Di dalam mobil yang kubawa, aku berkali-kali mencuri pandang melalui sudut mata kiriku. Menelusuri wajah cekung Naira yang telah bertekad bulat. Hatiku terasa nyeri memandanginya. Seandainya saja aku berjuang lebih keras dulu untuk mendapatkannya.
“Aku akan mengakhiri segalanya saat kami bertemu nanti,” ucapnya dingin.
Aku mendengarkan.
“Aku memutuskan ini karena aku tak pernah memercayai kata-kata filsuf yang kau ucapkan dulu,” sambungnya.
“Filsuf?” Aku sedikit tercengang. Tak siap akan pembicaraan ini.
“Bahwa kematian seseoranglah yang membuat dirinya bermakna dan membawanya pada kebahagiaan,” ia berkata, “Heidegger bodoh itu.”
Aku tertawa kecil. “Ya, aku senang karena kau tak memercayainya. Tapi Heidegger tak bodoh.”
Naira tersenyum kecil. Ia selalu tersenyum sekecil itu seingatku.
Melihatnya begitu rapuh, rasanya aku ingin menangis keras-keras jika saja ia tak sedang berada di sampingku.
“Naira,” suaraku berderak tanpa bisa kutahan.
Naira menoleh. Menunggu.