Tragedi kegiatan susur sungai SMPN 1 Turi, Sleman -- DIY, memang peristiwa yang tak diinginkan siapapun. Tak pelak lagi, tragedi itupun viral di media sosial. Beraneka ragam pendapat dan penilaian pun meluncur ke permukaan. Analisis miring hingga ungkapan bela sungkawa mengalir. Hingga muncul sosok oknum guru SMPN 1 Turi yang ditetapkan sebagai tersangka.
Tetapi dari peristiwa yang terjadi di Sungai Sempor pada 21 Februari 2020 itu, telah membuka mata semua orang. Banyak hal yang patut dipertanyakan. Mulai dari sistem pembinaan kesiswaan, eksistensi pembina Pramuka, celotehan KPAI, keberadaan PGRI, hingga tindakan penghinaan terhadap profesi di dunia pendidikan.
Sejenak mari kita telusuri satu persatu masalah yang terungkap. Agar kita bisa berpikir positif dan tidak saling men-justice. Bagaimana pun, bila tragedi yang menelan korban 10 peserta didik meninggal, puluhan lainnya luka-luka, hingga traumatik psikis anak kita anggap sebagai takdir. Itu adalah hak azasi personal yang tak dapat disangkal siapapun. Tragedi itu pun tak perlu dibahas lebih jauh lagi.
Namun, bila kita memandang dan menyikapi tragedi yang menimpah peserta didik dan guru di SMPN 1 Turi sebagai sebuah resiko alamiah, tentu harus bijak kita dalam menganalisanya. Data dan informasi harus dikumpulkan secara jujur dan terbuka tanpa harus berdalih melindungi siapapun. Semua orang wajib tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Sejenak kita menyimak berita yang dilansir www.news.detik.com (Senin, 24 Februari 2020). Berita dengan judul "Begini Kronologi Tragedi Susur Sungai SMPN 1 Turi Versi kemendikbud" setidaknya mampu memberikan info atas apa yang terjadi.
Diterangkan berdasarkan laporan tim UPT Kemdikbud DIY, kegiatan susur sungai itu ternyata dilakukan dengan cara melawan arus. Kemudian tiba-tiba arus sungai menjadi deras dan para siswa SMPN 1 Turi mulai hanyut. Akibatnya, 249 siswa peserta susur sungai di kegiatan Pramuka itu, 10 meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka.
Informasi di atas merupakan informasi awal. Selanjutnya mari kita cermati kebijakan masing-masing institusi yang menangani tragedi itu. Agar tak terjadi hal-hal yang kurang etis dan tak bermakna atau malah cenderung menambah runyamnya masalah. Penulis coba mendeskripsikan keterkaitan tragedi itu hingga terjadinya fakta penghinaan atas profesi di dunia pendidikan.
Â
PIHAK SEKOLAH
Ada pertanyaan mendasar untuk sekolah atas tragedi ini. Pertanyaan itu sebagai bentuk identifikasi permasalahan atas kegiatan susur sungai. Bukan untuk mengungkit-ungkit masalahnya, tetapi proses akan berdampak pada kegiatan yang dilakukan.
Setidaknya pertanyaan itu meliputi : (1) Apa kegiatan ini sudah memenuhi standar operasional prosedur (SOP)?; (2) Apa kegiatan susur sungai ada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya?; (3) Bagaimana kualifikasi pembina dan pelatih Pramuka di SMPN 1 Turi sudah sesuai dengan aturan Gerakan Pramuka?; dan (4) Apakah ada surat ijin orangtua/walimurid atas kegiatan ini?
Minimal 4 pertanyaan di atas, tentu akan memberikan akurasi data tentang faktor kesalahan maupun kelalaian yang terjadi. Sisi pandangannya dari aspek administrasi maupun sistem pembinaan kesiswaan. Jawaban atas pertanyaan tersebut akan menjadi bentuk nyata adanya tanggungjawab sekolah maupun unsur pelaksana teknisnya.
Mengapa hal itu perlu ditanyakan? Tentu saja bersumber dari SOP Pembinaan Kesiswaan sekaligus merespon pernyataan Kepala SMPN 1 Turi. Seperti yang dilansir www.regional.kompas.com pada 23 Februari 2020. Adalah Tutik Nurdiyana, Kepala SMPN 1 Turi yang menyatakan bila dirinya tak mengetahui bila ada kegiatan susur sungai.
Menurut sang kepala sekolah, dirinya terkejut saat tiba-tiba dirinya mendapatkan laporan kegiatan susur sungai yang berakhir kecelakaan. Sebab, ia tidak merasa dimintai izin mengenai kegiatan tersebut. Pendamping, kata dia, tidak memberikan laporan. Sehingga, kegiatan susur sungai sore itu tidak diketahuinya.
"Jujur, saya tidak mengetahui adanya program susur sungai di hari kemarin itu, mereka tidak matur (laporan)," katanya. Tutik menduga, tidak adanya laporan diperkirakan lantaran pendamping merasa susur sungai tersebut merupakan program lama dan hal yang biasa dilakukan.
Mencermati pernyataan Kepala SMPN 1 Turi pada media itu, merupakan bentuk kelemahan krusial dalam sistem pembinaan kesiswaan di sekolah yang dipimpinnya. Jelaslah disini ada pihak-pihak yang tidak menjalankan SOP pembinaan kesiswaan.
Sementara itu, dengan ditetapkannya IYA (36 Tahun), DS dan RY (58 Tahun) oleh Polres Sleman sudah dianggap benar. Ketiganya dianggap lalai sehingga menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Kini mereka bertiga pun sudah posisi ada di tahanan kepolisian.
Sebagaimana dilansir pada www.tagar.id pada 25 Februari 2020, ditulis bahwa tersangka IYA saat kegiatan tidak turun ke sungai dan pergi meninggalkan lokasi karena ada urusan pribadi. Tersangka DS, dia menunggu di jembatan finish dan tidak turun ke sungai. Tersangka RY menunggu di sekolah dan tidak turun mengawasi anak-anak di sungai. RY juga beralasan karena faktor hujan yang membuatnya tidak turun ke sungai.
Bila tiga guru PNS yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, bagaimana dengan status hukum Kepala SMPN 1 Turi? Apakah tiga guru itu memang menjadi pihak paling bertanggungjawab atas tragedi SMPN 1 Turi? Tentu semuanya membutuhkan kajian dunia pendidikan atas arti dari tanggungjawab dan wewenang pemimpin.
KPAI DAN PRAMUKA
Tragedi SMPN 1 Turi, Sleman -- DIY, tak luput dari sorotan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Selain menghimbau untuk tidak menviralkan video peristiwanya, nyatanya KPAI juga melontarkan nada "humoris" untuk kegiatan Pramuka.
Salah satunya seperti yang dilansir www.suara.com pada 23 Februari 2020. Dituliskan dalam berita berjudul "Tragedi Susur Sungai SMPN 1 Turi, KPAI Desak Kegiatan Pramuka Dievaluasi". Tertulis bila KPAI meminta Kemendikbud untuk mengevaluasi penerapan kegiatan ekstrakulikuler Pramuka, menyusul kecelakaan mematikan dalam kegiatan susur sungai Sempor oleh siswa SMPN 1 Turi.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti mengatakan kebijakan mewajibkan ekstrakulikuler Pramuka dalam Permendikbud No. 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan Sebagai Ekstrakurikuler Wajib mulai jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK terkadang menyimpang dari esensinya.
"Persoalannya, selama ini kebijakan mewajibkan siswa sekolah untuk mengikuti pendidikan kepramukaan telah menjadikan latihan kepramukaan menjadi pelajaran kepramukaan. Kebijakan yang awalnya berniat baik untuk membentuk kompetensi sosial peserta didik, malah merusak esensi pendidikan kepramukaan itu sendiri. Masifnya pendidikan kepramukaan menyebabkan hal-hal yang esensial menjadi terlupakan," kata Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, pada Sabtu (22/2/2020).
Mencermati apa yang tertulis di atas, KPAI harus berkomitmen untuk membuktikan fakta esensial yang ditudingkan. Faktor esensial apa dan yang mana yang terlupakan. Bila KPAI tak bisa memberikan jawaban atas tudingannya itu, sama juga bohong dan makin membuat dunia pendidikan resah.
Pramuka tak bisa disalahkan dalam tragedi ini. Sebab tragedi ini terjadi karena 2 hal, yaitu human error dan faktor kondisi alam. Jangan sampai KPAI (oknum) hanya bisa menuding tapi tak punya solusi alternatif yang mampu membuat kondisi pendidikan lebih baik.
Sekedar untuk diketahui, bahwa dalam organisasi Pramuka sudah ada aturan seputar manajemen resiko. Hal itu dibuktikan dengan Keputusan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Nomor 227 tahun 2007 tentang Petunjuk Penyelenggaraan Kebijakan Manajemen Resiko Dalam Gerakan Pramuka.
PGRI DAN POLISI
Dalam tragedi susur sungai di ekstrakurikuler Pramuka SMPN 1 Turi, Sleman, DIY, pasti memantik sorotan banyak pihak. Satu diantaranya adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Sebuah organisasi paling tua yang menaungi profesi keguruan di Bumi Persada Nusantara ini.
Kegiatan yang diikuti 124 siswa kelas VII dan 125 kelas VIII, total 249 siswa itu menjadi tragedi berujung maut. Susur sungai akhirnya menyebabkan 10 siswa meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka. Klimaksnya 3 guru PNS yang berstatus pembina Pramuka pun, harus meradang di hotel prodeo.
Reaksi Pengurus Besar-PGRI atas tragedi itu, lumayan responsif meski agak terlambat. Khususnya dalam menyikapi nasib 3 guru SMPN 1 Turi yang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Mengingat terindikasi adanya tindakan yang kurang etis dari polisi terhadap ketiga tersangka.
Seperti dalam tulisan www.nasional.tempo.com pada 26 Februari 2020 dengan judul "PGRI Sempat Geram Polisi Membotaki Kepala Tersangka Susur Sungai". Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia atau PB PGRI sempat mengutarakan kegeraman mereka ketika mengetahui tiga pembina pramuka SMPN 1 Turi, Sleman yang ditetapkan sebagai tersangka insiden susur sungai itu dicukur botak oleh Polisi.
"Pak Polisi, kami marah dan geram. Tak sepatutnya para guru-guru kau giring di jalanan dan dibotakin seperti kriminal tak terampuni," tulis admin dalam akun twitter resmi PB PGRI, @PBPGRI_OFFICIAL pada Selasa, 25 Februari 2020.
"Mereka (tiga tersangka, red.) memang salah. Tapi program Pramuka itu legal dan jadi agenda pendidikan. Jangan ulangi lagi! Sebelum semua guru turun," lanjut cuitan itu. Admin twitter itu mengatakan, kegiatan bersifat outdoor di tengah cuaca seperti itu memang tak dapat dibenarkan, apalagi sampai merenggut nyawa siswa. PB PGRI sepakat para tersangka itu wajib diproses.
Menyimak geramnya PB-PGRI di twitter itu ada dua hal yang muncul. Pertama, geramnya PGRI harus diikuti dengan komitmen dan konsistensi antara pengurus dengan apa yang sedang dialami anggotanya. Kedua, ada bahasa provokatif yang harus segera diklarifikasi agar nuansa tragedi itu tidak kian menyeruak. Meski cuitan itu sudah dihapus, ibarat nasi sudah menjadi bubur. PGRI harus berani bertindak atas apa yang dilakukan polisi terhadap 3 guru dari SMPN 1 Turi.
Sekedar untuk diketahui, Wakil Kepala Kepolisian Resort (Wakapolres) Sleman Komisaris Polisi M Kasim Akbar Bantilan mengatakan sampai saat ini sudah memeriksa 24 saksi dari berbagai sumber yang berkompeten. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka dan sudah dilakukan penahanan.
"Penetapan tersangka berdasarkan banyaknya hal kelalaian yang tidak dipersiapkan oleh para pembina," ucapnya. Atas perbuatanya ketiganya dijerat dengan pasal Pasal 359 KUHP tentang Kelalaian yang Menghilangkan Nyawa Seseorang, dan 360 KUHP tentang Kelalaian yang Mengakibatkan Luka-luka Seseorang dengan ancaman lima tahun penjara. (www.tagar.id -- 25 Februari 2020).
PB PGRI juga menyatakan akan memberikan pendampingan pada tersangka maupun keluarga korban. Seperti dilansir pada www.news.detik.com pada 24 Februari 2020. Hal itu dinyatakan Ketua Umum PGRI dan Ketua LKBH PB PGRI, Akhmad Wahyudi.
"Jika diperlukan bantuan hukum dari PGRI Sleman dan PGRI Pusat, kami akan memberikan pendampingan. Tolong dihindari judgement sepihak bahwa guru melakukan itu (lalai)," kata Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosidi saat menyambangi SMPN 1 Turi, Senin (24/2/2020).
Sementara itu, peristiwa digundulinya para tersangka susur sungai juga dinilai telah melukai hati nurani guru. Dalam www.kompas.com pada 26 Febrauri 2020, Ketua Umum PGRI pun memberikan pernyataan.
Menurutnya, penggundulan yang dilakukan terhadap ketiga guru yang menjadi pembina Pramuka di SMP Negeri 1 Turi, dinilai tidak sepantasnya dilakukan. Tindakan tersebut dinilai melukai hati guru di seluruh Indonesia.
"Memperlakukan guru dengan menggunduli, membiarkan telanjang kaki, dan memperlakukan seperti residivis itu melukai hati nurani guru seluruh Indonesia," tuturnya.
Unifah menyebut, meskipun ketiganya telah melakukan kelalaian atau kesalahan, menurutnya ada proses hukum yang siap untuk diterima sebagai konsekuensinya.
Kontroversi atas tindakan polisi terhadap penggundulan tersangka susur sungai, kini telah viral di media sosial. Apapun komentar masyarakat, pastinya semua sudah terjadi dan guru pembina Pramuka itu sudah gundul. Disini hanya tersisa satu pertanyaan, apakah itu SOP polisi ataukah ada provokasi dari pihak luar?
PB PGRI harus dapat jawaban pasti atas kejadian itu. Guru yang lalai dan menyebabkan peserta didiknya meninggal dunia memang bersalah secara hukum. Tapi ingat, mereka bukan residivis dan yang terjadi tentu saja diluar prediksi. Tegakkan hukum yang berimbang dengan etika dan SOP-nya.
Guru dan Pembina Pramuka SMPN 1 Turi itu bukan kriminal. Kelalaian yang mereka lakukan bukan berarti mereka jahat. Meskipun secara hukum dianggap melakukan kejahatan. Para koruptor saja tak digunduli, bandar dan pengedar narkoba tak digunduli, mengapa guru yang lalai itu diselaraskan dengan sosok pembunuh dan residivis?
HINAAN PROFESI
Tamparan keras jelas sudah terjadi pada wajah profesi guru. Guru yang lalai dalam melakukan pengawasan peserta didiknya sudah di-justice sebagai residivis. Perlakuan hina sudah diberikan kepada mereka. Meskipun rentetan penghinaan dan pelecehan terhadap profesi guru sudah lama terjadi di negeri ini. Namun belum ada solusi akurat yang bisa melindungi profesi guru.
Tersangka IYA, DS, dan RY adalah guru yang seprofesi dengan tenaga pendidik lainnya. Meski mereka secara tugas melakukan kesalahan, tetapi mereka bukanlah residivis dan manusia kejam. Mereka sudah meminta maaf dan mempertanggungjawabkan kelalaiannya secara hukum. Tapi perlakuan penggundulan terhadap ketiganya, jelas tak bisa dibiarkan.
Andaikan penulis sebagai orangtua siswa, jelas marah dan tidak terima dengan tragedi itu. Siapa sih orangtua yang mau kehilangan nyawa anaknya? Tapi tolong kita lebih memahami keadaan. Ketiga tersangka sudah menanggung resikonya. Tapi jangan ditambah lagi dengan penghinaan terhadap profesi yang dijalaninya.
Tindakan penggundulan atas ketiga tersangka harus diproses secara cepat, tepat, dan masif. Jangan samakan guru dengan pembunuh. Jangan samakan guru dengan sosok kriminil yang tak punya hati nurani.
Reaksi keras pun dilontarkan Ikatan Guru Indonesia (IGI). Seperti dilansir www.sulselekspres.com pada 26 Februari 2020. IGI menuntut Kapolri mengundurkan diri dari jabatannya, bila tidak memberikan sanksi tegas pada oknum polisi yang melakukan tindakan penggundulan pada ketiga tersangka tragedi SMPN 1 turi.
"Peristiwa pemotongan rambut hingga botak terhadap guru-guru yang diduga lalai dalam menjalankan tugasnya adalah sebuah penghinaan terhadap profesi guru," kata Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli Rahim, (26/2/2020).
Terlepas dari kesalahan dan kelalaian tersangka, sesungguhnya tidak layak polisi memperlakukan ketiga guru dengan cara menghinakan mereka dalam bentuk memotong rambutnya hingga gundul lalu memamerkannya ke publik. Seolah polisi jauh lebih menghargai koruptor yang membunuh kemanusiaan dibanding guru yang secara tidak sengaja lalai yang menimbulkan korban jiwa. Begitu ujaran Ramli Rahim mengekspresikan kejengkelannya atas tindakan oknum polisi.
Menurut hemat penulis, apa yang dinyatakan Ketua Umum IGI memang benar adanya. Untuk itu, seluruh guru di Indonesia bisa sejenak menunduk dan merenungkan keberadaannya bagi kemaslahatan umat manusia.
Sementara itu, beberapa pertanyaan berikut harus dilayangkan pada polisi atas tindakan yang sudah dilakukan pada 3 guru SMPN 1 Turi. Mereka memang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Tapi bukan berarti ketiganya bisa diperlakukan semau gue ala oknum pribadi polisi.
Pertanyaan-pertanyaan berikut harus bisa dijawab dan dibuktikan polisi dalam melakukan tindakan penggundulan terhadap tersangka tragedi susur sungai :
- Adakah undang-undang yang menjadi dasar penyusunan SOP tindakan atas penanganan tersangka dengan model penggundulan? Sementara tersangka secara faktual bukanlah pembunuh.
- Siapakah yang berinisatif sekaligus memerintahkan polisi untuk melakukan tindakan penggundulan terhadap ketiga tersangka?
- Siapa saja yang melakukan tindakan penggundulan dan bagaimana cara mereka melakukannya pada tersangka?
- Apakah polisi memahami perbedaan kata "kelalaian" dengan kata "sengaja" atau "terrencana" dalam kasus hilangnya nyawa seseorang sebagaimana termaktub dalam KUHAP?
- Siapa saja yang sudah menyaksikan proses penggundulan terhadap 3 guru tersangka susur sungai?
- Siapa yang sudah mendokumentasikan (memfoto atau video) saat 3 tersangka digunduli polisi di dalam markasnya?
- Apa yang dilakukan pihak Polri dalam rangka menegakkan etika anggotanya maupun dalam kedisiplinan melaksanakan SOP kewenangannya?
- Sanksi atau hukuman apa yang diberikan pada oknum polisi pelaku penggundulan terhadap 3 guru tersangka susur sungai?
- Sanksi atau hukuman apa yang diberikan petinggi Polri terhadap pimpinan polisi setempat yang sudah memerintahkan anak buahnya melakukan tindakan penggundulan?
- Apa yang akan dilakukan seluruh organisasi guru maupun seseorang yang berprofesi sebagai guru atas tindakan oknum polisi maupun korp polisi yang sudah terbukti melakukan penghinaan terhadap profesi guru?
Sepuluh pertanyaan itulah yang selayaknya dijadikan sebagai dasar dalam menetralisir keadaan. Jangan sampai terjadi alibi saling melindungi dan memfokuskan pada 3 tersangka. Seluruh guru harus turut melakukan kotrol atas proses penyelesaiannya. Bila kita guru, ingatlah bahwa ketiga tersangka adalah rekan kita seprofesi.
Sekarang mari kita berpikir positif dan kembali untuk melanjutkan tugas sebagai pencerdas generasi bangsa. Tragedi di SMPN 1 Turi, setidaknya harus menjadi cerminan kita untuk lebih profesional. Khususnya dalam hal pembinaan kesiswaan. Guru, di-gugu dan di-tiru. Kalau gurunya digunduli polisi dan diam saja, lantas apa yang bakal terjadi pada peserta didiknya?
Saatnya kita melakukan apa yang diprogramkan Mendikbud. Kita akan menjadi Guru Penggerak dan siswa kita bisa Merdeka Belajar. Tetaplah bersemangat untuk Indonesia di masa depan. Karena sejatinya Putra-Putri Indonesia adalah sosok kuat dan tangguh hasil ukiran tugas dan pengabdian para guru. (Diolah dari berbagai sumber)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H