“Kau tahu, aku tetap berdiri di tempat yang sama, untukmu.”
“Jangan... mencintaiku,” jawabnya tercekat. Ia mengusap perutnya seolah mencari kekuatan.
“Jangan menghalangi jalanku lagi, Naira. Jangan!”
“Aku akan menyelesaikan ini dulu,” suaranya melembut. Menahanku.
Hujan di senja itu mereda. Dari kaca spion aku melihat punggungnya menghadapku, menjauh. Saat aku menoleh ke belakang, ia telah berbelok masuk ke sebuah gang.
***
Tanah basah. Hujan selalu menguarkan bau khas yang sejak kini kunamai dengan bau kesedihan. Sejak pertemuan terakhirku dengannya, hingga kini aku masih mengutuki kenyataan diriku yang lemah dan tak mampu menjadi lelakinya.
Tahukah ia kalau selama ini ia telah menghunjamku dengan telak melalui kata-katanya, “Jangan mencintaiku...”
Karena dengan kata-kata itu ia telah mendorongku menjauh sebelum aku berhasil mendekat. Ia membuatku bersimpuh pada tanah merah pusaranya, dan menangis sejadinya menyesali banyak ketidakbecusanku memperjuangkan cinta.
Seandainya saja ia tak bertemu lelaki itu lebih dulu, seandainya saja aku berani menyambar tangannya dan berlari menjauhi segala penderitaannya, seandainya saja aku tak mengijinkannya keluar dari mobilku, seandainya saja aku tahu apa yang akan terjadi dan melindunginya dari mata pisau suaminya... Seandainya saja aku adalah lelaki yang lebih baik dari diriku sekarang.
Aku tak pernah tahu apakah belenggu di hatiku ini bisa lepas.