<<
Aku membuka mataku dan melihat cahaya putih. Aku bisa mendengar suara ibuku, Ryfan, dan Kak Safira yang memanggil namaku. Sekejap saja ruangan dipenuhi oleh dokter dan juga suster. Aku masih merasa sulit bicara, tapi aku penasaran dengan apa yang terjadi.
"Alisia..." kataku lirih. Ibuku menggenggam tanganku. Aku ingin bicara, tapi mulutku terasa kelu.
Aku masih diam hingga aku sadar sepenuhnya. Aku melihat ibu, Ryfan, dan kak Safira yang hanya diam dan saling melempar pandangan.
"Alisia... mana?" tanyaku lagi.
"Nino, istirahat dulu, kamu baru sadar,"
"Alisia mana, bu?"
"Nino, kamu masih harus istirahat," kak Safira menepuk bahuku.
"Mana Alisia?!"
"Alisia... Alisia sudah pergi..."
Aku butuh waktu hingga bisa mencerna kata-kata ibu. Alisia bukan pergi meninggalkanku di rumah sakit untuk sebentar. Dia pergi selamanya, ke tempat yang tidak bisa kugapai lagi. Alisia hanya bertahan hingga beberapa menit sebelum aku terbangun. Seolah-olah dia menyerahkan nyawanya agar aku terbangun. Aku mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhirnya. Jika saja aku boleh memilih, aku tidak ingin terbangun. Aku ingin terus bersamanya, dibandingkan hidup tanpanya. Aku hanya menyadari ini adalah hukumanku, hidup tanpa Alisia.