Ternyata aku tak pandai menyembunyikan sesuatu. Wajahku terlalu polos, tak bisa diajak kompromi di saat hati gelisah.
"Hanya sedikit salah paham, Pak." Aku tersenyum kaku.
"Asal kamu tahu saja, Yati. Walid itu orang baik. Mungkin dia marah, tapi dalam hatinya sebenarnya lembut. Aku tahu betul itu." Pak Tohir manggut-manggut meyakinkanku. Pun tatapannya yang mengisyaratkan bahwa yang dikatakan itu benar.
***
Energiku dini hari ini terkuras maksimal. Pertemuan dengan beberapa lelaki kali ini sangat menghabiskan kekuatanku. Mulai dari Mas Tresno yang mengejutkanku, Mas Walid yang salah paham, dan untungnya berjumpa dengan Pak Tohir yang mampu sedikit mengembalikan energi positif. Aku rebahkan tubuhku. Tak lama kemudian, terdengar ponselku berbunyi.
"Iya, ada apa, Mas?"
"Yati, maafkan aku, ya. Tadi aku mungkin salah paham denganmu. Aku terlalu banyak pikiran hari ini." Suara Mas Walid dari seberang sana terasa tenang daripada sebelumnya.
"Iya, Mas. Maafkan aku juga. Tadi itu karena Mas Tresno terlalu terpuruk karena warungnya kebakaran. Dan teman bekerjanya hanya aku. Jadi, kami berdua dalam duka." Aku jelaskan sejelas-jelasnya supaya tak ada lagi kesalahpahaman.
"Baiklah kalau kamu sudah memaafkanku. Ada satu lagi yang mau aku bicarakan kepadamu, Cantik."
"Apa, Mas?"
"Sekitar seminggu ke depan aku harus mengantar pesanan karpet dari beberapa kota. Jadi, aku sedikit sibuk. Aku harap kamu bisa memaklumi. Setelah urusanku selesai, aku akan bicara baik-baik dengan Umi, lalu aku hendak meminangmu."
Deg. Hatiku tiba-tiba menghangat. Namun, satu sisi ada kesedihan karena pasti tak akan jumpa untuk seminggu ke depan. Hem, itu kan demi pekerjaan. Aku enggak bisa egois sendiri.