Mohon tunggu...
Yunita Triyani Mendrofa
Yunita Triyani Mendrofa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - S1 Akuntansi

Nama : Yunita Triyani Mendrofa NIM : 43222010178 Prodi : S1 Akuntansi Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak Kampus : Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Quiz - Diskursus Jeremy Bentham's Hedonistic Calculus dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

15 Desember 2023   06:02 Diperbarui: 15 Desember 2023   06:12 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama : Yunita Triyani Mendrofa

NIM : 43222010178

Prodi : S1 Akuntansi

Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan ETIK

Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Pada kesempatan kali ini, penulis ingin membahas mengenai Teori Jeremy Bentham dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia. Sebelum memulai pemamaparan materi alangkah lebih baiknya kita perlu mengenal siapa tokoh Jeremy Bentham.

Siapa tokoh Jeremy Bentham?

Dokumen pribadi penulis
Dokumen pribadi penulis

Jeremy Bentham adalah seorang filsuf utilitarian, ekonom, dan ahli hukum teoretis Inggris yang memiliki pengaruh penting dalam mereformasi pemikiran di Inggris dan di seluruh dunia pada abad ke-19. Dia disebut Luther dunia hukum. Pasalnya, pada akhir abad ke-18, sistem hukum Inggris yang kuno, korup, dan belum direformasi bisa dilihat sebagai agama nasional, meski tidak hanya berani menentangnya,  tetapi juga menciptakan struktur hukum baru yang menarik banyak pendukungnya. dan  akhirnya mengilhami  reformasi. Ia secara radikal mengkritik dan merekonstruksi seluruh institusi Inggris  di bidang ekonomi, moral, agama, pendidikan, politik dan hukum. 

Bentham lahir pada tanggal 15 Februari 1748 di Red Lion Street, Houndsditch, London, sebagai putra  seorang pengacara. Bentham adalah seorang anak jenius karena pada usia 3 tahun ia dapat membaca sejarah Paul de Rapin dengan penuh minat  dan mulai belajar bahasa Latin.  Sebagian besar masa kecilnya dihabiskan dengan bahagia di pedesaan di bawah asuhan dua orang nenek. Di Westminster School, dia unggul dalam  bahasa Yunani dan  Latin. Pada tahun 1760 ia melanjutkan studinya di Queen's College, Oxford, di mana kecerdasannya terlihat jelas dalam Pengantar Logika karya Robert Sunderland. 

Setelah lulus pada bulan November 1763, dia memulai studinya di Lincoln's Inn dan menjabat sebagai murid di King's Bench, di mana dia dengan penuh semangat mendengarkan nasihat Lord Mansfield pada bulan Desember 1763.  Pada tahun 1788, Bentham melakukan banyak pekerjaan untuk menemukan prinsip-prinsip peraturan perundang-undangan. Sebuah karya penting yang membuatnya terkenal bertahun-tahun kemudian adalah bukunya Pengantar Prinsip Moral dan Perundang-undangan, yang diterbitkan pada tahun 1789.

Dalam buku tersebut, Bentham mendefinisikan prinsip utilitas. Ketenaran karya ini menyebar jauh dan cepat. Bentham menjadi warga negara Perancis pada tahun 1792, dan lamarannya diterima dengan sangat hormat di negara-negara Eropa dan Amerika.  Banyak tokoh dunia yang rajin berkorespondensi dengannya; salah satunya adalah Muhammad Ali. Pada tahun 1817 ia menjadi pemilik Lincoln's Inn. Tujuan Bentham adalah menyiapkan buku hukum untuk konsumsi dalam dan luar negeri. Kodifikasi undang-undang merupakan fokus utama kegiatannya, namun ia mungkin meremehkan kesulitan yang melekat pada tugas tersebut dan perlunya keberagaman yang disesuaikan dengan tradisi dan peradaban di berbagai negara. 

Pada tahun 1823, Bentham membantu mendirikan Westminster Review (1824), jurnal utilitarian pertama yang menyebarkan prinsip-prinsip radikalisme filosofis, dan juga mendirikan University College. Bentham meninggal pada tanggal 6 Juni 1932 di Queen Square dalam usia 85 tahun. Sesuai keinginannya, jenazahnya dipotong-potong di depan rekan-rekannya. Kerangka tersebut kemudian dibuat dengan mengisinya dengan  lilin dan pakaian diletakkan di atas kerangka tersebut. University College London memegang patung Bentham.

Bentham berpendapat bahwa alam  menempatkan manusia di tangan kekuasaan, penderitaan, dan kesenangan. Karena kesenangan dan kesakitan, kita mempunyai gagasan, semua pendapat, dan semua kondisi dalam hidup kita yang terpengaruh olehnya. Siapa pun yang ingin membebaskan dirinya dari kekuatan ini tidak tahu apa yang dibicarakannya. Tujuannya hanya untuk mencari kesenangan dan menghindari rasa cemas.

Manusia selalu meningkatkan kebahagiaan dan mengurangi kecemasan. Dalam konteks ini, tidak ada tempat untuk membagi dua variabel Bentham. Baginya, kebaikan adalah kebahagiaan dan keburukan adalah masalah. Ada hubungan erat antara kebaikan dan kejahatan, kebahagiaan dan kesengsaraan. Fungsi hukum adalah mendukung kebaikan dan mencegah kejahatan.  Pendapat Bentham berbeda dengan fokusnya yang kuat pada individu. Ia ingin hukum menjamin kebahagiaan bagi individu terlebih dahulu, bukan secara langsung bagi seluruh masyarakat. Meski demikian, Bentham tak menampik, selain kepentingan individu, kepentingan masyarakat juga harus diperhatikan. Untuk menghindari benturan, kepentingan individu harus dikendalikan demi mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya. Jika tidak, maka terjadilah apa yang disebut human homini lupus (manusia menjadi serigala bagi orang lain).  Untuk menyeimbangkan  kepentingan individu dan masyarakat, Bentham mengusulkan untuk memperlakukan setiap individu dengan kasih sayang.

Namun fokus perhatiannya harus tetap pada individu, karena ketika setiap individu telah mencapai kebahagiaan, maka kebahagiaan (kesejahteraan) masyarakat dengan sendirinya akan terwujud pada saat yang bersamaan. Menurut Bentham, hukuman harus  spesifik untuk setiap kejahatan, dan beratnya hukuman tidak boleh melebihi apa yang diperlukan untuk mencegah serangan tertentu. Hukuman dapat diterima hanya jika memberikan harapan untuk mencegah kejahatan yang lebih besar. Ajaran tersebut didasarkan pada utilitarianisme hedonistik.

 Menurut Bentham, tujuan peraturan perundang-undangan adalah untuk mendatangkan kebahagiaan bagi masyarakat. Dengan demikian, tujuan peraturan perundang-undangan harus ada empat tujuan, yaitu menjamin penghidupan (ensure living), menyediakan kelimpahan (menyediakan banyak makanan), memberikan keamanan (memberi perlindungan),  mencapai kesetaraan (achie aquality).

Menurut Bentham, dalam membuat undang-undang, pembuat undang-undang  harus mengetahui cara menemukan dan mewujudkan kebaikan. Pembuat undang-undang harus mempertimbangkan bahwa tindakan yang ingin dicegahnya itu buruk atau jahat.  Suatu undang-undang  dapat diterima sebagai undang-undang hanya jika undang-undang tersebut bertujuan untuk mencapai tujuan perlindungan kekayaan, status dan harta benda serta meminimalkan ketidakadilan.  Ada dua kelemahan dalam pemikiran Bentham yang dikemukakan Friedmann.

  • Pertama, rasionalisme  abstrak dan doktrinal Bentham mencegahnya melihat individu sebagai entitas yang kompleks. Hal ini menyebabkan penilaian yang berlebihan terhadap kekuasaan pembuat undang-undang dan meremehkan perlunya individualisasi politik dan fleksibilitas dalam penerapan undang-undang. Ia juga terlalu yakin akan kemungkinan kodifikasi ilmiah yang lengkap berdasarkan prinsip-prinsip rasional sehingga ia tidak lagi peduli dengan perbedaan nasional dan sejarah. Faktanya, pengalaman  kodifikasi di berbagai negara menunjukkan bahwa selalu diperlukan interpretasi yang fleksibel dan independen oleh hakim. 
  • Kedua, kegagalan Bentham dalam menjelaskan pemahamannya tentang keseimbangan  kepentingan individu dan sosial.

Mari mengenal apa yang dimaksud dengan korupsi?

Dokumen Pribadi penulis
Dokumen Pribadi penulis

Korupsi adalah kejahatan yang luar biasa. Dalam banyak kasus, korupsi diartikan sebagai  penyalahgunaan kekuasaan yang  dipercayakan kepada seseorang untuk  keuntungan pribadi atau kelompok. Korupsi telah melemahkan kepercayaan, melemahkan demokrasi, memperlambat pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesenjangan, kemiskinan dan krisis ekologi.Organisasi non-pemerintah internasional Transparency International menerbitkan hasil survei korupsi setiap tahun. Hasil survei yang diterbitkan setiap tahunnya dikenal dengan Indeks Persepsi Korupsi (yang biasa disebut Indeks Persepsi Korupsi, yang selanjutnya disebut CPI).

CPI merupakan gambaran  situasi dan kondisi korupsi di tingkat negara atau regional. Secara metodologis, CPI merupakan gabungan indeks dari beberapa lembaga penelitian bergengsi  global. Setidaknya terdapat 13 sumber data dari 12 lembaga internasional terpercaya. THI mengumpulkan informasi dari beberapa sumber berbeda, yang memberikan gambaran kepada dunia usaha dan para ahli mengenai tingkat korupsi di sektor publik. Jika skor 0 dianggap negara korup dan skor 100 dianggap negara korup. Oleh karena itu, semakin tinggi  CPI suatu negara, maka  semakin bersih persepsinya. Sebaliknya, semakin rendah CPI, maka  semakin korup persepsinya. Terlepas dari keterbatasan  hasil penelitian dan metode yang digunakan, harus diakui bahwa CPI (dan survei antikorupsi Bank Dunia) merupakan survei yang komprehensif dan kuat. 

Bagaimana bisa fenomena korupsi di Indonesia mampu dikaitkan teori Jeremy Bentham ( Utilitarisme dan hedonistic calculus)?

 

Dokumen pribadi penulis
Dokumen pribadi penulis

Utilitarisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham adalah aliran filsafat yang sangat menganjurkan penerapan hukuman kepada manusia. Utilitarianisme memiliki prinsip  filosofis dasar, atau posisi yang sangat kuat, bahwa  hukuman apa pun yang adil terhadap pelanggar hukum harus mempertimbangkan konsekuensi selanjutnya.

Teori ini sebenarnya merupakan penerapan terbatas dari prinsip dasar etika utilitarian, yang menyatakan bahwa suatu tindakan hanya dibenarkan secara moral sepanjang konsekuensinya bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang. Akibat positif juga harus diperhatikan dalam hukuman yang diberikan kepada penjahat ini. Hukuman harus memperhatikan konsekuensinya. Dengan demikian, seseorang yang ingin memperoleh kekayaan lebih dengan mengambil uang yang tidak layak diterimanya, atau dikenal dengan korupsi, akan membuatnya memikirkan kembali perbuatan-perbuatan merugikan tersebut di kemudian hari serta akibat dari perbuatan buruknya.

Teori utilitarian tentang hukuman tidak langsung dikembangkan dalam waktu singkat. Ia tumbuh karena berubah dalam jangka waktu yang sangat lama. Teori  hukuman utilitarian mempunyai sejarah  panjang sejak filsuf Plato. Plato (427-347 SM) adalah seorang pemikir Yunani klasik  yang juga mengemukakan gagasan konstruktif penting tentang politik, hukum, dan negara. Bahkan, bisa dikatakan bahwa gagasan Plato  bisa menjadi cikal bakal berkembangnya utilitarianisme di masa depan.

Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika memberikan manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan atau banyak orang, tidak hanya satu atau dua orang saja. Kriteria untuk menentukan baik atau buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak, yakni kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.

Maka tindakan yang membahagiakan banyak orang  adalah tindakan yang terbaik. Mengapa kita harus  jujur dan tidak melakukan korupsi? karena dengan bertindak jujur maka pembangunan akan berjalan dengan baik sehingga meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat luas. Ini berarti kebahagiaan bagi kebanyakan orang. Dengan demikian, doktrin utilitarianisme sepenuhnya bersifat kuantitatif, dimana satu-satunya ukuran perbedaan adalah jumlah kebahagiaan yang dihasilkan oleh tindakan yang berbeda.

Mengingat fenomena kejahatan di Indonesia seperti korupsi yang semakin sulit dipecahkan bahkan prosesnya sangat lama maka penerapan teori ini dapat menjadi solusi untuk mengubah cara berpikir dan memperluas wawasan agar dapat diapresiasi orang lain dalam kehidupannya. Permasalahan individu tidak diprioritaskan dalam teori ini, namun individu harus berkorban demi kesenangan terbesar manusia.

Pemimpin yang mendorong hal ini dapat memenuhi seluruh tanggung jawabnya dan berupaya membawa kesejahteraan bagi orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, penulis berharap seseorang yang tidak merasa berkecukupan bisa mensyukuri apa yang dimilikinya. Factor terjadinya Tindakan korupsi salah satunya gila kekuasaan sehingga pelaku korupsi berperilaku sombong dan berdampak buruk terhadap keberlangsungan hidup dibawahnya. penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa aliran utilitarianisme sangat menekankan pentingnya dampak atau konsekuensi dari suatu perbuatan dalam menilai baik dan buruknya. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, dalam arti memajukan kesejahteraan, kebahagiaan, serta kemakmuran bagi orang banyak maka itu adalah perbuatan baik. Namun, jika sebaliknya yang terjadi maka itu adalah perbuatan buruk. Konsekuensi di sini amat dipentingkan, karena menentukan seluruh kualitas moralnya. 

Namun , teori utilitarisme seringkali dianggap membuka peluang lahirnya tindakan menghalalkan segala cara (ends always justify the means), di mana orang bertindak dengan cara-cara yang jahat agar tujuannya tercapai. orang diluar sana malah menyalahartikan tentang teori tersebut seperti bertindak kejahatan meski memiliki tujuan yang baik sebagai contoh korupsi dengan alasan ingin membahagiakan anggota keluarga atau ingin membantu komunitas atau organisasi yang kesusahan. 

Perlu diingat bahwa, suatu perbuatan yang bertujuan baik tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang tidak dapat dibenarkan secara moral. Kritikan lain terhadap teori utilitarian ialah, dapat menimbulkan konflik keadilan, di mana Kritik lain terhadap teori utilitarianisme adalah dapat menimbulkan konflik hak dimana tindakan seseorang tidak menjamin  keadilan terhadap hak setiap orang. Meskipun kepentingan masyarakat adalah yang utama, namun perilaku moral juga harus menghormati hak mutlak individu.

Kita lihat contoh  tindakan  sebagian pemimpin politik yang melakukan kekejaman atas nama masyarakat luas (mayoritas), yaitu korupsi, untuk mencapai tujuannya berperang dan kemudian menimbulkan penderitaan bagi sebagian orang. Dalam dialog Protagoras, Plato mengemukakan gagasan hukum dalam kaitannya dengan praktik  hukuman. Plato menulis bahwa ketika kita menghukum orang yang bersalah, kita tidak boleh mendasarkan hukuman tersebut pada fakta bahwa ia melakukan kesalahan di masa lalu, atau menghukum dengan  balas dendam membabi buta seperti  binatang, namun untuk masa depan, yaitu sebagai tindakan preventif. korup dan lain-lain agar tidak  melakukan kesalahan lagi.

Walaupun kejahatan seperti korupsi sangat merugikan  berbagai pihak, seperti pihak yang berkepentingan, seperti aparat kepolisian dan sebagainya, namun seseorang harus bisa bersikap adil dan tidak mementingkan perasaan pribadi untuk menimbulkan kekacauan ketika yang berkewajiban memeriksa serta menangani kasus. Apabila petugas apparat yang bertugas memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan dengan pelaku Anda memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan dengan penulis. Pandangan ini tidak hanya terfokus pada besarnya hukuman yang lalu dan sekarang saja, namun lebih pada besarnya hukuman yang akan datang bagi pelaku atau koruptor yang melanggar hukum.

Pelaku korupsi harus dihukum setimpal. Namun perlu diperhatikan bahwa hukuman yang adil tidak boleh hanya melihat sisi negatifnya saja. Perspektif utilitarianisme dapat dilihat sebagai respon terhadap praktik pidana yang hanya melihat pada aspek negatif dari  hukuman yang dijatuhkan kepada subjek yang melanggar hukum. Utilitarianisme mencoba menawarkan konsep alternatif. Utilitarianisme menunjukkan kontrol etis (positivisme hukum) dalam penerapan hukuman. Pemidanaan sebagai pengadilan terhadap seorang pelaku pidana tidak dapat dibenarkan secara moral  terutama karena terpidana telah terbukti bersalah melakukan pelanggaran hukum, namun karena pemidanaan tersebut mempunyai akibat yang positif bagi terpidana, korban, dan orang lain yang hidup dalam masyarakat. Hukum harus mempunyai makna positif dan konstruktif bagi masyarakat. Kalau tidak, hukumannya tidak ada artinya dan tidak ada gunanya. 

Teori hukuman Jeremy Bentham  didasarkan pada prinsip utilitas. Dalam bukunya yang mengungkap, Pengantar Prinsip Moral dan Legislasi, Bentham menguraikan arah dan pandangan hukum dari perspektif psikologis yang mendalam tentang prinsip utilitarianisme. Bentham menulis: "Alam telah menempatkan manusia di bawah kendali dua tuan, yaitu ketidakpuasan dan kesenangan. Apa yang harus kita lakukan dan apa yang ingin kita lakukan diarahkan dan didefinisikan dalam kerangka keduanya. Standar baik dan buruk serta  rantai sebab akibat juga berkaitan erat dengan kedua topik tersebut. Keduanya membimbing kita dalam segala hal yang kita lakukan, katakan, dan pikirkan. Segala upaya untuk meninggalkan ketundukan kita pada dua kekuatan ini hanya  membuktikan dan menegaskan kebenaran ini.

 Dengan menggunakan istilah utilitas atau utilitas, Bentham menekankan kebenaran faktual bahwa setiap orang berusaha menghasilkan bagi dirinya manfaat, keuntungan, keuntungan, kesenangan, kebaikan dan kebahagiaan. Artinya setiap orang berusaha dalam tindakannya  menghindari  situasi ketidakbahagiaan, kesakitan, kejahatan, ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan yang mengganggu ketenangan pikirannya. 

Dari tulisan Bentham di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kebahagiaan hidup setiap orang patut dilindungi, dipelihara, dan dilestarikan. Dari situlah lahir teori kebahagiaan terbesar dari Bentham yang menekankan bahwa tujuan tertinggi setiap orang dalam hidup ini adalah mencapai kebahagiaan. Tidak mungkin manusia tidak ingin bahagia ketika mengalami ziarah eksistensinya dalam realitas kehidupan ini. Kebahagiaan adalah tujuan tertinggi setiap  manusia.

Padahal, harus dikatakan bahwa kebahagiaan adalah kesempatan tertinggi bagi setiap orang di muka bumi ini.  Kebahagiaan dan kesenangan sebagaimana didefinisikan oleh Bentham tidak hanya mengacu pada konsekuensi subjektif (pribadi) dari tindakan manusia, tetapi juga pada tindakan yang diputuskan oleh otoritas negara atau  kebijakan institusi hukum yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur di dalam negeri. Lembaga dalam konteks ini tentu saja merupakan otoritas kehakiman yang berwenang mengambil keputusan terhadap terpidana (pengadilan).

Hal ini menunjukkan bahwa ruang lingkup atau konstelasi pemikiran utilitarian sangat luas, mencakup dimensi individu dan sosial. Maka Bentham menjadikannya prinsip dasar hukum moral. Sebaliknya, kita sampai pada pertanyaan penting tentang bagaimana teori utilitas  diterapkan  untuk menghukum pelaku korupsi.  Jika setiap orang cenderung menghindari  rasa sakit, ketidakbahagiaan, kesedihan, begitu pula dengan terpidana atau koruptor yang ingin dihukum. Seorang koruptor harus secara manusiawi  berusaha menghindari hukuman yang merugikan dirinya. Namun jika seseorang hendak dihukum atau dihukum, maka penegakan hukum  harus menjamin bahwa hukuman yang dimaksud akan mencegah kerugian dan ketidaknyamanan yang lebih besar.

Hukuman yang tidak menjanjikan akibat yang lebih baik di kemudian hari harus ditolak dengan tegas. Hukuman yang baik harus memberikan manfaat positif bagi pelakunya. Hak asasi manusia untuk hidup bahagia dan terhindar dari hukuman yang lebih berat di kemudian hari harus menjadi prioritas untuk menjamin dan melindunginya.

Menurut teori utilitas Bentham, pemidanaan dapat dibenarkan jika dikristalisasikan dua dampak utama dalam penerapannya, yaitu :

  • Pertama, konsekuensi pemidanaan adalah mencegah terulangnya kembali tindak pidana yang dilakukan terpidana di masa yang akan datang. 
  • Kedua, hukuman  memberikan kepuasan kepada korban dan orang lain. Kekhasan pemidanaan ini adalah bersifat preventif di kemudian hari, agar terpidana atau pelaku tindak pidana mengulangi perbuatannya dan memenuhi kebahagiaan pelakunya.  

 Jeremy Bentham berpendapat bahwa dalam mencegah (mencegah) tindakan korupsi, muncul tiga (3) bentuk pengaruh, yaitu:

  • Pertama, hukuman yang diterima oleh seorang koruptor berarti ia kehilangan kesempatan untuk  mengulangi  kejahatan yang sama di masa yang akan datang. Hal ini terjadi ketika pelaku korupsi divonis penjara seumur hidup, tangannya diamputasi, atau bahkan dieksekusi  oleh  lembaga peradilan resmi.
  • Kedua, dampak hukuman juga dapat diwujudkan dalam bentuk perubahan atau reformasi terhadap koruptor. Asumsinya, hukuman tersebut berdampak dan mereformasi kecenderungan atau kebiasaan buruk pelaku korupsi, sehingga ia tidak ingin melakukan kejahatan di kemudian hari. Di sini, pikiran seseorang direformasi sehingga setelah pembebasan, ia tidak  mau atau berkeinginan untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Terpidana diduga mengalami transformasi pribadi setelah menjalani tahapan tes selama  di  penjara. 
  • Ketiga, efek jera dan efek jera. Hukuman harus mampu memberikan efek jera bagi pelaku koruptor dan sekaligus mencegah kejahatan yang dilakukan oleh calon pelaku kejahatan lainnya di  masyarakat. Hukuman ini mencegah mereka yang dibebaskan dari penjara  untuk melakukan kejahatan ilegal lagi, dan sekaligus memberikan pesan kepada anggota masyarakat lainnya bahwa sebenarnya masyarakat tidak  melakukan kejahatan jenis baru. Wesley Cragg berpendapat bahwa efek jera dari  hukuman dapat dipahami sebagai  bentuk kontrol sosial. Sementara Philip Benn mengatakan, tujuan pencegahan adalah untuk mengancam orang lain agar tidak melakukan kejahatan di kemudian hari.

 

Selain tujuan utama pemidanaan di atas, Bentham juga mengidentifikasi tujuan pemidanaan sekunder  yang berkaitan erat dengan kemungkinan atau kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum di masa depan. Dalam konteks ini, Bentham berbicara tentang kepuasan hukum. Kepuasan yang diperoleh melalui hukuman dapat dicapai dalam dua (2) bentuk, yaitu: pertama melalui imbalan materi dan kedua melalui mengalami atau mengungkapkan perasaan balas dendam. Meski jenis pertama sulit diterapkan pada semua kasus hukum,  menurut Bentham, hukuman kompensasi uang memberikan banyak kesenangan bagi masyarakat. Uang adalah kompensasi tertentu untuk banyak kejahatan.

Bentham juga mengklasifikasikan bentuk-bentuk hukuman terhadap objek-objek yang dikutuk, seperti korupsi, yang banyak ditemukan dalam  daftar panjang undang-undang. Ada tiga pokok pokok dalam kumpulan banyak ketentuan tersebut, yaitu:

  • Pidananya tidak boleh kurang  dari jumlah yang diperlukan untuk mengganti kerugian akibat kejahatan, dan pidana yang terlalu ringan kecil kemungkinannya untuk mencegah terjadinya tindak pidana. dari terjadinya. lagi. kejahatan kejahatan serupa.
  • Semakin besar kesalahannya, semakin berat pula hukuman yang harus dijatuhkan kepada terpidana atau orang yang melakukannya.
  • Hukumannya tidak boleh lebih berat dari yang diperlukan untuk mencapai tujuan di masa depan. Inilah garis besar Bentham tentang asas kegunaan untuk menghukum terpidana atau koruptor.

Apakah dengan adanya hukuman atau penjara bagi para penjahat seperti koruptor mampu memberikan efek jera?

Seperti yang  penulis jelaskan di atas, Jeremy Betham menekankan bahwa tujuan tertinggi setiap orang dalam hidup ini adalah mencapai kebahagiaan, yang tertuang dalam The Greatest Happiness Theory dan mengacu pada hedonistic calculus  bahwa kesenangan dapat diukur atau dievaluasi untuk memudahkan pilihan antara kesenangan yang  bersaing. Seseorang dapat memilih kesenangan dengan  menggunakan perhitungan hedonistic calculus sebagai dasar pengambilan keputusannya.

Adapun karakteristik hedonistic calculus diantara lain:

  • Intensitas : apa yang dirasakan koruptor setelah melakukan kejahatan yaitu korupsi? Hal tersebut dapat ditelusuri setelah perbuatan dilakukan apakah merasa kesakitan dalam dada atau biasa saja seperti menganggap tidak ada yang terjadi.
  • Durasi : berapa lama perasaan ketidaknyamanan setelah melakukan tindakan korupsi tersebut?
  • Kepastian dan ketidakpastian : seberapa yakin pelaku koruptor merasa sangat diuntungkan dalam melakukan tindakannya, apakah pelaku merasa puas dan senang atas perbuatan yang merugikan tersebut?
  • Keakraban dan jauh dekatnya: apakah pelaku menyadari akan akibat yang ia peroleh dalam waktu dekat? Yang mengakibatkan keresahan dalam dirinya.
  • Kemurnian : apakah pelaku koruptor memikirkan konsekuensi atau karma yang akan dialaminya setelah melakukan tindakan bejad tersebut?
  • Tingkat : seberapa besar dampak buruk yang akan dialami koruptor bagi orang sekitarnya?

Jika hak setiap orang untuk ingin hidup bahagia dalam hidup ini penting, maka harus dicari hukuman  agar pelaku korupsi bisa hidup bahagia di kemudian hari. Hukuman korupsi membuat hidupnya kurang bahagia. Kebahagiaan korupsi adalah kebebasan dari hukuman. Jika kalimat itu dipenuhi, berarti nasib si koruptor akan dipotong, dipotong, dan dirantai. Inilah yang menyebabkan orang koruptor merasa kurang bahagia. Kebahagiaan membutuhkan kondisi kebebasan. 

Hukuman yang dilaksanakan harus mengarahkan koruptor ke keadaan masa depannya setelah dibebaskan. Jadi dia tidak bisa lagi melanggar hukum. Ia harus benar-benar menghargai manfaat positif dari hukuman yang diterimanya sehingga ia bebas  melakukan hal-hal yang menyenangkan saja, hal-hal yang baik, hal-hal positif yang dibutuhkan hidupnya untuk bahagia.

Apakah hukuman atau penjara bisa menjamin masa depan yang bahagia bagi para koruptor?  Salah satu pertanyaan yang sering mengganggu hati nurani kita adalah mengapa begitu banyak pengacara di dunia yang tidak memahami dimensi kebahagiaan ini. Mengapa  seorang koruptor kembali melakukan kejahatan  setelah dibebaskan? Masih  ada oknum koruptor yang  senang masuk penjara berkali-kali. Apakah orang-orang seperti itu merasa bahagia di penjara, apakah mereka suka penjara membatasi kebebasan mereka? Jika demikian, maka teori Bentham tidak berlaku untuk korupsi semacam itu.

Namun perlu dicatat, Bentham sebenarnya mengincar masa depan yang membahagiakan para korupsi, karena ia akan berusaha untuk tidak masuk penjara lagi dengan  melakukan perbuatan baik untuk mencapai kebahagiaan sejati di  masyarakat. Jadi sialnya anda jika masuk penjara berkali-kali.  Penjara tidak serta merta menjamin pelaku kejahatan  tidak akan kembali. Tapi itu bukan masalah.

Penting bagi lembaga pemasyarakatan untuk tetap berpegang pada visi inti mereka, yakni menyediakan hal-hal yang berguna bagi subjek hukum, seperti individu yang korup, terlepas dari pilihan bebas yang terkait setelah keluar dari penjara. Penjara harus tetap setia pada visi inti mereka: perlindungan mendasar terhadap manfaat hukuman. Hanya dengan cara ini penjara akan mempertahankan nilai guna yang relevan bagi para koruptor. 

Karena tindak pidana korupsi pada hakekatnya adalah tindak pidana yang melibatkan penyalahgunaan jabatan untuk memperoleh keuntungan finansial, maka pidananya tidak boleh dibatasi hanya pada pidana penjara. Makna hukuman harus berubah dari hukuman balas dendam menjadi konsep hukuman korektif. Artinya harta pidana yang dimiliki, dipergunakan dan diciptakan oleh pelaku harus digabungkan dan dimasukkan dalam pidana dan pidana yang akan dijalani. Hal ini bertujuan untuk memperkuat pencegahan dan dampak terhadap siapa saja yang mempunyai peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Dapat kita simpulkan bahwa teori Jeremy Betham sangat bermanfaat dan harus di terapkan dalam masing-masing individu meskipun terdapat kekurangan yang tidak dapat dipungkiri, namun dapat kita ketahui dari paparan diatas bahwa teori tersebut mampu membuat setiap manusia lebih berhati-hati dalam bertindak karena akan selalu ada konsekuensi yang akan dihadapinya. Selain itu juga, kita sebagai manusia menjadi lebih peduli akan orang lain dan tidak mementingkan kepentingan pribadi guna memperoleh kebahagiaan orang banyak. Teori mengenai hukuman juga dapat dijadikan acuan bagi para aparat dalam menjalankan tugas salah satunya tidak bermain hakim sendiri dan mampu mengendalikan emosi apabila sang koruptor memiliki latar belakang masa lalu yang berkaitan dengannya. Mengulik kembali mengenai tulisan Jeremy Betham bahwa hukuman yang diterima oleh koruptor atau pelaku kejahatan lainnya harus sesuai dengan peraturan yang ada sehingga tidak akan ada iri hati yang menimbulkan serangan secara tiba-tiba.

DAFTAR PUSTAKA

Bunga, M., Maroa, M. D., Arief, A., Djanggih, H., Hukum, F., & Gorontalo, U. (2019). PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. 15.

Pardede, M. (2014). Jur na l R ec hts ind ing Jur l R ec hts ind. 3(April), 85--99.

Psikologi, J., & Humanities, F. (n.d.). BAGI PRAKTIK HUKUM KONTEMPORER. 45, 299--309.

Sofhian, S. (2020). CAUSES AND CORUPTION PREVENTION: INDONESIA CASE PENYEBAB DAN PENCEGAHAN KORUPSI: KASUS INDONESIA. XIV, 65--76.

Syahril, S. N. (2021). PIDANA KORUPSI BERDASARKAN GENDER DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM Sirna Malasari yang merupakan Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung terkait kasus cessie Bank Bali yang dimaksud para penegak hukum yang berkaitan , apakah pemangkasan hukuman pidana. 217--222.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun