Mohon tunggu...
Zuhdy Tafqihan
Zuhdy Tafqihan Mohon Tunggu... Tukang Cerita -

I was born in Ponorogo East Java, love blogging and friendship..\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

D I A N

21 Januari 2011   14:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:19 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keesokan harinya, aku telah berada di gedung parlemen. Aku harus meliput sebuah rapat yang sangat menarik meskipun akhirnya kusimpulkan bahwa substansi rapat itu tidak lebih dari sebuah 'ide-ide buruk'. Bagaimana tidak? Aku melihat sendiri adegan seorang anggota parlemen berteriak-teriak meminta eksekutif menaikkan gaji dan tunjangan mereka sebesar empat puluh persen.

Melihat pemandangan itu, hatiku bertanya-tanya. Masih kurangkah gaji mereka? Tidak pernahkah mereka membaca koran? Melihat berita di televisi? Mendengar warta di radio? Jutaan orang tercekik lehernya karena tidak kuasa menanggung beban hidup akibat tingginya bahan pangan? Jutaan orang menjerit karena tak ada lapangan kerja untuk mereka. Sesegera mungkin kujepret tuan anggota parlemen yang terhormat itu. Niatku, aku akan menempelkannya di dinding apartemenku. Bersebelahan dengan foto Dian.

**

Seminggu kemudian aku mendatangi sebuah majelis yang menurutku seperti 'opera kodok' yang lucu. Seorang koruptor kakap terbebas begitu saja tanpa alasan yang jelas. Bahkan aku melihat beberapa temannya yang telah lari beberapa tahun ke luar negeri karena kasus yang sama, dengan enaknya melenggang kangkung di negara yang dirampoknya. Segera kupotret orang-orang itu dan segera kutempelkan fotonya di samping foto Dian.

Dua minggu berikutnya atasanku menyuruhku mewawancarai beberapa orang yang beberapa hari kemudian kuketahui bahwa orang-orang itu lebih pantas kusebut sebagai 'babi hutan' daripada manusia. Ternyata mereka adalah cukong illegal logging yang tidak pernah sembuh dari penyakit mencuri, merampok dan memperkosa hutan kami yang lebat. Apakah mereka sanggup menanggung derita, tangis dan jeritan para korban banjir dan tanah longsor yang menyayat hati itu? Tulikah mereka? Yang jelas, aku masih memiliki foto-foto mereka dengan ekspresi tertawa terbahak, sambil memegangi perut mereka yang gendut. Tak lupa, foto mereka itu kutempel di samping foto bidadariku, Dian.

**

Setiap malam kupandangi foto-foto manusia-manusia laknat itu yang berjejer apik dengan foto Dian. Aku hanya menerka dan menjawab sendiri sesuai keyakinanku tentang pertanyaan,"Apakah yang tertulis dalam jiwa dan otak manusia-manusia itu?" Ah, entahlah. Mereka tidak pernah berbicara jujur, dan bahkan tidak akan pernah berbicara. Oke. Aku akan membuatmu berbicara. Segera kuambil pena dan kutuliskan bait-bait puisi di bawah foto-foto mereka.

Tuan-tuan terhormat yang tidak bugil tapi telah telanjang..

Sadarkah tuan-tuan bahwa tuan-tuan memang telanjang?

Anehnya, tuan-tuan tidak malu telanjang..

Atau tuan-tuan memang tidak sadar jika tuan-tuan telanjang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun