"Tapi ini belum aku pertimbangkan berhasil tidaknya, No."
"Halah, pertimbangan-pertimbanganmu ndak penting. Kowe harus coba, semakin banyak mencoba, semakin tinggi tingkat berhasilmu. 2 hari lalu aku beri saran buat nemuin Sulastri di ruang book club, tapi kamu ndak laku-lakuin sampai sekarang."
"Ya kan pertimbanganku belum matang betul."
"Wes, ayo, nyangkem ae ket mau. Banyak cocot, lambemu loro po? Mau deket sama Sulastri ndak? Nek mau ya ayo."
Kuturuti apa kata Seno, walau dengan sedikit rasa jengkel bercampur dengan gugup. Rencana yang kami akan lakukan hari itu adalah dengan meniru salah satu adegan di sinetron. Sekali lagi, ini ide Seno, bukan ideku. Tak akan mungkin aku memikirkan ide konyol seperti itu. "Kowe jalan di belakang Sulastri, tabrak Sulastri di belakang. Persis kayak adegan sinetron yang sering ditontong mamaku," kata Seno.
Kulakukan hal tersebut. Walau sedikit konyol, tapi inilah salah satu cara yang diberikan teman baikku. "Awas kau Seno, kalau sampai gagal, tak potong batang penismu!"
Kuikuti Sulastri dari belakang, mencari momen yang tepat untuk melakukan aksi bak di sinetron-sinetron. Sampailah aku di kantin. Kulihat Sulastri tak menyadari kalau aku membuntutinya sedari tadi. Kurasa ini adalah momen yang tepat. Ku senggol Sulastri dari belakang.
Gubraaaaak!!!!! Piring siomay yang dibawa Sulastri jatuh ke muka mas Mono, kakak kelas yang ditakuti seantero sekolah.
"WOY! Kowe goblok po? Kowe ndak lihat aku duduk di sini?! Dasar picek!" pekik mas Mono menghardikku. Tetiba mas Mono sudah berdiri dihadapanku dan menarik kerah bajuku. Tertariklah aku diangkatnya karena memang badan mas Mono jauh lebih tinggi dari aku.
"A...anu...anu mas, dingapunten," jawabku ketakutan. Siapa yang tak ketakutan saat dibentak preman sekolah begini?
"Ngapunten ngapunten, kowe kira dengan ngapunten bisa ngrampungke masalah?!"