Orangtua Cicipun membawa Cici ke kamarnya. Cici bermimpi bahwa Damar pergi meninggalkannya membuat Cici terbangun dari tidurnya. Cici langsung berlari ke halaman rumah melihat ke arah rumah Damar dan kembali Cici mengangis karena itu semua bukanlah mimpi belaka. Pasrah kini yang Cici coba lakukan. Hingga pemakaman berlangsung Cici menangis dalam kediaman.
      Mimpi-mimpi Cici lenyap sudah untuk membangun rumah tangga bersama Damar.
Hampa dirasakan Cici sampai membuat Cici jatuh sakit. Makan sajapun Cici tidak bisa. Masuk nasi keluar nasi. Hingga sang ayah tak kuasa melihat keadaan Cici dan menampar Cici. Ayah marah melihat tingkah Cici dan menangis sambil memeluk Cici. Ayah lama memeluk Cici, berharap Cici bicara melampiaskan kesedihannya dengan Ayah. Namun tidak dilakukan oleh Cici. Terdiam dengan tatapan kosong yang selalu Cici tunjukkan.
Hingga bulan ketiga setelah kepergian Damar, Cici masih sakit. Hidup tanpa semangat bagaikan mayat hidup itulah yang dirasakan Cici. Hingga bulan keenam Cici mulai terbiasa tanpa hadirnya Damar. Hampir dalam tiap malam Cici memimpikan Damar. Melihat Damar bermain bersama orang lain membuat Cici cemburu. Cici mengejar Damar, namun Damar menghilang. Demikianlah jalan cerita mimpi Cici terhadap Damar.
      Di malam bersama rintihan hujan...melodi tetesan hujan menghipnotis manusia membawa manusia bernostalgia pada setiap kenangan-kenangan yang sulit dilupakan. Cici adalah korban dari melodi itu. Cici pun bercerita pada lembaran kertas kercil yang akan mengingat segala apa yang ia curahkan.
     "Bulan itu indah tapi bukan bagiku...
      Bintang juga indah tapi bukan untukku...
      Namun yang paling indah bagiku adalah bumi...
      Karena di bumi ada kamu..."
     Â
      Itukah puisi singkat yang engkau beri padaku.....?