Mohon tunggu...
Zahra Wardah
Zahra Wardah Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga yang hobi menulis

Selain menulis dan ngeblog (coretanzahrawardahblogspot.com), Zahra Wardah juga menekuni di dunia Layouter, Youtuber: Cerita Keren. Silakan singgah. Semoga harimu menyenangkan. Aamiin.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Wanita Malam dari Desa (Bab 4)

24 Juni 2023   07:28 Diperbarui: 24 Juni 2023   07:32 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pixabay.com/fractals99

Bab 4: Tampan yang Baik Hati

Mas Tresno sepertinya sedikit terkejut. Namun, beberapa detik terlewati senyum sempurna timbul dari wajahnya.


"Boleh banget kalau Mbak. Kebetulan saya lagi butuh karyawan. Tapi, Mbak Yati enggak masalah kalau gajinya enggak seberapa?"


"Yang penting bisa menyambung hidup, Mas. Demi bertemu dengan anak saya."


Mendengar perkataanku barusan Mas Tresno sepertinya kembali terkejut. Dahinya berkerut dan alisnya menyatu. Aku paham dengan situasi ini. Sebelum Mas Tresno bertanya, kujelaskan alasanku pergi ke kota ini, Aisyah.


"Semoga secepatnya bisa bertemu dengan anak, ya, Mbak. Kalau ada apa-apa jangan sungkan minta tolong saya saja."


"Oh, ya. Mbak Yati mau minum apa? Sampai lupa enggak nawarin minuman tadi," lanjutnya sembari menampakkan barisan gigi-giginya yang putih.


"Ndak usah, Mas. Saya pamit saja kalau begitu. Enggak enak lama-lama." Aku sungkan duduk di rumah yang dihuni Mas Tresno sendiri. Apa kata tetangga nanti. Eh, iya aku baru ingat. Ini, kan, di kota bukan desa yang kalau ada sedikit saja masalah tetangga pasti gosipnya segera menyebar dan heboh. Akan tetapi, meski bagaimanapun tak baik dua orang lawan jenis di dalam rumah berlama-lama.


"Oke kalau begitu Mbak Yati bisa mulai kerja besok. Kebetulan hari ini bahan-bahannya tinggal sedikit, jadi saya jualan hanya menghabiskan sisa bahan yang ada. Bagaimana?"


"Beneran, Mas besok saya bisa langsung kerja?"


Mas Tresno menjawab dengan anggukan pelan lengkap senyuman manisnya. Hatiku lega. Setidaknya, aku bisa menyambung hidup di kota ini demi bertemu dengan Aisyah. Aku pun undur diri dengan hati yang sedikit lega. Baru saja beranjak dari kursi, tak disangka hujan turun tiba-tiba dengan lebat.


Mas Tresno sebenarnya mencegahku untuk pulang, tetapi aku nekat pamit dengan meminjam payung Mas Tresno. Aku menerjang hujan dan angin saat itu. Di tengah perjalanan, bajuku basah kuyup oleh mobil yang lewat dengan ngebut menerjang genangan air di trotoar. Bukan hanya itu aku terkaget sampai terpeleset jatuh.


"Woi. Dasar! Enggak lihat ada orang jalan apa? Kan, jadi basah semua ini. Aduh, kakiku sakit lagi," cerocosku sambil memegang kaki kanan yang sakit.


"Kamu enggak pa-pa, Mbak?"


Di tengah suara hujan yang lebat, aku sepertinya mengenal suara itu. Aku mendongak. Benar. Dia lelaki hidung mancung itu. Mas Walid. Mungkin inikah takdir? Tak sengaja lagi aku bertemu dengannya.


"Maafkan saya. Tadi jalan tak terlalu nampak. Ternyata ada air menggenang. Dan tak sengaja mobil saya melewati genangan itu, lantas mengenai baju Mbak. Sekali lagi maaf."


Derasnya hujan ini sebagai saksi pertemuan kami. Romantis. Kami berdua diguyur hujan. Payung yang dipinjami Mas Tresno entah pergi ke mana? Aku tak begitu memedulikan ocehan lelaki di depanku ini, aku fokus. Iya, fokus dengan ketampanannya. Meski diguyur hujan dia tetap tampan, bahkan semakin tampan.


"Mbak! Mbak enggak pa-pa, kan? Mari saya antar ke rumah sakit." Jelas terlihat di wajahnya kekhawatiran.


"Eh, iya. Enggak pa-pa, Mas." Aku berusaha berdiri sendiri, tetapi tak sanggup. Jatuh lagi. Kaki kananku sepertinya terkilir.


Tanpa basa-basi lagi, Mas Walid langsung membopongku masuk ke mobilnya. Aku tak sanggup menolak lagi. Pasrah. Mulutku tak sanggup berkata-kata lagi. Mas Walid memberikan handuk baju untukku. Jangan tanya itu handuk dari mana. Aku pun tak tahu ternyata di mobil mewahnya terdapat handuk baju juga. Aku hanya menerimanya, lalu mengenakan ke tubuhku. Setidaknya sedikit meringankan rasa dingin dari tubuhku.
***


"Mas saya enggak pa-pa, kok. Saya pulang saja, ya," ucapku memelas kala dokter yang memeriksaku baru saja berlalu.


"Tidak. Ini tanggung jawab saya. Sampai Yati sembuh. Tolong, di sini dulu sampai sembuh, ya." Mas Walid pun memohon. Aku bisa apa. Hanya anggukan kecil untuknya.


"Nah begitu, dong. Oh, ya aku pamit keluar sebentar, ya. Jangan ke mana-mana. Kalau ada apa-apa hubungi dokter jaga yang di depan saja." Mas Walid berlalu begitu saja.


Suaranya memang datar. Namun, itulah pesonanya aku tak berdaya. Aku menggelengkan kepala saat tersadar niatku ke kota. Aisyah. Baiklah, aku istirahat dulu. Mataku terpejam. Belum ada satu menit, terdengar suara ponsel berdering. Kuraih ponselku di tas, tapi tak ada apa-apa. Pandanganku menyisir ke segala sudut ruangan ini.


Ternyata bunyi ponsel Mas Walid yang sepertinya tertinggal di atas nakas. Beberapa kali berdering beberapa kali pula mati. Akhirnya aku memutuskan untuk mengangkat si penelepon yang tertulis di layar ponsel Mas Walid "Umi".


"Halo, assalamualaikum. Walid! Kamu di mana aja? Dari tadi Umi telepon enggak diangkat-angkat." Baru saja aku mengangkat, suara tinggi dari ujung seberang mengagetkanku sampai ponsel Mas Walid aku jauhkan sementara dari telinga.


"Walaikumussalam. Bu, ini Yati teman Mas Walid. Ponselnya tertinggal jadi ...."


Belum juga aku melanjutkan pernyataanku, orang di seberang menyela. "Di mana Walid?"


"Tadi, katanya keluar sebentar. Nanti kalau Mas Walid sudah kembali, saya sampaikan."


"Oke. Terima kasih."


Tanpa mengucapkan salam kembali, lawan bicaraku di ujung telepon memutuskan jaringan teleponnya. Aku menghela napas panjang. Lantas, kuletakkan kembali ponsel Mas Walid ke posisi semula. Kupejamkan kembali mata ini. Akan tetapi, tak bisa. Terlintas di kepalaku Aisyah. Anak yang masih balita, masih butuh kasih sayangku. Di mana kamu, Nak? Semoga kamu baik-baik saja, ya. Aku termenung. Lama-lama kepala yang sebenarnya tadi sudah pusing, kini bertambah.


"Aduh," lirihku.


"Kenapa, Yati?" Mas Walid tiba-tiba menyembul dari balik pintu kamar ruang tempat aku dirawat.


"Eh, Mas Walid sudah kembali. Tidak pa-pa. Hanya sedikit pusing kepala." Aku menggaruk kepala yang tak gatal.


"Obatnya sudah diminum?" tanya Mas Walid. Wajahnya penuh kekhawatiran.


"Sudah, Mas."


"Ini saya belikan baju. Tolong dipakai." Dia menyodorkan tas kertas berwarna cokelat.


Aku raih tas itu. Kemudian, aku mengintip isinya.


"Kenapa harus repot-repot, Mas. Saya enggak pa-pa, kok."


"Sudah pakai saja sebagai menebus rasa bersalahku."


Sebelum kucoba ke kamar mandi yang berada di dalam ruangan ini. Kuberi tahu terlebih dahulu kepada Mas Walid. Kalau tadi ponselnya berdering terus.


"Dari siapa?"


"Tadi tertulis di sana nama 'Umi'."


"Umi? Oh, ya aku baru ingat. Aku pamit dulu. Istirahat saja dulu di sini. Besok saja pulang." Seperti sebelumnya Mas Walid segera berlalu.


Aku tak tahu apa kepentingan Mas Walid. Aku hanya bisa selalu mengikuti perintahnya. Kini, ponselku yang berdering. Aku melirik ponsel yang terletak di sampingku. Nama Mas Tejo muncul di sana. Malas. Nama itu sudah banyak menyengsarakanku. Satu sisi, aku harus segera bertemu Aisyah. Dengan ragu-ragu, aku menjawab panggilan itu.


"Halo, kamu di mana, Yati? Awas saja kalau kamu melarikan diri. Kupastikan kamu tak akan bisa bertemu Aisyah!" Suara bentakan Mas Tejo membuatku berang. Belum apa-apa sudah marah-marah. Kebiasaannya dari dulu.
***

Terima kasih, Teman-Teman yang sudah baca cerbungku. Kamu juga bisa youtube Cerita Keren untuk cerita-cerita menarik lainnya.

Karya: Zahra Wardah
Ilustrasi: pixabay.com/fractals99
Source: coretanzahrawardah.blogspot.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun