Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kepulauan Nias dan Stigma Tempat Buangan Pegawai

26 Agustus 2018   21:20 Diperbarui: 9 Oktober 2018   15:36 2468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih sangat hangat dan masih dalam suasana menjelang perayaan Hari Hemerdekaan ke-73 RI, koran lokal harian umum Tribun Medan, Senin, 3 Agustus 2015 19:10, menurunkan berita dengan judul "Gawat, Polisi Malas Akan Dipindahkan ke Nias".

Isi berita itu mengabarkan: Kepala Kepolisian Resor Kota (Kapolresta) Medan, Komisaris Besar Mardiaz Kusin Dwihananto mengungkapkan jajaran kepolisian Polresta Medan harus disiplin dalam bekerja. Apabila nantinya ditemukan ada anggota yang malas, maka oknum yang bersangkutan akan dipindahtugaskan.

"Kalau masih bermalasan dan tidak efektif serta terlibat narkoba, akan saya evaluasi dan dipindahkan ke tempat tugas yang tidak banyak beban tugas, seperti Nisel, Nias, dan Madina," kata Mardiaz, dalam isi berita tersebut.

Berita ini telah menjadi kontroversi dan viral di jaringan media sosial dan koran-koran online, khususnya dikalangan masyarakat kepulauan Nias dimana saja.

Berita itu juga membuat marah masyarakat di Kepulauan Nias terhadap Kapolresta Medan yang menganggap Nias sebagai tempat buangan. Dalam Nias Satu.Com diberitakan bahwa, Warga Nias Protes Kapolresta Medan Citrakan Nias Sebagai Tempat Pembuangan Aparat Bermasalah.

Adalah Turunan Gulo, seorang tokoh muda masyarakat Nias yang berdomisili di Kota Medan, yang mantan Komisioner KPU Sumut, melalui akun media sosialnya meminta klarifikasi dan langsung direspon oleh Kapolresta Medan.

Kemudian, masalah ini dianggap tuntas disertai dengan permohonan maaf dari Kapolresta Medan kepada seluruh masyarakat Nias. Rekaman videonya sudah beredar luas di sosial media.   

II

Bagi saya sebagai orang Nias, kejadian ini menjadi penting dan tentu menarik untuk diangkat kembali. Paling tidak sebagai sebuah refleksi dan semoga juga menjadi motivasi dan sumber energi baru bagi (terutama) masyarakat Nias untuk sesegera mungkin bergegas mengejar kemajuannya.

Mengapa menjadi menarik? Karena isu "Nias sebagai tempat buangan" itu mengingatkan sejarah panjang keterbelakangan pembangunan Nias sebagai sebuah kepulauan, terutama di era Orde Baru

Bagi kepulauan Nias, Orde Baru sama saja dengan Nias yang terbelakang, terpuruk, termiskin, terbuang, dan semua yang terjelek-lainnya.

Stigma kepualauan Nias sebagai "tempat buangan" bagi pegawai pemerintahan, terutama di era orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, tidak bisa dibantah. Apalagi kalau bukan asli masyarakat Nias lalu ditempatkan sebagai pegawai negeri, merasa lengkap "keterbuangan" yang dirasakan.

Pada masa itu, infrastruktur di kepulauan ini sangat minim, hubungan antara desa dengan desa sangat sulit karena harus dilalui dengan berjalan kaki serta kondisi alam yang tidak bersahabat.

Untuk bisa menjangkau wilayah-wilayah lainnya yang agak jauh, pilihannya menggunakan laut dengan perahu yang sangat minim keamanannya, sehingga tidak jarang karena lautnya yang sangat ganas perahu menjadi korban keganasan ombak.

Selama masa orde baru, masyarakat di kepualau Nias merasakan mendapat perhatian yang minim dari pihak pemerintahan, baik pusat maupun dari provinsi Sumatera Utara. Karena kepulauan yang terpisahkan dari daratan Sumatera, praktis Nias tidak bisa bertumbuh dengan cepat dan betul-betul terisolir dari dunia yang lain.

Jangan lagi tanya apakah ada industri di pulau ini, karena secara ekonomi jauh dari layak. Praktis masyarakatnya hanya hidup dari hasil pertanian, perkebunan dan semacamnya.

Bagi generasi mudanya, nampak bahwa tidak ada alasan untuk tinggal dan bertahan di pulau ini karena tidak memberikan jaminan masa depan yang lebih baik.

Itu sebabnya, mayoritas masyarakat pulau ini memilih merantau ke seluruh Indonesia dan dunia kalau perlu.

Para perantau itu umumnya banyak yang berhasil lebih baik kehidupannya, sehingga memberikan dampak bagi kemajuan masyarakat ini, walaupun tidak terlalu cepat untuk merubah pulau ini menjadi mandiri.

III.

Ketika Orde Baru dan rezim Soeharto tumbang dan Negeri ini memasuki era reformasi 1998, menjadi kesempatan bagi kepualauan Nias untuk berubah. Perjuangan yang tidak mudah tetapi dikerjakan terus menerus, pulau ini berkembang menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan.

Agak sedikit melegakan, paling tidak kegiatan dan dinamika pembangunannya bisa dinaikkan.

APBD bisa lebih besar karena dua kabupaten, kebutuhan personalia pegawai juga bertambah sehingga menjadi kesempatan bagi banyak warga pulau ini menjadi pegawai.

Tentu saja secara ekonomi diharapkan multiplier effecknya bisa mendorong perubahan yang lebih baik.

Perubahan yang terjadi tidak terlalu cepat, karena pembangunan infrastruktur sebagai kunci pembangunan pulau ini, nyaris tidak bergerak.

Akibatnya, mobilisasi sumberdaya dan percepatan perubahan nyaris tidak signifikan. Bahkan bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan lain sebaginya lebih sering menjadi berita penderitaan masyarakat di pulau ini.

Perkembangan menjadi dua kabupaten di pulau Nias, yang terjadi diawal tahun 2000-an beberapa tahun kemudian. Namun stigma Nias sebagai tempat buangan masih sulit dihilangkan bagi pegawai negeri yang berasal dari luar daerah Nias ini sendiri.

Stigma ini tentu saja tidak salah dan banyak benarnya, karena kondisi infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, dan sebagainya nyaris tidak signifikan untuk mendorong pembangunan yang lebih maju dan baik.

IV

Ungkapan atau pameo yang berkata "bencana membawa nikmat" menjadi betul dan benar dialami oleh Kepulauan Nias pada tahun 2004 dan 2005.

Ketika bencana besar gempa tektonik dan tsumani yang melanda dan memporak-porandakan Aceh dan Nias dan sekitarnya, pada Desember 2004 dan Maret 2005, menjadi titik balik dalam keseluruhan kehidupan di Kepulauan Nias ini.

Gempa dan tsunami itu telah menghancurkan kehidupan di kepulauan ini, sehingga 80% infrastukturnya hancur berantakan.

Bahkan alam dan buminya juga berubah habis-habisan. Dengan korban ribuan orang, puluhan ribu bangunan rumah hancur berantakan, tanah dan swah, ladang, kebun hancur berantakkan, sehingga tidak salah kalau banyak penduduknya merasakan kiamat sedang melanda pulau ini.

Namun, siapa yang menduga kalau bencana dahsyat ini sebetulnya menjadi titik balik kehidupan di kepualauan Nias!

Melalui tangan pemerintahan pusat membentuk BRR, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi, bersama dengan Nanggroe Aceh Darusallam (NAD), dilakukan pembangunan kembali secara besar-besaran, Aceh dan Nias dibangun kembali oleh BRR NAD-Nias.

Pemerintah bersama Lembaga-lembaga Internasional, dan NGO dari seluruh muka bumi ini, bersepakat menurunkan dana sebesar sekitar Rp 60 triliun untuk membangun kembali kehidupan di Aceh dan Nias.

Nias mendapatkan jatah anggaran sekitar Rp 10 trilun. Dana yang sangat besar untuk merehabilitasi dan merekonstruksi kembali kehidupan di pulau ini agar pulih kembali, maju dan terus berkembang kembali.

Dibawah kepemimpinan Prof Dr Kuncoro Mangkusubroto, sebagai Kepala BRR NAD-Nias, selama empat tahun, 2005-2009, derap pembangunan di Nias dimulai dengan  kecepatan penuh.

Selama 24 jam setiap hari sepanjang tahun, pembangunan dilakukan dengan sekuat tenaga. Di sana-sini, dinamika kehidupan terus berdetak, bergaum dan membesar.

Multiplier efek dari dana pembangunan juga merangsek ke mana-mana, sehingga masyarakatnya menikmati dengan penuh kegembiraan.

Fokus rehabailitasi dan rekosntruksi pada pembangunan infrastruktru ekonomi yang kuat. Hasilnya sungguh luar biasa.

Jalan-jalan Nasional dibanguna ratusan kilometer, jalan jalan provinsi, jalan kabupaten juga menyentuh hampir semua wilayah. Konektifitas menjadi mudah antara kabaupaten dan kabupatan, kecamatan dengan kecamatan bahkan dari desa ke desa. Pelabuhan bukan saja diperbaiki yang rusak tetapi dibangun lebih besar dan lebih luas lagi serta penambahan pelabuhan di titik sentral wilayah. Penerbangan antara Nias dengan Medan, dan tempat lain, tidak saja hanya sekali seminggu di masa orde baru, tetapi bisa beberapa kali dalam satu hari bahkan beberapa maskapai penerbangan.

Benar bahwa akibat bencana membawa kenikmatan kehidupan bagi penduduk pulau Nias menjadi kenyataan adanya.

Lihat saja, jalan-jalan sudah lebih mulus dan lebar, dimana-mana kendaraan bermotor berseliweran, bahkan banyak penduduk bisa membeli mobil, apalagi sepeda motor. Karena uang banyak beredar di tengah-tengah masyarakat, sehingga ekonomi menjadi hidup dan bertumbuh.

Lalu pertanyaannya adalah apakah Nias dengan stigma tempat buangan masih berlaku?

Nampaknya, di bagian inilah penduduk ini sudah merasa berubah sama sekali. Dengan kemajuan yang sudah dicapai, masyarakat Nias tidak rela disebut lagi sebagai "tempat pembuangan". Alasan untuk itu sama sekali tidak bisa diterima lagi.

Mari kita lihat apa yang terjadi. Setelah BRR menyelesaikan tugas pengabdiannya di Nias selama 4 tahun, 2005 sd 2009, pada tahun 2009 Kepualauan Nias mekar menjadi 4 kabupaten dan 1 Kotamadya, sebuah prestasi politik yang luar biasa dari penduduk Nias.

Dengan pemekaran ini paling tidak mulai ada kemandirian bagi kepulauan Nias untuk lebih cepat berubah maju dan berkembang lagi. Dipastikan perputaran uang juga akan menjadi lebih besar.

Hitung saja, kalau setiap kabupaten/kota APBD-nya Rp 500 Miliar setiap tahun maka disana ada Rp. 2,5 trilun dana berputar setiap tahun. Sesungguhnya, angka yang tidak sedikit bila dikelola dengan baik dan professional.

Kemudian, dengan begitu apakah masyarakat kepulauan Nias bisa menerima stigma bahwa Nias adalah tempat buangan? Saya yakin tidak lagi, dan mereka akan sangat tersakiti dan marah apabila dicap sebagai tempat buangan.

V

Membangun kembali pulau yang sudah sangat menderita sekian puluh tahun di bawah rezim orde baru, dan kemudian disempurnakan kehancurannya oleh bencana alam gempa dan tsunami, masyarakat Nias tidak mau lagi terlalu lama menderita apalagi kembali kepada kehidupan yang lama, sehingga berbagai upaya dikerjakan untuk mengejar ketertinggalannya dalam segala hal.

Posisi kepualuan Nias sebagai bagian dari pemerintahan di Sumatera Utara, nampak tidak banyak menolong untuk mempercepat perubahan yang diinginkan oleh masyarakat di Nias. Selalu terkesan bukan menjadi bagian terpenting dalam mendorong kemajuan secara optimal.

Itu sebabnya, mayarakat kepualauan Nias menuntut untuk mandiri dalam membangun kehidupannya. Dan jalan untuk itu hanya satu saja, yaitu Kepulauan Nias harus menjadi sebuah provinsi, yaitu Provinsi Kepulauan Nias disingkat Provinsi KepNi.

Ini bukan sekedar isapan jempol belaka, apalagi menjadi mimpi di siang bolong, karena telah diproses sejak pemerintahan SBY sebagai Presdien pada periodenya.

Segala upaya dan daya sudah dilakukan, bahkan nyaris menembus menjadi kenyataan, tetapi perjuangan ini kandas karena SBY memoratoriumkan pemekaran sebelum pemerintahannya berkahir pada tahun 2014.

Apakah masyarakay KepNis kapok? Tidak juga!. Perjuangan terus dilakukan.

Bahkan sekarang perjuangannya sudah jauh lebih serius dan maju dengan dibentuknya Panitia Persiapan Pembentukan Kepualauan Nias, di bawah Kepemimpinan Mayjen TNI (Purn) Christian Zebua.

Perjuangan ini patut di beri jempol luar biasa karena walaupun pemerintah masih belum mencabut marotorium bagi pemekaran.  Tim ini masih terus bekerja untuk membuat persiapan. Dengan harapan dan iman, bahwa saat moratorium di cabut oleh pemerintah maka KepNis sudah siap menjadi provinsi yang mandiri.

Lalu, dalam keadaan perjuangan yang luar biasa ini, apakah masyarakat Nias bisa menerima apabila muncul Stigma Nias Tempat Pembuangan? Saya yakin 1000%, masyarakat ini tidak bisa menerima stigma ini lagi. Dan siapapun dia yang mengatakan itu pasti akan berhadapan dengan populasi masyarakat yang sedang mau mandiri kehidupannya dan tidak lagi berada dibawah "jajahan" pemerintahan setempat yang tidak pro pada perkembangan Nias yang lebih cepat dan maju.

Stigma bahwa Nias tempat pembuangan sangatlah menyakitkan dan tidak ada satupun warga Nias mau kembali ke zaman orba itu, sehingga ketika stigma ini muncul kembali maka semua semangat dan sumberdaya yang ada akan bisa menjadi satu untuk mempercepat kemandirian menjadi sebuah provinsi.

Kapan mimpi Provinsi KepNis menjadi kenyataan? Tidak ada satupun yang tahu.

Walaupun demikian, perjuangan tak boleh kendur sama sekali, tetap semangat dikobarkan karena waktu itu adalah milik Tuhan yang akan diberikan kepada masyarakat yang mengimaninya. Semoga saja.

Yupiter Gulo, Mantan Kepala BRR Distrik Nias, 26 Agustus 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun