"Tidak. Ini tanggung jawab saya. Sampai Yati sembuh. Tolong, di sini dulu sampai sembuh, ya." Mas Walid pun memohon. Aku bisa apa. Hanya anggukan kecil untuknya.
"Nah begitu, dong. Oh, ya aku pamit keluar sebentar, ya. Jangan ke mana-mana. Kalau ada apa-apa hubungi dokter jaga yang di depan saja." Mas Walid berlalu begitu saja.
Suaranya memang datar. Namun, itulah pesonanya aku tak berdaya. Aku menggelengkan kepala saat tersadar niatku ke kota. Aisyah. Baiklah, aku istirahat dulu. Mataku terpejam. Belum ada satu menit, terdengar suara ponsel berdering. Kuraih ponselku di tas, tapi tak ada apa-apa. Pandanganku menyisir ke segala sudut ruangan ini.
Ternyata bunyi ponsel Mas Walid yang sepertinya tertinggal di atas nakas. Beberapa kali berdering beberapa kali pula mati. Akhirnya aku memutuskan untuk mengangkat si penelepon yang tertulis di layar ponsel Mas Walid "Umi".
"Halo, assalamualaikum. Walid! Kamu di mana aja? Dari tadi Umi telepon enggak diangkat-angkat." Baru saja aku mengangkat, suara tinggi dari ujung seberang mengagetkanku sampai ponsel Mas Walid aku jauhkan sementara dari telinga.
"Walaikumussalam. Bu, ini Yati teman Mas Walid. Ponselnya tertinggal jadi ...."
Belum juga aku melanjutkan pernyataanku, orang di seberang menyela. "Di mana Walid?"
"Tadi, katanya keluar sebentar. Nanti kalau Mas Walid sudah kembali, saya sampaikan."
"Oke. Terima kasih."
Tanpa mengucapkan salam kembali, lawan bicaraku di ujung telepon memutuskan jaringan teleponnya. Aku menghela napas panjang. Lantas, kuletakkan kembali ponsel Mas Walid ke posisi semula. Kupejamkan kembali mata ini. Akan tetapi, tak bisa. Terlintas di kepalaku Aisyah. Anak yang masih balita, masih butuh kasih sayangku. Di mana kamu, Nak? Semoga kamu baik-baik saja, ya. Aku termenung. Lama-lama kepala yang sebenarnya tadi sudah pusing, kini bertambah.
"Aduh," lirihku.