Ingin jumpa namun situasi belum tepat. Sebab ayah dan ibu Cici masih sibuk bolak-balik dapur.
Berbagai trik dilakukan Cici agar dapat keluar rumah. Berhasil keluar rumah ...namun adiknya mengikuti dari belakang. Alhasil Cici kembali masuk ke rumah. Dua jam setelah Cici mendapat surat dari Damar, Cici berpikir mungkin Damar sudah masuk ke rumahnya. Jam menunjukkan pukul 11.00 malam, Cici belum tidur meski sudah berada di tempat tidur. Cici gelisah, hingga memberanikan diri keluar rumah untuk memastikan apakah Damar masih di belakang rumah atau tidak. Pelan-pelan Cici membuka pintu belakang rumah dan menghidupkan lampu belakang. Deg..deg..deg..detak jantung kembali tidak normal melihat Damar duduk di belakang rumah Damar. Damar tersenyum bahagia melihat kehadiran Cici. Mereka bertatap-tatapan dari belakang rumah masing-masing, seakan berbicara lewat mata mereka. Tidak lama Cici langsung masuk ke rumah karena takut dilihat oleh orangtuanya. Begitu juga Damar masuk dengan perasaan lega bahagia karena Cici juga memiliki rasa yang sama, rasa cinta.
      Keesokan harinya mereka saling tatap-tatapan di teras rumah masing-masing sambil tersenyum-senyum. Mereka pergi ke Gereja bersama, ke Sawah bersama, sampai-sampai pergi ke kota masing-masing, janjian bertemu di simpang agar naik motor bersama menuju halte bus yang biasa Cici naiki. Suatu saat adik Cici melihat mereka naik motor bersama dan memceritakan kepada ibu mereka. Ibu Cici memang sudah curiga kalau mereka memiliki hubungan lain. Minggu depan kemudian Ibu menasihati Cici untuk tidak berhubungan asmara terhadap Damar, sebab Damar adalah tetangga mereka dan masih memiliki hubungan darah dengan keluarga mereka.
      Semester satu dilalui Cici dengan menjaga jarak terhadap Damar. Sesaat Cici ingin pulang kampung, Cici menyeberang jalan dengan pikiran kosong. "Tin-tin....!" Darbkkkk.....
Kecelakan tidak dapat dielakkan, Cici satu-satunya korban yang di bawa ke rumah sakit. Ia tertabrak hingga tidak sadarkan diri dan mengeluarkan darah cukup banyak. Tangis histeris meliputi ibu Cici, pingsan. Bolak-balik pingsan. Tidak satupun keluarga Cici yang bisa mendonorkan darah buat Cici dengan kendala masing-masing. Mendengar ini Damar menawarkan diri untuk mendonorkan darahnya buat Cici. Sebab Damar tau bahwa golongan darah Cici AB sementara Damar bergolongan darah O. Tidak lama transfusi darah dilakukan. Sudah lima hari Cici belum sadarkan diri. Tangis, khawatir disembunyikan Damar dari kejauhan. Sabtu kembali Damar pulang kampung. Sebelum pulang kampung, ia menyinggahkan diri untuk melihat keadaan Cici. Kembali perasaan sedih melihat Cici yang tak kunjung sadarkan diri. Damar menggenggam tangan Cici sambil berdoa buat kesembuhan Cici.
      Cici    : "Torus..torus.."
      Damar : "Iya dekku...iya. Ini aku dek."(langsung memeluk Cici).
      Dua Minggu waktu yang cukup buat Cici melalui masa kritisnya. Dan membuang pemikiran untuk menjauhi Damar.
      Semester dua, Damar mulai megantar Cici sampai ke kos Cici meski rute perjalanan Damar semakin jauh...tidak masalah asalkan Cici sampai dengan selamat. Melihat perhatian yang diberikan Damar kepadanya, Cici semakin sayang kepada Damar. Kini pulang kampungpun, Damar menjemput Cici. Mereka pulang bersama. Hal ini terus berlangsung hingga Cici kuliah semester empat. Jengkel, tidak suka ditunjukkan ibu Damar terhadap tumpangan yang selalu Damar berikan kepada Cici. Begitulah hubungan mereka tidak mendapat restu dari orangtua mereka masing-masing. Sampai-sampai mereka sepakat untuk menjalin hubungan secara diam-diam. Saat di mana ibu Damar pergi ke Kalimantan hendak mengunjungi anak sulungnya atau kakak Damar yang mau lahiran, Damar diam-diam mengantar Cici ke kos. Mereka sampai seperti biasa yaitu pukul tujuh malam. Namun, entah mengapa perasaan Cici ingin bersama-sama dengan Damar. Rasanya berat melepaskan genggaman tangan Damar. Berbeda dari malam-malam biasa, Damar mencium kening Cici, Cici malah menangis. Hingga satu jam waktu untuk menenangkan hati Cici. Sesaat setelah Cici tenang, Damar pamit pergi.
      Dring...dring...ponsel Cici berbunyi. Cici melihat jam menunjukkan pukul satu pagi. Cici semangat menjawab ponselnya berpikir bahwa itu adalah telpon dari Damar. Kali ini Cici salah meski tidak sepenuhnya salah. Adik Damarlah yang menelepon Cici memberi tahu bahwa Damar mengalami kecalakaan dan tidak sadarkan diri untuk selama-lamanya.
Terdiam. Tidak tahu melampiaskan rasa sedihnya kepada siapa sebab Cici sendirian di kos, Cici menangis hingga tidak mampu mengeluarkan air mata. Tidak sanggup tidur...air matalah yang menemani Cici. Rasanya ingin langsung pulang melihat keadaan Damar yang belum terima bahwa Damar telah meninggalkannya. Namun jam masih menunjukkan pukul 5 pagi. Tidak kuasa Cici memita adiknya untuk menjemputnya sebab angkot belum ada pada jam demikian. Sesampainya di rumah Damar...Cici terdiam melihat keramaian dan sentak pingsan. Tak lama Cici bangun dan menghampiri Damar. Menangis menjerit kini yang mampu Cici lakukan buat Damar sang kekasih hatinya. Ibu Damar datang memeluk Cici dan berkata "yang begininya jadinya kalian karna kami larang berhubungan?" sambil melihat ke arah Damar. Pingsan lagi. Cici kembali pingsan. Berharap bahwa ini tidak kenyataan.