi, Manthili bisa mendekati area khusus. Prosesi ini mengingatkannya pada mimpi panjang yang berulang hadir selama hampir setahun ini. Mimpi yang tak pernah bisa di mengerti.
Seorang perempuan setengah baya yang masih tampak kecantikannya mendekatinya.
"Manthili," sapa perempuan itu. Manthili tertegun sesaat. Manthili menjabat tangannya dengan santun.
"Maaf, ibu mengenali saya? Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Perempuan itu tersenyum lembut dan mengangguk. Melihat dandanan tradisionalnya, Manthili bisa menduga kalau perempuan ini pasti salah satu dari sesepuh Desa Kates, salah satu desa di daerah bekas rawa purba[12] ini.
"Mungkin kamu lupa. Tapi Nyi tidak akan lupa peristiwa lebih dari tujuh ratus tahun lalu. Saat kamu memilih mempertahankan kebebasanmu. Bagaimana dengan dirimu sekarang? Saya Nyi Lantang, Manthili." [***]
Cerpen "Manthili Larung" tahun 2019, terpilih menjadi 1 dari 22 cerpen pilihan di event Kompetisi Menulis Cerpen #NulisIndonesiana
https://blog.storial.co/2019/10/18/kompetisi-menulis-cerpen-indosiana-dengan-total-hadiah-176-juta-rupiah/
----------------------------------------------------
[1] Salah satu musim dalam ketentuan musim (pranata mangsa) Jawa,
[2] Sasi Manggala atau sasi kalima adalah bulan kelima dalam perhitungan musim menurut ketentuan musim (pranata mangsa) Jawa, antara tanggal 13 Oktober -- 8 November (27 hari).
[3] Wuku adalah siklus penanggalan Jawa dan Bali yang berumur 7 hari (satu pekan). (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Wuku)
[4] Pladhu (atau ditulis secara populer sebagai "pladu") dalam bahasa Jawa berasal dari pa + ladhumenjadi paladhu. Ladhu artinya banjir lumpur atau lahar. Paladhu berubah ucap menjadi pladhu. Pladu awalnya disebabkan faktor alam, misal gunung meletus. Aliran lumpur dinginnya mendorong air dan isinya (ikan) yang dilaluinya menuju tempat tertentu, sehingga di tempat itu ikan-ikan berkumpul dalam kondisi mabuk.
[5] [Jawa] Pikulan adalah satuan berat yang biasa digunakan masyarakat Jawa. Satu pikulan sekitar 60 kg.
[6] [Jawa] Sepasar adalah satu pekan atau satu minggu.
[7] [KBBI] penari, penari tayub, penari ronggeng
[8] [Jawa] pakaian tradisional perempuan yang dimulai dari menutup dada ke bawah, bahu terbuka.
[9] [Jawa] Menyusui buaya putih.
[10] [Jawa] Saya tidak mau.
[11] [Jawa] takut
[12] Tulungagung selatan dikenal sebagai daerah bekas rawa purba. Di daerah itu pula dari hasil temun dn penelitian ditemukan kerangk manusia purba, yaitu Homo Wajakensis I, II, III, dan IV. Beberapa tradisi masih dipertahankan meskipun sudah banyak yang ditiadakan secara sengaja atau tidak sengaja.Â
Seperti tradisi ritual telanjang dada yang dari banyak sudut pandang dan kajian, akan lebih banyak dampak negatifnya daripada positif. Salah satuya dalah pertimbangan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dapat digunakan untuk penyalahgunaan momentum prosesi ritual ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H