Siswa di sekolahku lebih sering menghadiri konser yang diadakan organisasi lain ketimbang harus datang ke acara book fair yang tak jelas ke mana arahnya.Â
Namun, setelah Sulastri menjadi ketua, book fair ramai dikunjungi para siswa. Para siswa yang datang ke acara book fair--setelah Sulastri menjabat ketua--didominasi laki-laki. Mereka tak melihat buku-buku atau membelinya, mereka hanya ingin melihat keajaiban aura yang dipancarkan oleh Sulastri. "Pemuda hidung belang!"
      "Oh, iya boleh." Aku berikan laptopku yang sedari tadi kupangku di paha dan hawa panasnya telah membakar celana dan kulitku.
      "Ini apa? Kamu stalking instagram-ku?"
GOD! Aku lupa! Aku baru saja melihat-lihat gambar Sulastri di Instagram-nya. Air kencing yang tadi berhasil ku tahan, kini mulai mendobrak dinding kandung kemihku lagi. Aku tak tahu apa yang harus kukatan, aku bingung sejadi-jadinya. Hawa panas mulai menyelimuti diri. Keringat kurasai sudah berada di pelipis. Tidak, aku tidak boleh kelihatan gugup. Yang dihadapanku ini Sulastri!
"It...itu... nga...nganu... itu tugas dari pak Karyo buat ngumpulin foto-foto ketua organisasi-organisasi sekolah buat di pamerin ke sekolah lain." Akhirnya aku mengatakan alasan tak masuk akal itu. Dan air kencingku tumpah sedikit, aku bisa merasakannya. Tak apalah, yang penting Sulastri tak curiga lebih jauh.
Kuceritakan kejadian itu sepulang sekolah pada temanku, Seno. Kuceritakan kepadanya dengan sangat menggebu-gebu di tempat penjual bakso langganan kami.
"Aku, jatuh cinta, Sen!"
"Sama buku apa? Buku kemarin yang kowe pinjami ke aku waktu itu?
"Wuuu... ngawur...."
"Lha terus? Oh pasti sama esainya Cak Nun kan?"