EMBUN RINTIHAN HUJAN
      "Torus...", sebutan yang diucapkan Cici untuk Damar sewaktu kecil. Damar selalu sedia menemani Cici bermain. Meski umur mereka terpaut cukup jauh...namun, Damar tetap sedia bermain dengan Cici hingga menganggap Cici seperti adik kandungnya sendiri. Cici dan Damar tinggal berdekatan atau sering disebut hidup bertetanggaan.
      Di usia Cici yang masih 5 tahun, ia sudah membantu orangtuanya bekerja ke Sawah. Lelah tidak dirasakan karena Damar selalu menemaninya. Tidak suatu kebetulan Sawah milik keluarga Damar juga bertetanggaan dengan Sawah milik keluarga Cici. Bekerja sambil bermain, bekerja sambil bercanda gurau, mereka bagaikan abang adik yang sangat harmonis.
      Pagi Senin hingga Jumat kebiasaan yang dilakukan Cici duduk di depan rumah karena ingin melihat Damar pergi ke Sekolah.
      Cici    : "Torus...kamu mau pergi ke mana?.." selalu bertanya seolah-olah tidak tahu.
      Damar : "Mau ke Sekolah, dek.."(mengelus kepala Cici).
      Cici    : "Aku ikut ya?" (sambil senyum merayu).
      Damar : "Boleh.boleh sampai simpang rumah kita ya?" (tersenyum).
      Cici    : "Emmm...,jangan lama-lama pulang ya?"(sedih).
      Damar : "Iya dekku"(mencubit pipi Cici)
              dadah...(melambaikan tangan).
Kebiasaan tersebut selalu berlangsung hingga Damar tamat SMA. Kini Cici duduk dibangku kelas 5 SD. Kebiasaannya melihat Damar pergi ke sekolah harus berhenti. Bahkan untuk bertemupun mereka jarang. Setamat SMA Damar langsung merantau. Ia pulang kampung sekali seminggu dan pada hari-hari besar. Setiap di kampung Damar wajib mengunjungi Cici. Bahkan ibadah malam ke Gereja, yaitu Sabtu malam Damar mengantar dan jemput Cici. Kebiasaan ini juga terus berlanjut hingga Cici tamat SMA dan melanjutkan pendidikannya keluar kota.
      Cinta, sayang...rasa itu kini hadir diantara Cici dan Damar. Perasaan yang ingin selalu bersama, gelisah saat berpisah, marah saat tidak ada kabar. Malam terakhir sebelum mereka berpisah Damar menyatakan perasaannya  kepada Cici lewat selembar kertas yang dilemparkan ke kamar Cici. Secepat kilat Cici langsung membacanya.
      "Bulan itu indah tapi bukan bagiku...
        Bintang juga indah tapi bukan untukku...
        Namun yang paling indah bagiku adalah bumi...
        Karena di bumi ada kamu..."
      Â
       "Hatiku senang berada dekatmu, bingung saat jauh darimu. Yakinkan aku bahwa rasaku ini tidak bersalah menghampirimu.            Apakah kamu memiliki rasa yang sama terhadapku?
       Jika "iya" kuharap kamu keluar rumah...aku menunggu di belakang rumah kita."
Deg..deg..deg...detak jantung Cici kini tidak karuan. Pipi memerah, keringat dingin menimpa Cici.
Ingin jumpa namun situasi belum tepat. Sebab ayah dan ibu Cici masih sibuk bolak-balik dapur.
Berbagai trik dilakukan Cici agar dapat keluar rumah. Berhasil keluar rumah ...namun adiknya mengikuti dari belakang. Alhasil Cici kembali masuk ke rumah. Dua jam setelah Cici mendapat surat dari Damar, Cici berpikir mungkin Damar sudah masuk ke rumahnya. Jam menunjukkan pukul 11.00 malam, Cici belum tidur meski sudah berada di tempat tidur. Cici gelisah, hingga memberanikan diri keluar rumah untuk memastikan apakah Damar masih di belakang rumah atau tidak. Pelan-pelan Cici membuka pintu belakang rumah dan menghidupkan lampu belakang. Deg..deg..deg..detak jantung kembali tidak normal melihat Damar duduk di belakang rumah Damar. Damar tersenyum bahagia melihat kehadiran Cici. Mereka bertatap-tatapan dari belakang rumah masing-masing, seakan berbicara lewat mata mereka. Tidak lama Cici langsung masuk ke rumah karena takut dilihat oleh orangtuanya. Begitu juga Damar masuk dengan perasaan lega bahagia karena Cici juga memiliki rasa yang sama, rasa cinta.
      Keesokan harinya mereka saling tatap-tatapan di teras rumah masing-masing sambil tersenyum-senyum. Mereka pergi ke Gereja bersama, ke Sawah bersama, sampai-sampai pergi ke kota masing-masing, janjian bertemu di simpang agar naik motor bersama menuju halte bus yang biasa Cici naiki. Suatu saat adik Cici melihat mereka naik motor bersama dan memceritakan kepada ibu mereka. Ibu Cici memang sudah curiga kalau mereka memiliki hubungan lain. Minggu depan kemudian Ibu menasihati Cici untuk tidak berhubungan asmara terhadap Damar, sebab Damar adalah tetangga mereka dan masih memiliki hubungan darah dengan keluarga mereka.
      Semester satu dilalui Cici dengan menjaga jarak terhadap Damar. Sesaat Cici ingin pulang kampung, Cici menyeberang jalan dengan pikiran kosong. "Tin-tin....!" Darbkkkk.....
Kecelakan tidak dapat dielakkan, Cici satu-satunya korban yang di bawa ke rumah sakit. Ia tertabrak hingga tidak sadarkan diri dan mengeluarkan darah cukup banyak. Tangis histeris meliputi ibu Cici, pingsan. Bolak-balik pingsan. Tidak satupun keluarga Cici yang bisa mendonorkan darah buat Cici dengan kendala masing-masing. Mendengar ini Damar menawarkan diri untuk mendonorkan darahnya buat Cici. Sebab Damar tau bahwa golongan darah Cici AB sementara Damar bergolongan darah O. Tidak lama transfusi darah dilakukan. Sudah lima hari Cici belum sadarkan diri. Tangis, khawatir disembunyikan Damar dari kejauhan. Sabtu kembali Damar pulang kampung. Sebelum pulang kampung, ia menyinggahkan diri untuk melihat keadaan Cici. Kembali perasaan sedih melihat Cici yang tak kunjung sadarkan diri. Damar menggenggam tangan Cici sambil berdoa buat kesembuhan Cici.
      Cici    : "Torus..torus.."
      Damar : "Iya dekku...iya. Ini aku dek."(langsung memeluk Cici).
      Dua Minggu waktu yang cukup buat Cici melalui masa kritisnya. Dan membuang pemikiran untuk menjauhi Damar.
      Semester dua, Damar mulai megantar Cici sampai ke kos Cici meski rute perjalanan Damar semakin jauh...tidak masalah asalkan Cici sampai dengan selamat. Melihat perhatian yang diberikan Damar kepadanya, Cici semakin sayang kepada Damar. Kini pulang kampungpun, Damar menjemput Cici. Mereka pulang bersama. Hal ini terus berlangsung hingga Cici kuliah semester empat. Jengkel, tidak suka ditunjukkan ibu Damar terhadap tumpangan yang selalu Damar berikan kepada Cici. Begitulah hubungan mereka tidak mendapat restu dari orangtua mereka masing-masing. Sampai-sampai mereka sepakat untuk menjalin hubungan secara diam-diam. Saat di mana ibu Damar pergi ke Kalimantan hendak mengunjungi anak sulungnya atau kakak Damar yang mau lahiran, Damar diam-diam mengantar Cici ke kos. Mereka sampai seperti biasa yaitu pukul tujuh malam. Namun, entah mengapa perasaan Cici ingin bersama-sama dengan Damar. Rasanya berat melepaskan genggaman tangan Damar. Berbeda dari malam-malam biasa, Damar mencium kening Cici, Cici malah menangis. Hingga satu jam waktu untuk menenangkan hati Cici. Sesaat setelah Cici tenang, Damar pamit pergi.
      Dring...dring...ponsel Cici berbunyi. Cici melihat jam menunjukkan pukul satu pagi. Cici semangat menjawab ponselnya berpikir bahwa itu adalah telpon dari Damar. Kali ini Cici salah meski tidak sepenuhnya salah. Adik Damarlah yang menelepon Cici memberi tahu bahwa Damar mengalami kecalakaan dan tidak sadarkan diri untuk selama-lamanya.
Terdiam. Tidak tahu melampiaskan rasa sedihnya kepada siapa sebab Cici sendirian di kos, Cici menangis hingga tidak mampu mengeluarkan air mata. Tidak sanggup tidur...air matalah yang menemani Cici. Rasanya ingin langsung pulang melihat keadaan Damar yang belum terima bahwa Damar telah meninggalkannya. Namun jam masih menunjukkan pukul 5 pagi. Tidak kuasa Cici memita adiknya untuk menjemputnya sebab angkot belum ada pada jam demikian. Sesampainya di rumah Damar...Cici terdiam melihat keramaian dan sentak pingsan. Tak lama Cici bangun dan menghampiri Damar. Menangis menjerit kini yang mampu Cici lakukan buat Damar sang kekasih hatinya. Ibu Damar datang memeluk Cici dan berkata "yang begininya jadinya kalian karna kami larang berhubungan?" sambil melihat ke arah Damar. Pingsan lagi. Cici kembali pingsan. Berharap bahwa ini tidak kenyataan.
Orangtua Cicipun membawa Cici ke kamarnya. Cici bermimpi bahwa Damar pergi meninggalkannya membuat Cici terbangun dari tidurnya. Cici langsung berlari ke halaman rumah melihat ke arah rumah Damar dan kembali Cici mengangis karena itu semua bukanlah mimpi belaka. Pasrah kini yang Cici coba lakukan. Hingga pemakaman berlangsung Cici menangis dalam kediaman.
      Mimpi-mimpi Cici lenyap sudah untuk membangun rumah tangga bersama Damar.
Hampa dirasakan Cici sampai membuat Cici jatuh sakit. Makan sajapun Cici tidak bisa. Masuk nasi keluar nasi. Hingga sang ayah tak kuasa melihat keadaan Cici dan menampar Cici. Ayah marah melihat tingkah Cici dan menangis sambil memeluk Cici. Ayah lama memeluk Cici, berharap Cici bicara melampiaskan kesedihannya dengan Ayah. Namun tidak dilakukan oleh Cici. Terdiam dengan tatapan kosong yang selalu Cici tunjukkan.
Hingga bulan ketiga setelah kepergian Damar, Cici masih sakit. Hidup tanpa semangat bagaikan mayat hidup itulah yang dirasakan Cici. Hingga bulan keenam Cici mulai terbiasa tanpa hadirnya Damar. Hampir dalam tiap malam Cici memimpikan Damar. Melihat Damar bermain bersama orang lain membuat Cici cemburu. Cici mengejar Damar, namun Damar menghilang. Demikianlah jalan cerita mimpi Cici terhadap Damar.
      Di malam bersama rintihan hujan...melodi tetesan hujan menghipnotis manusia membawa manusia bernostalgia pada setiap kenangan-kenangan yang sulit dilupakan. Cici adalah korban dari melodi itu. Cici pun bercerita pada lembaran kertas kercil yang akan mengingat segala apa yang ia curahkan.
     "Bulan itu indah tapi bukan bagiku...
      Bintang juga indah tapi bukan untukku...
      Namun yang paling indah bagiku adalah bumi...
      Karena di bumi ada kamu..."
     Â
      Itukah puisi singkat yang engkau beri padaku.....?
      Sungguh puisi singkat yang sangat menyentuh hati yang terluka ini,kasih.....
      Di manakah kini engkau?Engkau yang melihatku di bumi ini,apakah masih di sini?
      "Semua indah pada waktunya".Demikianlah hal yang kunantikan hingga kini.Namun hati ini diuji seberapa besar keyakinanku         terhadap itu.
      Ha..ha..ha.. habis sudah air mata ini untukmu,kasih...
      Kini aku hanya bisa tertawa saat mengenangmu,kasih...
      Tertawa dengan mata berkaca-kaca,mencoba untuk tegar menghadapi dunia ini yang kini tidak menerima hadirmu,kasih...
      Dan malam ini,kembali aku teringat akan dirimu.
      Bolehkah aku mengharapkan hadirmu?
      Dosakah aku jika aku terlalu menyayangimu hingga kini?
     Di manakah engkau kini kekasihku?Bagaimana aku mencurahkan rasa tulusku ini?
     Apakah engkau tidak cemburu lagi saat aku mencurahkan rasaku terhadapmu di atas secarik kertas?
     Hidup ini seketika gelap meskipun mata terbuka dan terang saat mata tertutup.
     Apakah menjadi hal yang harus ditakuti ketika mata tertutup untuk selamanya?
     Kekasihku...terimah kasih untuk segala kenangan yang engkau beri.
     Terimah kasih juga kalau engkau tidak bersamaku lagi....
     Kepergianmu mengajarkanku untuk menjadi kuat
     dengan hanya bergantung pada Sang Pencipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H