"Alhamdulillah. Terima kasih, Mas. Bentar lagi aku ke sana. Mas di sana?"
"Iya. Ya, sudah kalau gitu."
Mas Tejo mengakhiri percakapan kami. Aisyah, Ibu segera datang. Aisyah harus kuat. Kita semua sayang Aisyah. Aku mengenakan baju terbaik hari ini. Mana tahu nanti Aisyah membuka matanya. Aku pun segera ke rumah sakit. Sampai-sampai melupakan nasib perutku yang belum terisi.
Sampai di rumah sakit, aku mendapati Mas Tejo dengan wajah yang sangat cerah. "Bagaimana, Mas?"
"Seperti yang aku bilang di telepon tadi. Kita pantau saja terus."
Aku mengangguk sembari melihat Aisyah dari kaca pintu ICU.
"Kakimu kenapa, kok, jalannya begitu?" Mas Tejo memindai kakiku.
"Kemarin aku jatuh. Tapi, sudah enggak masalah, kok."
"Oh, ya aku pamit dulu, ya. Mau kerja dulu. Kamu di sini, kan?" tanya Mas Tejo.
"Iya, Mas tenang saja."
Setelah mengenakan pakaian khusus untuk masuk ke ruang ICU. Aku duduk di samping Aisyah. Aku sangat berharap keajaiban itu datang segera. Akan tetapi, sampai sekitar dua jam aku di sana tak ada tanda-tanda Aisyah siuman. Bahkan tangan Aisyah tak bergerak seperti yang diceritakan Mas Tejo. Aku sedikit heran dan panik.