Aku pasti tersihir, karena ketika ia seolah mengusirku, aku justru berkata, “Aku juga sedang membutuhkan hujan,” ujarku. Melipat payung dan menjejalkannya ke dalam ranselku.
Ia tak menatapku, tak berbicara lagi padaku, tak juga menolakku. Hanya membawa langkahnya menyusuri setapak basah di luar jalur trotoar. Sementara aku mengikutinya dari belakang, sambil menimbang apa yang sebaiknya kulakukan atau kukatakan. Lalu aku memilih untuk berhenti, dan mengikutinya dari pandangan hingga ia menghilang.
Tapi itulah awal kedekatan kami. Kedekatan yang tercipta dari senyum, anggukan sopan, obrolan-obrolan sederhana di sela jam makan siang, yang tak terasa telah berlangsung selama dua bulan.
Kali kedua aku berada di restoran Jepang itu, aku telah duduk disana bersama Naira.
“Aku benci wasabi,” ujarnya sebelum sashiminya datang.
“Uap senyawa dalam wasabi bisa membangunkan orang yang kehilangan kesadaran,” aku terkekeh.
Ia hanya tersenyum kecil.
Menatap wajah Naira hatiku bergetar. Wajah itu selalu menampilkan ekspresi tak terbaca, yang bagiku justru seperti sebuah pusaran yang menyedotku ke sebuah petualangan jiwa yang tak bisa kutebak.
Malam itu di luar hujan sedang menderas. Tiba-tiba hujan itu mengingatkanku pada gadis yang berdiri di bawahnya dua bulan yang lalu. Ingatan itu membuatku ingin merengkuhnya.Seperti ada dorongan tak terbendung dari dalam diriku, berkata tanpa tahu malu, “Hujan yang turun selalu mengingatkanku padamu. Ingatan barangkali alat pembunuh terkejam yang diciptakan Tuhan, karena entah kenapa aku selalu merasa tak berdaya saat ingatan ini tentangmu.”
Ia sepertinya diciptakan dari bongkahan gunung es, atau tebing batu karang. Karena ia hanya tersenyum kecil seolah terbiasa mendengar setiap lelaki yang ditemuinya melontarkan rayuan untuknya dimana saja.
Aku tertegun dan hendak memperbaiki sikapku yang mungkin terkesan kurangajar dan membuatnya salah paham, ketika tiba-tiba handphonenya menderingkan lagu Endless Love. Pada seseorang di seberang,ia berbicara dengan nada patuh, menjelaskan posisinya, meminta maaf, dan kembali memasukkan handphone ke dalam tas selempang rajutnya. Aku menduga dengan tak suka, mungkin kekasihnya yang menanyakan keberadaannya. Menanti kedatangannya dengan gelisah dan cemas.