Mohon tunggu...
Zuhdy Tafqihan
Zuhdy Tafqihan Mohon Tunggu... Tukang Cerita -

I was born in Ponorogo East Java, love blogging and friendship..\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

D I A N

21 Januari 2011   14:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:19 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Anda seorang sarjana ilmu komunikasi dan semasa mahasiswa Anda banyak aktif di beberapa organisasi ekstra kampus, sering menulis artikel di media massa, menjadi pemimpin redaksi buletin mahasiswa, menguasai komputer, enerjik dan supel. Satu lagi, hobby utama anda.. fotografi.."

Lelaki gendut di depanku baru saja me-review Curriculum Vitae-ku sekali lagi sebelum membuat keputusan yang paling menentukan. Lelaki itu bernama Bondan, orang yang paling berpengaruh di majalah Proreforme dan Artshoot.

"Kami belum bisa menerima Anda sebagai wartawan kami, tetapi kalau Anda tidak keberatan, Anda kami rekrut sebagai fotografer majalah Artshoot. Beberapa hari terakhir ini banyak kontroversi mengenai majalah kami itu, dan seorang fotografer kami telah mengundurkan diri.."

Sial!! Itu majalah 'women in art', majalah yang bagus bagi sebagian orang, tetapi bagi sebagian yang lain dianggap hanya menyuguhkan potret-potret wanita setengah telanjang. Sebuah tawaran yang sedikit membingungkan, tetapi kalau tawaran ini tidak kuterima, aku pasti mati kelaparan. Tiga bulan terakhir ini aku tidak mendapatkan suntikan dana segar dari kakak, ortu maupun pamanku seperti ketika mahasiswa dulu. Aku sudah bukan seorang mahasiswa lagi dan harus hidup mandiri dan sendiri.

Oke! Aku terima saja tawaran itu, siapa tahu nasibku akan berubah dikemudian hari. It's just the beginning..

**

Lima hari kemudian adalah hari pertamaku di majalah Artshoot. Aku mendapatkan tugas melakukan pemotretan beberapa model di sebuah vila di Puncak. Sebelum berangkat, pacarku menelepon.

"Kamu sudah diterima kerja apa belum, sih?"

"Sudah, nich lagi mau berangkat.." jawabku tegas.

"Benarkah itu? Kamu jadi wartawan, sayang?"

Pertanyaan yang sulit dijawab.

"Aku belum membuat liputan. Masih ditugaskan sebagai fotografer.." jawabku taktis.

"Hehe.. lagi mau motret apa nich?"

Pertanyaan yang lebih sulit dijawab.

"Mmm.. panorama alam di Puncak.. dari sudut yang lain.." jawabku spontan.

"Puncak?? Ahai.. aku boleh ikut, dong?"

"Apa apaan sih.. aku sedang bertugas, sayangg.."

Kusudahi saja pembicaraan itu dengan tindakan yang amat dibencinya. Menutup sambungan. Tapi aku tahu betul wataknya. Ia keras dan tidak kenal menyerah. Yang jelas, ia cerdas.. dan.. cantik. Karena itu ia sering kupanggil Cercan, artinya.. cerdas dan cantik.

**

Pacarku adalah anak seorang pemimpin sebuah media nasional. Sebenarnya ia sering memaksaku bergabung dengan perusahaan ayahnya. Berkali-kali ia memintaku membuang idealismeku yang segunung itu. Katanya,"Kerja ya kerja. Nasib ya nasib. Kamu tidak KKN meski ayahku menerimamu. Aku tahu kapasitasmu luar dalam.."

Tapi aku tak menggubrisnya. Aku juga mempunyai ego yang tak bisa ditekuk. Meski oleh pacarku sendiri. Anehnya, justru itu yang membuat Cercan semakin tak mau kehilangan diriku. Kalau sudah begitu, kepalaku membesar. Akulah lelaki sejati. Haha..

**

Sebuah vila yang cukup indah, gumamku ketika sampai di lokasi pemotretan. Martin, si pengarah gaya telah menungguku bersama tiga orang model yang sedang make up dan mempersiapkan busana untuk pemotretan.

Aduhai betul para model ini. Luar biasa! Jika ada yang meminta komentar mengenai kecantikan fisik para model, selalu kukatakan itu. Simple saja. Luar biasa!

Tidak begitu lama waktu yang kubutuhkan untuk sok akrab dengan Mary, Sherly dan Dian. Diantara ketiga model itu, Dian lebih supel dan mudah diajak ngobrol. Setelah beberapa sesi pemotretan, akupun beristirahat di salah satu pondok yang amat sejuk.

Dian mendatangiku dengan segelas jus alpukat di tangan kanannya, serta segelas jus jeruk di tangan kirinya. Ia masih mengenakan two piece, tetapi selendang pantai telah membalut bagian bawah tubuhnya. Angin semilir membuat rambut indahnya meliuk ke kiri dan ke kanan, membuatku secara spontan segera mengambil obyek yang tidak boleh dilewatkan itu. Ia tersenyum.

"Mau minum? Alpukat boleh.. jeruk juga oke.." katanya kepadaku.

"Hmm.. dua pilihan yang sulit.." jawabku sekenanya. Sejak tadi aku deg-degan sekali ketika berada di dekat wanita ini. Tubuhnya sempurna. Hehe.. kalau sudah begini, Cercan pun tidak bakal nampak.

**

Dian memutuskan untuk memberikan jus alpukatnya kepadaku. Kemudian, ia memulai pembicaraan.

"Kadang kita dihadapkan pada dua pilihan yang membuat semua orang berada pada dua kutub yang berlawanan.."

"Bisa kamu beri contohnya?" tanyaku penasaran.

"Akan kusebutkan dua kata. Art atau seni, dan porn atau sesuatu yang porno. Mesum. Semua orang mempunyai cara pandang dan cara berpikir yang berbeda tentang dua hal itu. Bahkan, keduanya sulit untuk didefinisikan dengan jelas.. dalam konteks kegiatanku sebagai model. Kita sulit mendefinisikannya.. tapi mudah untuk mengidentifikasikannya. Seperti jus alpukat yang berwarna hijau dan jus jeruk yang berwarna kuning. Bagaimana jika kuberi pewarna? Jus alpukat kuberi pewarna kuning, dan jus jeruk kuberi pewarna hijau. Kita tidak akan pernah bisa mendefinisikan mana yang jus jeruk dan mana yang jus alpukat. Tetapi kita bisa mengidentifikasikannya ketika kita meminumnya. Yang jelas, apapun perbedaan itu.. aku termasuk orang yang selalu menghargai perbedaan.."

Kesimpulan pertamaku, otak Dian berbobot juga.

"Lantas.. apa yang kamu inginkam mengenai persepsi orang lain tentang kamu?" aku kembali ingin mengetahui pandangannya lebih jauh.

"Pertama, aku ingin semua orang berpikir positif mengenai majalah yang memuat foto-fotoku. Kedua, aku ingin kedewasaan semua orang dalam mengemukakan suatu persepsi atau cara pandang.."

"Terus..?"

"Yaa tentu saja harus ada aturan ketat yang melindungi semua persepsi, karena sampai kapanpun pasti tidak ada satu macam persepsi. Terlepas dari aspek bisnis yang tidak terjangkau olehku, aku ingin majalah dewasa ini hanya dijual di area atau outlet tertentu, dengan pembeli yang memiliki persyaratan tertentu. Usia tertentu misalnya. Segmen tertentu misalnya. Aku tidak ingin majalah ini dijual di pinggir jalan, di pasar, di trotoar atau di public-kan secara sembarangan, sehingga keterlindungan model dalam melakukan ekspresi seni betul-betul dihargai di ruang publik yang eksklusif. Bukan malah dihujat, dilecehkan dan dijerat dengan tuduhan melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak akan pernah mengena.."

"Artinya.. kamu malu jika kamu dijerat oleh.. persepsi porno, misalnya?" tanyaku sambil melempar senyum.

"Idih.. maluu.. dan malu sekali. Bukan karena apa? Karena aku harus berhadapan dengan sebuah persepsi berbeda, sementara aku berada di area yang lain, kan? Persepsi porno bukanlah domainku. Aku tidak mau persepsi itu muncul jika orang melihat potretku. Aku tidak ingin orang yang mempunyai pikiran kotor memandangi fotoku. Ingat! Sekali-kali aku tidak mengizinkan seorang laki-laki orgasme gara-gara melihat fotoku.."

**

Aku mulai kagum dengan Dian. Ia betul-betul profesional dan apresiatif terhadap dunia yang digelutinya. Aku mulai bersimpati kepadanya. Simpati dalam tanda kutip. Tetapi aku harus berpikir dua kali karena beberapa bulan kemudian, dalam suasana dingin malam Minggu, ketika aku semeja dengan Cercan di sebuah kafe di bilangan Kemang, aku mendengar suara halusnya, tetapi di telingaku kedengaran seperti suara bom Bali.

"Kamu harus berhenti menjadi fotografer di majalah itu.." mimik mukanya sedikit serius tetapi aku berusaha menjawabnya dengan santai.

"Ayolah sayang.. Ini pengalaman pertamaku bekerja. Kamu tidak bisa melarangku begitu saja. Aku ingin karierku berjalan secara alamiah. Sekarang aku menjadi tukang foto. Bisa saja besok aku menjadi wartawan.. editor.. atau apa sajalah.."

"Please, darling.. aku melarangmu bukan tanpa alasan.."

Aku terdiam sejenak.

"Oke. Apa alasanmu?" tanyaku amat serius.

Cercan menarik nafas panjang.

"Kamu tidak akan berkembang di majalah itu. Kamu mempunyai potensi lain yang jauh lebih hebat untuk dikembangkan. Aku yakin itu.." jawab Cercan.

Kurasa Cercan tidak memberikan argumentasi yang sebenarnya. Ia menyembunyikan sesuatu. Aku menatap mata dengan alis lentiknya itu, dan kulihat sebuah ketidakjujuran.

"Betulkah itu alasanmu?" selidikku.

"Oke. Oke. Jika kamu memang ingin tahu. Terus terang saja.. aku.. aku.. tidak ingin kamu memelototi wanita-wanita cantik dengan pakaian setengah telanjang, kemudian kamu akrab dengan mereka, kemudian kamu mengoleksi foto-foto mereka hingga memenuhi seluruh dinding apartemenmu! Kamu bahkan sama sekali tidak memajang satu pun fotoku. Apa-apaan ini? Jujur.. aku iri dan cemburu. Apa wajah dan tubuhku tidak pantas berada di sana??"

**

Hmm.. jawaban sebenarnya dan aku agak tersinggung. Memangnya aku tidak profesional? Pendapat konservatif. Kecemburuan. Wajar. Tidak aneh. Yang jelas, beberapa hari kemudian aku harus menurutinya untuk keluar dari Artshoot dan menjadi wartawan di salah satu media milik babenya karena tidak tahan dengan pertengkaran-pertengkaran dan adu argumen yang berkali-kali terjadi. Bahkan, dalam pertengkaran terakhir kemarin, aku sempat melihat tetesan air matanya. Sesuatu yang amat langka secara Cercan memang tipe cewek bengal.

But.. aku sangat mencintai Cercan walaupun akhir-akhir ini Dian mengusikku. Dian telah memantik api. Foto terbaiknya yang kujepret beberapa waktu yang lalu ku-repro dengan ukuran sangat besar dan kupasang di dinding apartemenku. Dengn setting gemericik air terjun di sebuah kawasan wisata di Bogor, siluet tubuhnya bagaikan kepiting sungai yang berusaha naik ke sebuah batu koral tempat lumut menyemut. Sungguh indah. Dibawah potretnya, kutulis sebuah puisi dengan kata-kata sindiran.

Wahai nona bugil yang tidak telanjang..

Telah kau hias alam semesta..

Keindahanmu tunjukkan kesempurnaanMu..

**

Entah kenapa, hampir setiap malam kuselalu memandangi foto Dian. Kadang, otakku mengajak bicara di kesunyian malam. Aku membayangkan jika aturan negara memang tak berpihak kepadamu, Dian.. tegakah aturan itu mencampakkanmu? Bukankah lebih baik membuat aturan yang lebih ketat dengan mengidentifikasi sesuatu yang telah jelas daripada membuat regulasi yang hanya mendefinisikan sesuatu yang tidak mengena dan tidak memberi ruang gerak bagi seni dan keindahan?

Dan seperti biasa, lamunanku terhenti tatkala Cercan meneleponku.

"Kamu belum tidur, sayaang..? Tidurlah cepat. Besok kamu kan harus bekerja?"

Dan seperti biasa juga, aku langsung berteriak.

"Iya mamiiiiiii!!!"

Aku memang telah menjadi peliput berita serius, tetapi sungguh aku memiliki sense of art yang tidak pernah rela melepaskanku pergi kemanapun.

**

Keesokan harinya, aku telah berada di gedung parlemen. Aku harus meliput sebuah rapat yang sangat menarik meskipun akhirnya kusimpulkan bahwa substansi rapat itu tidak lebih dari sebuah 'ide-ide buruk'. Bagaimana tidak? Aku melihat sendiri adegan seorang anggota parlemen berteriak-teriak meminta eksekutif menaikkan gaji dan tunjangan mereka sebesar empat puluh persen.

Melihat pemandangan itu, hatiku bertanya-tanya. Masih kurangkah gaji mereka? Tidak pernahkah mereka membaca koran? Melihat berita di televisi? Mendengar warta di radio? Jutaan orang tercekik lehernya karena tidak kuasa menanggung beban hidup akibat tingginya bahan pangan? Jutaan orang menjerit karena tak ada lapangan kerja untuk mereka. Sesegera mungkin kujepret tuan anggota parlemen yang terhormat itu. Niatku, aku akan menempelkannya di dinding apartemenku. Bersebelahan dengan foto Dian.

**

Seminggu kemudian aku mendatangi sebuah majelis yang menurutku seperti 'opera kodok' yang lucu. Seorang koruptor kakap terbebas begitu saja tanpa alasan yang jelas. Bahkan aku melihat beberapa temannya yang telah lari beberapa tahun ke luar negeri karena kasus yang sama, dengan enaknya melenggang kangkung di negara yang dirampoknya. Segera kupotret orang-orang itu dan segera kutempelkan fotonya di samping foto Dian.

Dua minggu berikutnya atasanku menyuruhku mewawancarai beberapa orang yang beberapa hari kemudian kuketahui bahwa orang-orang itu lebih pantas kusebut sebagai 'babi hutan' daripada manusia. Ternyata mereka adalah cukong illegal logging yang tidak pernah sembuh dari penyakit mencuri, merampok dan memperkosa hutan kami yang lebat. Apakah mereka sanggup menanggung derita, tangis dan jeritan para korban banjir dan tanah longsor yang menyayat hati itu? Tulikah mereka? Yang jelas, aku masih memiliki foto-foto mereka dengan ekspresi tertawa terbahak, sambil memegangi perut mereka yang gendut. Tak lupa, foto mereka itu kutempel di samping foto bidadariku, Dian.

**

Setiap malam kupandangi foto-foto manusia-manusia laknat itu yang berjejer apik dengan foto Dian. Aku hanya menerka dan menjawab sendiri sesuai keyakinanku tentang pertanyaan,"Apakah yang tertulis dalam jiwa dan otak manusia-manusia itu?" Ah, entahlah. Mereka tidak pernah berbicara jujur, dan bahkan tidak akan pernah berbicara. Oke. Aku akan membuatmu berbicara. Segera kuambil pena dan kutuliskan bait-bait puisi di bawah foto-foto mereka.

Tuan-tuan terhormat yang tidak bugil tapi telah telanjang..

Sadarkah tuan-tuan bahwa tuan-tuan memang telanjang?

Anehnya, tuan-tuan tidak malu telanjang..

Atau tuan-tuan memang tidak sadar jika tuan-tuan telanjang?

Kalau begitu adanya, maka tuan-tuan memang betul-betul telanjang..

Dengan sempurna

Bersama kudanil, babi dan kerbau

Bersama tuli, buta dan bisu.

**

Dengan puisi yang kutempel itu, maka sudah cukup bagiku untuk sedikit berbagi rasa dengan Dian. Dian memang telah kupotret untuk tampil hanya dengan bikininya. Tetapi wanita itu kelihatan indah dan mengundang decak kagum. Perempuan itu juga merasa malu dan mempunyai harga diri. Pribadinya dihiasi kejujuran dan jiwa seni yang mempesona.

Bagaimana dengan foto-foto di samping foto Dian? Aku merasa geram hati dan muak tiada habis. Semua orang yang waras takkan memuji penampilan mereka yang parlente dan mewah. Semua orang yang mempunyai hati nurani pastilah menginginkan orang-orang itu digiring dan diadili seadil-adilnya. Mereka tidak punya malu ataupun harga diri. Wajah mereka hanyalah topeng-topeng yang terbuat dari adonan semen, pasir dan kerikil. Bebal dan tebal.

Aku belum puas. Dengan iseng, aku olah file-file foto orang-orang bermoral bejat itu dan segera ku-cropping muka-muka mereka, kusambungkan dengan badan-badan telanjang vulgar yang banyak beredar di internet. Segera kuupload foto-foto rekayasa itu di blog pribadiku. Rasain lu!!! Lega sudah hati ini..

**

Tapi.. apa yang terjadi? Tak kusangka, seminggu kemudian beberapa orang berpakaian preman masuk ke dalam apartemenku dengan mata melotot. Mereka mengaku dari bagian cyber crime markas besar kepolisian. Mereka segera menangkapku dan mengatakan bahwa aku telah melakukan kejahatan serius. Pasal penghinaan dan perbuatan tidak menyenangkan telah menghadangku. Aku harus rela diseret untuk dimintai keterangan dan segera dijadikan tersangka.

Bersamaan dengan itu, telepon apartemenku berdering. Aku memohon izin untuk mengangkat telepon itu dulu sebelum terpaksa ikut dengan mereka. Kudengar suara yang cukup akrab. Suara Cercan.

"Kamu keterlaluan! Norak! Selamat jalan dan jangan temui aku lagi!" [ ]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun