Tanganku mengusap pipinya lembut. Merengkuhnya sedekat mungkin. Memasukkannya dalam sendi hidupku. Memeluknya membuatku membaca lukanya, membuatku merasa tertikam luka yang sama. Tapi anehnya, di saat yang sama aku menyadari kalau pelukan ini tak akan meredakan apapun. Semua tak akan berubah.
“Kita tak bisa bersama lagi,” suaranya patah. “Aku akan menikah dengan orang lain.”
“Jangan lakukan itu, Naira.” Aku mempererat pelukanku. Panik.
Ia menggeleng kukuh. Wajahnya basah oleh air mata. “Aku harus melakukannya demi orangtuaku. Mereka lebih penting dari diriku, atau dirimu.”
Didorongnya dadaku menjauh. Dada yang kini terasa beterbangan ketika ia berkata, “Jangan jatuh cinta padaku.”
“Aku tak akan jatuh cinta padamu. Aku hanya akan berdiri di tempat yang sama, mencintaimu dengan caraku. Karena bagiku mencintai adalah menjadi sesuatu bagi orang yang dicintainya. Bukannya jatuh, karena jatuh berarti bisa berdiri, melangkah lagi, dan pergi.”
Ia tak berkata apa-apa. Hanya mengusap sisa air matanya, dan membiarkanku menatap punggungnya yang menjauh pergi.
Sehelai daun jatuh di bawah kakiku. Aku menatap kosong.
***
Naira resign dari kantor keesokan paginya, dan menutup seluruh kemungkinanku mendekatinya. Sampai tiga tahun kemudian suaranya mendesak di telepon. “Temui aku,” nafasnya patah-patah.
Tubuhku menegang. Untuknya, aku masih lelaki yang sama dengan diriku dulu.