"Aisyah kritis. Kamu segera ke sini."
"Iya, Mas. Ini di tengah jalan ke sana." Aku pun menutup telepon sepihak.
"Ayok, bang cepat kita lanjut lagi ke rumah sakit." Secepat kilat aku segera naik kembali ke motor abang ojek.
Kecepatan motor bang ojek pun kian meninggi sesuai instruksiku. Hatiku tak karuan. Dunia seperti runtuh. Senyuman Aisyah tiba-tiba membayangiku, berdesakan di otakku. Tak terasa pipiku basah. Air mata deras menganak sungai.
"Asiyah!" jeritku dalam hati.
Setelah sampai, aku lari menuju ruang ICU. Aku dapati Mas Tejo sedang swndiri di luar ruangan itu. Dia menunduk, lesu.
"Mas." Aku pun terduduk lemah di sampingnya.
"Aisyah sudah tak sanggup lagi, Yati," ungkapnya setelah menatapku.
"Apa? Maksudnya?" Aku masih belum percaya ini. Ya, Allah.
"Aisyah sudah meninggalkan kita. Barusan." Tangis Mas Tejo semakin deras. Pun aku.
Masih tak percaya, aku mengintip ruangan Aisyah dari kaca yang ada di pintunya. Sekujur tubuh itu sudah ditutupi oleh kain kafan. Aku terjatuh di depan pintu itu.