"Benar?"
"Kamu yang bilang, Alisia nggak akan mau aku terus sedih. Aku pikir kamu benar. Alisia meninggalkan aku dengan kondisi dia mencintaiku, dan aku yakin cara membalas seseorang yang mencintai kita yang pergi dari dunia adalah dengan hidup penuh rasa syukur," Kirana mengangguk semangat.
"Pacar kakak pasti sudah senang sekarang. Kakak harus ingat, kesedihan kita yang hidup hanya akan jadi beban bagi yang sudah pergi. Kita harus menjalani hidup kita sekarang sampai suatu hari kita bisa bertemu lagi dengan mereka yang sudah pergi terlebih dulu,"
Obrolanku dan Kirana jadi lebih banyak, panjang, dan menyenangkan. Hingga kami tiba di komplek pemakaman. Aku membawa buket mawar. Alisia suka hampir semua mawar, tapi merah muda pucat dan putih adalah yang paling dia sukai. Biasanya aku hanya membawakan mawar putih, tanda kesucian hidupnya. Tapi hari ini aku membawakan mawar putih, merah, pink, biru, dan kuning. Aku ingin menunjukkan bahwa kehadirannya dalam hidupku membawa banyak warna. Didepan makamnya, seperti biasa aku memeluk nisannya sesaat. Kukirim doa untuknya, satu-satunya hadiah yang bisa dia terima.
"Aku disini," bisikku pada Alisia.
"Selamat ulang tahun, Alisia. Aku sudah mulai merelakanmu. Tapi aku pikir nggak ada yang bisa menggantikanmu. Kamu tahu, dunia terasa membosankan tanpamu..."
"Nino?" aku mendengar seseorang memanggilku. Tante Lidia, ibu Alisia berdiri di belakangku.
Aku berbalik dan melihat tante Lidia. Wajahnya mirip sekali dengan Alisia. Aku tak bisa membendung air mataku. Selama ini aku merasa begitu berdosa, bersalah karena aku yang mengantar putrinya pada kematian.
"Terima kasih sudah selalu datang untuk Alisia. Alisia pasti senang," katanya sambil menepuk bahuku.
"Tante... gara-gara aku..."
"Sudahlah Nino. Tante dan kami semua nggak pernah menyalahkan kamu atas kepergian Alisia. Kepergian Alisia sudah takdirnya, bukan salah kamu,"
"Tapi tante..."