Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti mengatakan kebijakan mewajibkan ekstrakulikuler Pramuka dalam Permendikbud No. 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan Sebagai Ekstrakurikuler Wajib mulai jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK terkadang menyimpang dari esensinya.
"Persoalannya, selama ini kebijakan mewajibkan siswa sekolah untuk mengikuti pendidikan kepramukaan telah menjadikan latihan kepramukaan menjadi pelajaran kepramukaan. Kebijakan yang awalnya berniat baik untuk membentuk kompetensi sosial peserta didik, malah merusak esensi pendidikan kepramukaan itu sendiri. Masifnya pendidikan kepramukaan menyebabkan hal-hal yang esensial menjadi terlupakan," kata Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, pada Sabtu (22/2/2020).
Mencermati apa yang tertulis di atas, KPAI harus berkomitmen untuk membuktikan fakta esensial yang ditudingkan. Faktor esensial apa dan yang mana yang terlupakan. Bila KPAI tak bisa memberikan jawaban atas tudingannya itu, sama juga bohong dan makin membuat dunia pendidikan resah.
Pramuka tak bisa disalahkan dalam tragedi ini. Sebab tragedi ini terjadi karena 2 hal, yaitu human error dan faktor kondisi alam. Jangan sampai KPAI (oknum) hanya bisa menuding tapi tak punya solusi alternatif yang mampu membuat kondisi pendidikan lebih baik.
Sekedar untuk diketahui, bahwa dalam organisasi Pramuka sudah ada aturan seputar manajemen resiko. Hal itu dibuktikan dengan Keputusan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Nomor 227 tahun 2007 tentang Petunjuk Penyelenggaraan Kebijakan Manajemen Resiko Dalam Gerakan Pramuka.
PGRI DAN POLISI
Dalam tragedi susur sungai di ekstrakurikuler Pramuka SMPN 1 Turi, Sleman, DIY, pasti memantik sorotan banyak pihak. Satu diantaranya adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Sebuah organisasi paling tua yang menaungi profesi keguruan di Bumi Persada Nusantara ini.
Kegiatan yang diikuti 124 siswa kelas VII dan 125 kelas VIII, total 249 siswa itu menjadi tragedi berujung maut. Susur sungai akhirnya menyebabkan 10 siswa meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka. Klimaksnya 3 guru PNS yang berstatus pembina Pramuka pun, harus meradang di hotel prodeo.
Reaksi Pengurus Besar-PGRI atas tragedi itu, lumayan responsif meski agak terlambat. Khususnya dalam menyikapi nasib 3 guru SMPN 1 Turi yang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Mengingat terindikasi adanya tindakan yang kurang etis dari polisi terhadap ketiga tersangka.
Seperti dalam tulisan www.nasional.tempo.com pada 26 Februari 2020 dengan judul "PGRI Sempat Geram Polisi Membotaki Kepala Tersangka Susur Sungai". Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia atau PB PGRI sempat mengutarakan kegeraman mereka ketika mengetahui tiga pembina pramuka SMPN 1 Turi, Sleman yang ditetapkan sebagai tersangka insiden susur sungai itu dicukur botak oleh Polisi.
"Pak Polisi, kami marah dan geram. Tak sepatutnya para guru-guru kau giring di jalanan dan dibotakin seperti kriminal tak terampuni," tulis admin dalam akun twitter resmi PB PGRI, @PBPGRI_OFFICIAL pada Selasa, 25 Februari 2020.