Kami keluar dari kamar dengan masih ada rasa malu satu sama lain. Kami benar-benar seperti seseorang yang tak mengenal satu sama lain dan dipaksa untuk berbicara. Bibi sudah menunggu kami dengan menenteng seragam Sulastri yang sudah selesai beliau keringkan. Sulastri kemudian meminta izin kepadaku untuk berganti baju, dan kupersilahkan.
Di atas motor kami benar-benar merasa ada yang mengganjal di batin masing-masing. Tak ada tawa, tak ada kata, hanya ada suara ban motor yang melaju di atas genangan air. Sesampainya di depan rumah Sulastri, kuberanikan diri untuk membuka percakapan.
"Sul... tentang yang tadi..."
"Tak apa, aku senang."
Bisakah kau bayangkan bagaimana perasaanku saat itu? Aku benar-benar sangat bahagia! Semesta seakan ikut bahagia, ia singkirkan awan hitam pekat dan hadirkan matahari sore untuk kunikmati. Aku benar-benar bahagia. Itu adalah hari paling bahagia seumur hidupku. Kupacu motorku ke tempat Cak Mat. Kutemui Seno yang baru saja selesai mengikuti pelatihan menjadi seorang penyiar di aula sekolah sedang meminum segelas es jeruk di sana.
"Aku traktir, Sen!"
"Kenapa kowe ini? Baru dapet wahyu po?"
"Dua mangkok pun boleh!"
"Sek to, cerita dulu. Mesti kamu udah... Ahai... dasar bejat! Wawanku sudah besar sekarang. Eh, tapi kamu tadi pake 'pengaman' to?"
"Ngawur, tak sampluk raimu!" kataku sambil menunjukkan gestur mengepal ke arah Seno.
"Ya terus kenapa?" Aku ceritakan semuanya kepada Seno. Seno tersenyum lebar ke arahku.
"Kok ndak sekalian diterusin," kata Seno menggodaku.
"Aneh-aneh! Cak, bakso kayak biasa dua ya!"
"Ke oke!"
.....................