"Baik, Mas. Hati-hati. Aku akan mendoakanmu."
"Ya, sudah kalau begitu tidur lagi. Kamu pasti sangat lelah. Dini hari begini sudah terkejut oleh kebakaran," titahnya.
"Baik, Mas. Dah."
Aku mematikan saluran telepon terlebih dahulu setelah salam. Akhirnya, perasaan sedih sedikit terhapus. Kini tubuhku butuh pasokan energi. Tidur.
***
Sinar matahari berdesakan melalui celah jendela yang tertutup gorden kamarku. Cahayanya menyentuh mataku, hingga aku terbangun. Ya, Allah jam berapa ini? Aku kesiangan. Aku menepuk dahi. Aku lupa warung Mas Tresno dini hari kebakaran, jadi mulai hari ini enggak kerja lagi di sana. Untungnya tadi subuh sempat salat Subuh, kemudian tidur lagi karena rasa kantuk masih meliputiku.
Aku lirik jam dinding. Jarum jamnya menuju angka 10. Hari ini santai, aku bisa leluasa bersih-bersih kamar dan diri. Aku coba menormalkan kembali tenaga yang sudah banyak terkuras. Hari ini aku mulai dengan mengatur kamar indekos dengan rapi. Sebab, mulai dari pertama datang ke sini belum sempat merapikan kamar sedemikian rupa.
Usai kamar tampak rapi, dari dalam perut terdengar suara keroncongan. Cacing-cacing di dalamnya meminta haknya. Akan tetapi, aku belum membersihkan diri. Aku tak bisa makan dengan badan yang belum bersih. Akhirnya kuputuskan untuk mandi terlebih dahulu. Setelah mandi kucek ponsel. Di sana ada panggilan tak terjawab dari Mas Tejo beberapa kali. Aku penasaran, lantas nomor Mas Tejo kupanggil balik.
"Halo, Mas ada apa? Tadi aku masih mandi."
"Tangan Aisyah mulai bergerak, Yati." Suara di seberang sana begitu bersemangat.
"Beneran, Mas? Terima kasih, ya Allah." Aku pun tak kalah girang.
"Tapi matanya masih belum terbuka. Kata dokter kita pantau saja kondisinya. Semoga ini pertanda baik."