Mohon tunggu...
Zakarias Wahyu
Zakarias Wahyu Mohon Tunggu... Lainnya - zacharia

saya buat cerpen hanya untuk tugas B.Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Sebut Apa Sajalah

25 November 2020   09:56 Diperbarui: 25 November 2020   10:01 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Sebut apa sajalah

Mari kuceritakan tentang kisahku, kisah tentang seorang remaja berusia 17 tahun yang telah mencium seorang gadis. Tidak, jangan dulu berpikir kalau-kalu aku ini bejat, kawan. Kau perlu membaca terlebih dahulu kisahku ini, baru kau boleh menghardikku sesukamu. Aku tak melarang, sungguh.

Malam itu keajaiban alam sepertinya benar-benar menunjukkan eksistensinya. Malam itu semesta semestinya memberkati, atau mungkin malah menghardikku? Aku tak yakin. Tapi yang aku yakini adalah gadis ini memang benar-benar menginginkan ciuman ini.

Sulastri Hadiwijojo, gadis cantik turunan sedikit darah Perancis. Aku tak yakin ini benar atau tidak, tapi kelak aku akan mengetahui kebenaran mengenai DNA gadis ini. Sulastri adalah bunga edelweiss terakhir dan satu-satunya di sekolahku. Incaran semua laki-laki, bahkan guru. Senyumannya melayukan bunga seluruh taman karena mereka semua merasa tak berguna memperindah taman. Kulitnya putih jernih bak kapas yang telah dibilas berkali-kali menggunakan susu sapi dari daerah Priangan.

Saat itu di perpustakaan sekolah, aku melihat Sulastri. Ya, memang aku habiskan separuh masa sekolahku untuk berada di perpustakaan. Konsekuensi darinya adalah, aku tak punya banyak teman. Dan yang paling membuatku sedikit terganggu yaitu aku juga tak dikenali oleh siswa-siswa lain, bahkan para guru. Menurutmu perpustakaan membosankan? Menyingkirlah kalau begitu, pasti kau takkan kuat membaca ceritaku ini. "Enyahlah kalian wahai manusia-manusia tak suka membaca!"

"Eeehhhmmm, Bawor ya?" Sulastri saat menegurku. Ia memanggilku Bawor? Ah, tak apa, toh juga sudah sering ia salah menyebut namaku, aku sudah terbiasa.

 "Bu...bukan... Wawan, Wawan Gumira." Jawabku terbata-bata, gugup. Tak mudah untuk menjawab terguran tersebut. Aku harus tetap menjaga wibawaku sebagai seorang pria. Dan aku juga harus tetap menjaga air kencingku agar tak keluar karena saking gugupnya aku waktu itu.

"Oh iya Wawan... Boleh minjem laptop ndak? Aku butuh nih."

"Buat apa?" Jawabanku sudah tak tebata-bata lagi. Aku sudah mampu menahan dan mampu mempertahankan wibawa di depan gadis ini.

"Buat ngecek file, bentar lagi mau presentasi di depan pembina soalnya."

Sulastri adalah ketua organisasi book club di sekolah. Walaupun book club di sekolahku sering dianggap sebagai organisasi sekte gelap, tapi Sulastri mampu memberikan gambaran lain di benak siswa semenjak ia diangkat sebagai ketuanya. Book club ini sering mengadakan book fair di aula sekolah. Acara ini sering mangkrak. Bukan karena para anggotanya tak mampu untuk menanganinya, tapi karena tidak ada yang mau datang.

Siswa di sekolahku lebih sering menghadiri konser yang diadakan organisasi lain ketimbang harus datang ke acara book fair yang tak jelas ke mana arahnya. 

Namun, setelah Sulastri menjadi ketua, book fair ramai dikunjungi para siswa. Para siswa yang datang ke acara book fair--setelah Sulastri menjabat ketua--didominasi laki-laki. Mereka tak melihat buku-buku atau membelinya, mereka hanya ingin melihat keajaiban aura yang dipancarkan oleh Sulastri. "Pemuda hidung belang!"

            "Oh, iya boleh." Aku berikan laptopku yang sedari tadi kupangku di paha dan hawa panasnya telah membakar celana dan kulitku.

            "Ini apa? Kamu stalking instagram-ku?"

GOD! Aku lupa! Aku baru saja melihat-lihat gambar Sulastri di Instagram-nya. Air kencing yang tadi berhasil ku tahan, kini mulai mendobrak dinding kandung kemihku lagi. Aku tak tahu apa yang harus kukatan, aku bingung sejadi-jadinya. Hawa panas mulai menyelimuti diri. Keringat kurasai sudah berada di pelipis. Tidak, aku tidak boleh kelihatan gugup. Yang dihadapanku ini Sulastri!

"It...itu... nga...nganu... itu tugas dari pak Karyo buat ngumpulin foto-foto ketua organisasi-organisasi sekolah buat di pamerin ke sekolah lain." Akhirnya aku mengatakan alasan tak masuk akal itu. Dan air kencingku tumpah sedikit, aku bisa merasakannya. Tak apalah, yang penting Sulastri tak curiga lebih jauh.

Kuceritakan kejadian itu sepulang sekolah pada temanku, Seno. Kuceritakan kepadanya dengan sangat menggebu-gebu di tempat penjual bakso langganan kami.

"Aku, jatuh cinta, Sen!"

"Sama buku apa? Buku kemarin yang kowe pinjami ke aku waktu itu?

"Wuuu... ngawur...."

"Lha terus? Oh pasti sama esainya Cak Nun kan?"

"Bukan! Mbok kira aku ini ndak bisa jatuh cinta karo manusia apa?"

"Tak kira kowe cuma bakal nikah sama buku. Wong kemarin kamu tidur sambil ngekep Bumi Manusia to?"

"Aku jatuh cinta sama Sulastri!"

Bruuuuh! Seno menyemprotkan kuah baksonya yang belum sempat ia telan tepat ke arahku.

"Sing nggenah?! Yang bener?!"

"Iya."

"Wah, sangar. Bangga aku. Tapi apa kowe yakin jatuh cinta sama Sulastri? Dia kan diincer sama satu sekolahan. Apa kowe siap kalau semisal tresnamu ndak kebales?

"Makanya, bantoni aku."

Dengan segala usaha kurayu Seno agar membantuku mendekati Sulastri. Seno akhirnya menyetujui, tapi dengan persyaratan. Syaratnya adalah setiap pulang aku harus membelikan Seno semangkuk bakso beserta es teh di Cak Mat, penjual bakso langganan kami. Kami bersalaman dan mengatakan "deal" bersama.

Hari-hari berikutnya aku dan Seno memikirkan bagaimana cara mendekati Sulastri. Seno memberikan saran-sarannya dan aku mencatat setiap saran dari Seno untuk nantinya kupertimbangkan berhasil tidaknya rencana tersebut. Sampai tiba suatu kejadian tak mengenakkan.

"Wes to, ayo manut. Nurut saja sama Seno Kusumo," kata Seno sewaktu kami ingin mencoba salah satu cara agar aku dan Sulastri dekat.

"Tapi ini belum aku pertimbangkan berhasil tidaknya, No."

"Halah, pertimbangan-pertimbanganmu ndak penting. Kowe harus coba, semakin banyak mencoba, semakin tinggi tingkat berhasilmu. 2 hari lalu aku beri saran buat nemuin Sulastri di ruang book club, tapi kamu ndak laku-lakuin sampai sekarang."

"Ya kan pertimbanganku belum matang betul."

"Wes, ayo, nyangkem ae ket mau. Banyak cocot, lambemu loro po? Mau deket sama Sulastri ndak? Nek mau ya ayo."

Kuturuti apa kata Seno, walau dengan sedikit rasa jengkel bercampur dengan gugup. Rencana yang kami akan lakukan hari itu adalah dengan meniru salah satu adegan di sinetron. Sekali lagi, ini ide Seno, bukan ideku. Tak akan mungkin aku memikirkan ide konyol seperti itu. "Kowe jalan di belakang Sulastri, tabrak Sulastri di belakang. Persis kayak adegan sinetron yang sering ditontong mamaku," kata Seno.

Kulakukan hal tersebut. Walau sedikit konyol, tapi inilah salah satu cara yang diberikan teman baikku. "Awas kau Seno, kalau sampai gagal, tak potong batang penismu!"

Kuikuti Sulastri dari belakang, mencari momen yang tepat untuk melakukan aksi bak di sinetron-sinetron. Sampailah aku di kantin. Kulihat Sulastri tak menyadari kalau aku membuntutinya sedari tadi. Kurasa ini adalah momen yang tepat. Ku senggol Sulastri dari belakang.

Gubraaaaak!!!!! Piring siomay yang dibawa Sulastri jatuh ke muka mas Mono, kakak kelas yang ditakuti seantero sekolah.

"WOY! Kowe goblok po? Kowe ndak lihat aku duduk di sini?! Dasar picek!" pekik mas Mono menghardikku. Tetiba mas Mono sudah berdiri dihadapanku dan menarik kerah bajuku. Tertariklah aku diangkatnya karena memang badan mas Mono jauh lebih tinggi dari aku.

"A...anu...anu mas, dingapunten," jawabku ketakutan. Siapa yang tak ketakutan saat dibentak preman sekolah begini?

"Ngapunten ngapunten, kowe kira dengan ngapunten bisa ngrampungke masalah?!"

Kulihat Sulastri dari celah bawah ketiak mas Mono. Dia sedang membersihkan sisa-sisa bumbu kacang siomay di bajunya. Aku merasa bersalah sekaligus gugup sekaligus KETAKUTAN.

"Jawab goblok!" Bau bumbu kacang di muka mas Mono yang belum sempat dibersihkan makin menusuk hidungku.

"A...anu... ini sepuluh ribu buat mas Mono," kurogoh saku bajuku, dan kuberikan sepuluh ribu uang sakuku ke mas Mono.

"Nah, gini kan enak. Wes, kono minggat! Arep njaluk tak sampluk po?!"

Kulari secepat mungkin ke belakang kantin setalah dilepasnya cengkraman dari kerah bajuku. Kutemukan Sulastri masing membersihkan sisa-sisa bumbu kacang di tubuhnya dengan air keran.

"Eehhm... Sul... Maaf ya," kataku dengan gugup bercampur malu. Sulastri tak menjawab dan masih sibuk membersihkan sisa bumbu kacang.

"Kamu kenapa sih, Wan? Kok aku ngerasa aneh ya beberapa hari belakangan ini sama kamu. Tak kira kamu itu beda, Wan. Ndak seperti yang lain, ternyata kamu sama aja. Kamu daritadi ngikutin aku kan? Dan kemarin lagi, dan kemarinnya lagi," jawab Sulastri dengan nada sedikit marah.

Aku tak mampu menjawab pertanyaan Sulastri, karena memang apa yang dikatakan Sulastri benar. Hari-hari sebelum kejadian kantin tersebut, aku membuntutinya ke mana saja. Sulastri ke kafe, aku ikut ke kafe. Sulastri pergi ke toko buku, aku ikut-ikutan ke toko buku. Tentu saja tanpa sepengetahuan Sulastri. Dan tentu pula itu semua ide sang Seno laknat! "Terkutuklah kau wahai Seno!"

"Aku risih tau ndak. Aku sering minjam laptop ke kamu karena aku pikir kamu itu beda!" lanjut Sulastri dengan nada tinggi, lebih tepat seperti memarahiku. Sering meminjam laptop ke aku? Iya, Sulastri sering meminjam laptop ke aku. Kejadian di perpustakaan hanya salah satu kejadian dari banyak kejadian Sulastri pinjam laptop kepadaku. Sebelum kejadian perpustakaan, aku merasa hanya seperti seorang pelayan yang melayani ratunya. Tapi tepat  saat kejadian perpustakaan, aku merasa hatiku berdegup kencang. Mulai saat itulah sikapku kepada Sulastri berbeda. Tidak seperti seorang pelayan lagi, tapi lebih ke arah seorang laki-laki yang mengharapkan dara tersebut menjadi kekasihnya.

Sulastri pergi setelah dia berhasil membersihkan sisa-sisa bumbu kacangnya, walau bercak bumbu kacang masih ada beberapa bagian yang belum sempat ia seka di bajunya yang berwarna putih. Dan aku masih terpaku di sana. "...aku pikir kamu itu beda," kata-kata tersebut masih terngiang-ngiang di kepala. Apa sebenarnya yang dipirkan Sulastri? Dia menganggapku sebagai temannya? Dia menganggapku temannya karena merasa aku berbeda? Jadi selama ini ia sering pinjam laptop kepadaku karena aku dianggapnya sebagai teman?! Sial, aku tak tahu apa yang dipikirkannya!

Seno tergopoh-gopoh datang kepadaku, "Aku tak tahu kalau kejadiannya bakal jadi kayak gini." Aku tak menggubris ucapannya. Aku masih terpaku memikirkan kata-kata sulastri. "Wan?" Seno mencoba untuk menyapaku sekali lagi.

Tiba-tiba rasa marah seakan datang kepadaku. Awan-awan mendung menyelimuti hatiku. "WES, AKU NDAK MAU KETEMU KOWE LAGI!" Akhirnya kata-kata itu muncul begitu saja. Rasa marahku sudah tumpah. Tak tega sebenarnya au mengatakan kata itu kepada Seno. Seno ini kawanku satu-satunya, tak mudah untuk berteman dengannya. Tapi apa daya, rasa marah sudah mengambil alih diri ini. Tak kupedulikan apa yang akan terjadi pada pertemanan ini, yang terpenting adalah Sulastri sudah enggan untuk bertemuku lagi.

"Ya aku minta maaf, Wan."

"Sana minggat, aku ndak mau lihat wajahmu lagi."

"Kok gini to, Wan."

"Ya memang gini. Sulastri sudah pergi! Gara-gara ide bodohmu itu!"

"Aku tahu aku bodoh, Wan. Tapi kok ya kamu tega ngomong gitu ke aku."

"Wes mbuh!" aku pergi dari hadapan Seno. Lari pergi dari tempat tersebut menuju ke ruang kelas.

Sial! Seno ini kan teman sekelasku. Ku coba menghindari Seno. Aku pindah tempat duduk karena memang kami bersebelahan tempat duduk. Ku coba pindah ke sebelah Bryan, seorang ketua tim basket di sekolahku.

"Yan, aku duduk sebelahmu ya."

"GAH! Sana ke sebelahnya Bayu wae!"

Bryan menolakku mentah-mentah, akhirnya kuturuti saran Bryan. Aku duduk di sebelah Bayu. Seorang yang aneh dan menjijikkan, siswa yang paling culun di sekolahan. Sial! Tapi apa boleh buat, aku akhirnya duduk bersebrangan dengan orang aneh ini. Aku benar-benar tak nyaman, tapi kubuat seolah Bayu tak ada, namun tak bisa.

"Mau coba ini ndak, Wan? Aku masak sendiri." Bayu menyodorkan makanan yang menurutku menjijikan, sangat-sangat menjijikkan. Makanan itu lebih layak untuk anjing pikirku. Pisang goreng berbalut selai coklat yang terlalu banyak, bertabur keju yang entah masih layak di makan atau tidak. Tapi tidak, anjing pun masih pikir-pikir maakan ini. Aku menolaknya. Bayu menarik makanannya, dan memakannya dengan lahap. Kulihat bibirnya membuka lebar-lebar, melahap satu potongan pisang utuh. Coklat yang kebanyakan meluber ke mana-mana, menetes dari mulutnya yang menganga. Keju yang bertaburan mencuat ke sembarang arah. Mulut Bayu sekarang penuh dengan coklat. Disekanya coklat tersebut dengan tangan. Tangan yang telah berubah jadi coklat ia balurkan ke celana. Ya Tuhan! Aku benar-benar tak nyaman berada di sebelah orang menjijikkan ini!

Aku pergi ke luar kelas menuju ruang UKS. Bersembunyi aku di ruang UKS sampai bel pulang sekolah. Kututup mulut seorang penjaga UKS yang sedang piket dengan uang sepuluh ribu agar ia tak mengadukanku kepada guru yang sedang mengajar di kelas.

Hari-hari setelah itu aku tetap menjaga jarak dari Seno. Aku tak duduk bersebelahan lagi dengan Bayu. Kini aku duduk bersebelahan dengan Warno, siswa yang kehidupannya normal-normal saja. Di tempat Cak Mat masih sering kulihat Seno makan bakso bersama teman-temannya. "Beruntunglah Seno masih punya teman. Sedangkan aku? Temanku hanya buku sekarang, cih!" Kuhindari tempat Cak Mat biasa mangkal. Jika sedang tak ada Seno di sana, barulah aku bisa memesan satu mangkok bakso dengan perasaan tenang.

Sulastri diam-diam masih aku perhatikan dari jauh, dia tak lagi meminjam laptop kepadaku saat di perpustakaan. Bahkan ia tak menyapaku saat kami bersua di perpustakaan. Sungguh malang nian nasibku ini, kini hanya aku dan perasaanku yang ada. Tak lagi aku sering ke perpustakaan setelah mengetahui Sulastri menghindar setiap bertemu denganku. Aku sekarang lebih sering berada di kantin, memesan sepiring siomay. Tak lagi ada yang bisa kuajak bicara, paling-paling hanya Bayu yang kuajak bicara di kantin, itu pun gara-gara kepepet. Jika aku masih ada Seno, tak sudi aku mengobrol dengan Bayu.

Tepat setelah seminggu terhitung sejak aku memilih untuk menjaga jarak dari Seno, keajaiban datang. Sepulang sekolah, aku berniat untuk pergi ke toko buku. Tak ada yang ingin kubeli, di sana aku hanya ingin menyegarkan pikiran dengan melihat-lihat aura yang dipancarkan dari buku. Aku terkejut mengetahui Sulastri datang dengan terburu-buru. Ia tarik lenganku, menjauh dari rak buku berisikan buku-buku novel best seller. Mukaku memerah. Tanganku bergetar tak karuan. Bibirku jadi mati rasa. Lidahku seakan memiliki tulang dan kaku untuk digerakkan. Hampir saja air seni menetes, untung saja bisa aku kendalikan. Kulihat Sulastri membuka mulut. Gadis ini memang istimewa. Kupikir kecantikan Annelies yang digambarkan Pram melalui Minke bisa aku lihat secara nyata dan jelas. "Tidak, dia lebih cantik dan lebih beruntung dari Ann, Minke!"

"Wan... Aku udah tau semuanya..." ucap dara itu yang membuat diri ini semakin seperti batang pohon.

"U...ud...udah tau a...a...apa?"

"Seno udah jelasin semuanya." Tunggu, Seno sudah menjelaskan semuanya? Dia menjelaskan apa? Untuk apa dia melakukan itu? Pertanyaan itu tak berani aku katakan, karena lidahku benar-benar sudah punya tulang sekarang!

"Kenapa diam saja? Kamu mau di sini sampai besok? Ayoh ikut aku!" Sulastri tiba-tiba mengajakku ke sebuah kafe di dekat toko buku itu. Dia menjelaskan semua apa yang telah Seno jelaskan kepadanya. Bahkan dia meniru gaya Seno yang selalu menggaruk ubun-ubunnya ketika menjelaskan sesuatu yang penting. "Aku ternyata salah menghakimimu waktu itu, Wan. Ternyata kamu masih Wawan yang aku kenal," imbuh Sulastri setelah dia puas menertawakan gelagat Seno yang aneh ketika menjelaskan sesuatu yang penting.

Kini aku tahu mengapa Sulastri sering meminjam laptop kepadaku. Ia selalu berharap kepadaku untuk berkenalan dengannya. Namun itu tak pernah terjadi, karena aku selalu gugup dan mati gaya ketika berhadap-hadapan dengan Sulastri. Dia tau namaku dari seorang temannya, "Namanya Wa-wan, dia itu siswa yang aneh, Las. Kayaknya dia itu ikut sekte pemuja kutang paus biru deh, aku curiga," kata Sulastri tentang bagaimana caranya ia tau namaku. Dan aku juga tau, ternyata waktu itu dia sengaja memanggilku dengan nama yang salah. Dia ingin tau nama panjangku rupanya. Kini aku lega, Sulastri benar-benar menjadi temanku sekarang. Tapi, masih ada satu masalah lain. Masalah mengenai tali persahabatan yang sempat putus dengan Seno.

Kuantarkan Sulastri dengan motor menuju rumahnya, dia mengucapkan terima kasih, lalu masuk ke dalam rumah. Kulihat ayah Sulastri ada di depan pintu menunggu kepulangan anak gadisnya. Kutundukkan sedikit kepalaku tanda salam dan penghormatan kepada ayah Sulastri. Ayah sulastri malah memasang muka seram. Kumis tebalnya seakan berkata, "Kukunyah lehermu kalau kau apa-apa kan anak gadisku!"

Kupacu kuda besiku ke arah Cak Mat biasa mangkal. Kuharap Seno masih berada di sana, aku mau minta maaf. Setelah sampai, aku celingukan mencari batang hidung Seno Raharjo. Kutemukan ia sedang makan semangkok bakso di bawah pohon mangga. Aku sudah berlatih sedari tadi di motor, mencoba menemukan formula yang tepat bagaimana caranya meminta maaf dengan tepat.

"Apa? Kowe mau minta maaf sama aku?" Belum sempat aku menyapanya, ia malah sudah terlebih dulu menyerangku.

"E... iya sen. Aku minta maaf ya."

"Wes rapopo, sini makan bakso. Cak, bakso satu lagi pake bihun ya! Oh iya, jangan pake seledri," teriaknya kepada Cak Mat.

"Ke oke," sahut Cak Mat dengan dialek Madura-nya

"Makasih ya," kataku sembari menyingkirkan mangkok bakso yang sudah kosong ke samping.

"Iya. Aku kasian sama kamu, Wan. Mosok harus ngobrol terus sama Bayu. Nggilani"

"Halah, bilang aja kamu kangen aku to? Hahahaha."

"Sedikit, hehe."

Kami akhirnya kembali mengaitkan tali pertemanan. Kami pun berjanji satu sama lain agar kejadian ini takkan terulang. Kami berpelukan di bawah pohon mangga yang teduh itu. "Ladalah, cah bocah ganteng kayak kalian kok ternyata ndak mal normal," ucap Cak Mat yang menyadarkan kami bahwa kami telah berpelukan. Cepat-cepat kami lepaskan pelukan, dan langsung pergi begitu saja. "Woi, belum yar bayar!" teriak Cak Mat. "Biasa cak, utang dulu!"

Aku semakin dekat dengan Sulastri. Kami sering pergi ke toko buku untuk membeli beberapa buku atau hanya sekedar mampir melihat-lihat. Sampai suatu ketika saat kami ingin menuju toko buku selepas pulang sekolah, hujan tiba-tiba datang menghampiri. Aku lupa tak membawa mantel. Kubelokkan laju motorku di persimpangan jalan menuju ke rumahku. Niatku hanya sekedar berteduh di rumah karena kulihat Sulastri sudah basah kuyup dan tasnya yang sudah basah sejadi-jadinya.

Kupersilahkan Sulastri masuk, hanya Bibi yang menyambut kedatangan kami. Ayah dan ibuku memang bekerja di luar kota, hanya setiap akhir pekan mereka pulang ke rumah. Ku pinjami pakaianku kepada Sulastri agar Sulastri tak kedinginan. Sulastri meminta izin untuk berganti pakaian di kamar mandi dan aku memperbolehkannya. Hujan tak kunjung reda, malah bertambah deras. Teh hangat yang masih mengepul di depan kami hanya berfungsi sebagai hiasan yang sesekali merelakan airnya untuk menghangatkan tubuh. "Mau nonton film aja ndak?" tawarku pada Sulastri untuk menghentikan keheningan. Sulastri mengangguk tanda setuju. Ku keluarkan beberapa kaset dari lemari di kamarku. Tak ada yang dipilih Sulastri. Akhirnya ku ajak Sulastri ke kamar untuk memilih sendiri.

Di kamar Sulastri takjub akan banyaknya buku-buku yang aku koleksi sejak dari TK. Ia memutari seisi kamar dan mengedarkan pandangan ke arah rak buku. Sesekali ia tarik sebuah buku, lalu dikembalikannya kembali. "Banyak sekali, aku akan betah berada di sini," kata Sulastri. Aku masih sibuk mengedarkan pandangan pada lemari kaset, menimang-nimang kaset film mana yang mungkin akan menyenangkan hati Sulastri.

Kutemukan satu kaset kesayanganku, dan mencoba menawarkannya pada Sulastri. Kubalikkan badanku dan kutemukan Sulastri sedang memegang sebuah kotak dengan gambar alien di depannya. Aku panik bukan main. Itu adalah kotak berisi majalah dewasa yang Seno pinjamkan padaku beberapa hari lalu. "Jangan!" teriakku yang mengejutkan Sulastri. Tapi terlambat, Sulastri sudah melihat sampul depan salah satu dari majalah tersebut. Cepat-cepat kusingkirkan tangan suci Sulastri dari benda kotor tersebut. Kudorong tangan Sulastri. Karena dorongan itu terlalu kuat, Sulastri jatuh ke atas kasur. Keseimbangan yang hilang, membuat Sulastri menarik lenganku sehingga aku ikut terjatuh di sampingnya.

Kami saling menatap di atas kasur tersebut. Kupandangi detail wajahnya, sangat istimewa. Tak ada pergerakan antara aku maupun Sulastri, kami hanya saling pandang satu sama lain.

"Itu majalah apa?" tanya Sulastri dengan tetap memandangi mataku.

"Eh... i...itu...itu majalahnya Seno, tak sempat ia ingin mengambil," jawabku dan masih tetap kupandangi wajahnya.

"Bohong."

"Kalau tak percaya tan..." belum sempat aku menyelesaikan jawabanku, bibir Sulastri sudah menempel di pipiku. Aku malu sejadi-jadinya. Mukaku memerah. Kulihat wajah sulastri pun ikut memerah. Aku berusaha mengendalikan diri, tapi tak bisa. Kucium balik gadis tersebut tepat di bibirnya. Wajahku semakin memerah, wajah Sulastri pun tambah memerah. Kami sudah tak saling pandang karena kami sadar, kami harus mengendalikan diri.

3 menit kami beerdiam lama. Tak saling pandang, tak saling bercakap. Kami hanya harus mengendalikan diri, tidak boleh tidak! Kulihat jendela kamarku yang berada di belakang Sulastri, hujan sudah mereda.

"Hujannya udah reda, mau pulang sekarang?" tanyaku yang masih gugup bercampur rasa malu

"I... iya,' jawab Sulastri yang terdengar sangat canggung

Kami keluar dari kamar dengan masih ada rasa malu satu sama lain. Kami benar-benar seperti seseorang yang tak mengenal satu sama lain dan dipaksa untuk berbicara. Bibi sudah menunggu kami dengan menenteng seragam Sulastri yang sudah selesai beliau keringkan. Sulastri kemudian meminta izin kepadaku untuk berganti baju, dan kupersilahkan.

Di atas motor kami benar-benar merasa ada yang mengganjal di batin masing-masing. Tak ada tawa, tak ada kata, hanya ada suara ban motor yang melaju di atas genangan air. Sesampainya di depan rumah Sulastri, kuberanikan diri untuk membuka percakapan.

"Sul... tentang yang tadi..."

"Tak apa, aku senang."

Bisakah kau bayangkan bagaimana perasaanku saat itu? Aku benar-benar sangat bahagia! Semesta seakan ikut bahagia, ia singkirkan awan hitam pekat dan hadirkan matahari sore untuk kunikmati. Aku benar-benar bahagia. Itu adalah hari paling bahagia seumur hidupku. Kupacu motorku ke tempat Cak Mat. Kutemui Seno yang baru saja selesai mengikuti pelatihan menjadi seorang penyiar di aula sekolah sedang meminum segelas es jeruk di sana.

"Aku traktir, Sen!"

"Kenapa kowe ini? Baru dapet wahyu po?"

"Dua mangkok pun boleh!"

"Sek to, cerita dulu. Mesti kamu udah... Ahai... dasar bejat! Wawanku sudah besar sekarang. Eh, tapi kamu tadi pake 'pengaman' to?"

"Ngawur, tak sampluk raimu!" kataku sambil menunjukkan gestur mengepal ke arah Seno.

"Ya terus kenapa?" Aku ceritakan semuanya kepada Seno. Seno tersenyum lebar ke arahku.

"Kok ndak sekalian diterusin," kata Seno menggodaku.

"Aneh-aneh! Cak, bakso kayak biasa dua ya!"

"Ke oke!"

.....................

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun