Mohon tunggu...
Yunita Triyani Mendrofa
Yunita Triyani Mendrofa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - S1 Akuntansi

Nama : Yunita Triyani Mendrofa NIM : 43222010178 Prodi : S1 Akuntansi Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak Kampus : Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Quiz - Diskursus Jeremy Bentham's Hedonistic Calculus dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

15 Desember 2023   06:02 Diperbarui: 15 Desember 2023   06:12 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Jeremy Bentham berpendapat bahwa dalam mencegah (mencegah) tindakan korupsi, muncul tiga (3) bentuk pengaruh, yaitu:

  • Pertama, hukuman yang diterima oleh seorang koruptor berarti ia kehilangan kesempatan untuk  mengulangi  kejahatan yang sama di masa yang akan datang. Hal ini terjadi ketika pelaku korupsi divonis penjara seumur hidup, tangannya diamputasi, atau bahkan dieksekusi  oleh  lembaga peradilan resmi.
  • Kedua, dampak hukuman juga dapat diwujudkan dalam bentuk perubahan atau reformasi terhadap koruptor. Asumsinya, hukuman tersebut berdampak dan mereformasi kecenderungan atau kebiasaan buruk pelaku korupsi, sehingga ia tidak ingin melakukan kejahatan di kemudian hari. Di sini, pikiran seseorang direformasi sehingga setelah pembebasan, ia tidak  mau atau berkeinginan untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Terpidana diduga mengalami transformasi pribadi setelah menjalani tahapan tes selama  di  penjara. 
  • Ketiga, efek jera dan efek jera. Hukuman harus mampu memberikan efek jera bagi pelaku koruptor dan sekaligus mencegah kejahatan yang dilakukan oleh calon pelaku kejahatan lainnya di  masyarakat. Hukuman ini mencegah mereka yang dibebaskan dari penjara  untuk melakukan kejahatan ilegal lagi, dan sekaligus memberikan pesan kepada anggota masyarakat lainnya bahwa sebenarnya masyarakat tidak  melakukan kejahatan jenis baru. Wesley Cragg berpendapat bahwa efek jera dari  hukuman dapat dipahami sebagai  bentuk kontrol sosial. Sementara Philip Benn mengatakan, tujuan pencegahan adalah untuk mengancam orang lain agar tidak melakukan kejahatan di kemudian hari.

 

Selain tujuan utama pemidanaan di atas, Bentham juga mengidentifikasi tujuan pemidanaan sekunder  yang berkaitan erat dengan kemungkinan atau kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum di masa depan. Dalam konteks ini, Bentham berbicara tentang kepuasan hukum. Kepuasan yang diperoleh melalui hukuman dapat dicapai dalam dua (2) bentuk, yaitu: pertama melalui imbalan materi dan kedua melalui mengalami atau mengungkapkan perasaan balas dendam. Meski jenis pertama sulit diterapkan pada semua kasus hukum,  menurut Bentham, hukuman kompensasi uang memberikan banyak kesenangan bagi masyarakat. Uang adalah kompensasi tertentu untuk banyak kejahatan.

Bentham juga mengklasifikasikan bentuk-bentuk hukuman terhadap objek-objek yang dikutuk, seperti korupsi, yang banyak ditemukan dalam  daftar panjang undang-undang. Ada tiga pokok pokok dalam kumpulan banyak ketentuan tersebut, yaitu:

  • Pidananya tidak boleh kurang  dari jumlah yang diperlukan untuk mengganti kerugian akibat kejahatan, dan pidana yang terlalu ringan kecil kemungkinannya untuk mencegah terjadinya tindak pidana. dari terjadinya. lagi. kejahatan kejahatan serupa.
  • Semakin besar kesalahannya, semakin berat pula hukuman yang harus dijatuhkan kepada terpidana atau orang yang melakukannya.
  • Hukumannya tidak boleh lebih berat dari yang diperlukan untuk mencapai tujuan di masa depan. Inilah garis besar Bentham tentang asas kegunaan untuk menghukum terpidana atau koruptor.

Apakah dengan adanya hukuman atau penjara bagi para penjahat seperti koruptor mampu memberikan efek jera?

Seperti yang  penulis jelaskan di atas, Jeremy Betham menekankan bahwa tujuan tertinggi setiap orang dalam hidup ini adalah mencapai kebahagiaan, yang tertuang dalam The Greatest Happiness Theory dan mengacu pada hedonistic calculus  bahwa kesenangan dapat diukur atau dievaluasi untuk memudahkan pilihan antara kesenangan yang  bersaing. Seseorang dapat memilih kesenangan dengan  menggunakan perhitungan hedonistic calculus sebagai dasar pengambilan keputusannya.

Adapun karakteristik hedonistic calculus diantara lain:

  • Intensitas : apa yang dirasakan koruptor setelah melakukan kejahatan yaitu korupsi? Hal tersebut dapat ditelusuri setelah perbuatan dilakukan apakah merasa kesakitan dalam dada atau biasa saja seperti menganggap tidak ada yang terjadi.
  • Durasi : berapa lama perasaan ketidaknyamanan setelah melakukan tindakan korupsi tersebut?
  • Kepastian dan ketidakpastian : seberapa yakin pelaku koruptor merasa sangat diuntungkan dalam melakukan tindakannya, apakah pelaku merasa puas dan senang atas perbuatan yang merugikan tersebut?
  • Keakraban dan jauh dekatnya: apakah pelaku menyadari akan akibat yang ia peroleh dalam waktu dekat? Yang mengakibatkan keresahan dalam dirinya.
  • Kemurnian : apakah pelaku koruptor memikirkan konsekuensi atau karma yang akan dialaminya setelah melakukan tindakan bejad tersebut?
  • Tingkat : seberapa besar dampak buruk yang akan dialami koruptor bagi orang sekitarnya?

Jika hak setiap orang untuk ingin hidup bahagia dalam hidup ini penting, maka harus dicari hukuman  agar pelaku korupsi bisa hidup bahagia di kemudian hari. Hukuman korupsi membuat hidupnya kurang bahagia. Kebahagiaan korupsi adalah kebebasan dari hukuman. Jika kalimat itu dipenuhi, berarti nasib si koruptor akan dipotong, dipotong, dan dirantai. Inilah yang menyebabkan orang koruptor merasa kurang bahagia. Kebahagiaan membutuhkan kondisi kebebasan. 

Hukuman yang dilaksanakan harus mengarahkan koruptor ke keadaan masa depannya setelah dibebaskan. Jadi dia tidak bisa lagi melanggar hukum. Ia harus benar-benar menghargai manfaat positif dari hukuman yang diterimanya sehingga ia bebas  melakukan hal-hal yang menyenangkan saja, hal-hal yang baik, hal-hal positif yang dibutuhkan hidupnya untuk bahagia.

Apakah hukuman atau penjara bisa menjamin masa depan yang bahagia bagi para koruptor?  Salah satu pertanyaan yang sering mengganggu hati nurani kita adalah mengapa begitu banyak pengacara di dunia yang tidak memahami dimensi kebahagiaan ini. Mengapa  seorang koruptor kembali melakukan kejahatan  setelah dibebaskan? Masih  ada oknum koruptor yang  senang masuk penjara berkali-kali. Apakah orang-orang seperti itu merasa bahagia di penjara, apakah mereka suka penjara membatasi kebebasan mereka? Jika demikian, maka teori Bentham tidak berlaku untuk korupsi semacam itu.

Namun perlu dicatat, Bentham sebenarnya mengincar masa depan yang membahagiakan para korupsi, karena ia akan berusaha untuk tidak masuk penjara lagi dengan  melakukan perbuatan baik untuk mencapai kebahagiaan sejati di  masyarakat. Jadi sialnya anda jika masuk penjara berkali-kali.  Penjara tidak serta merta menjamin pelaku kejahatan  tidak akan kembali. Tapi itu bukan masalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun