Mohon tunggu...
Yuniar Khairani
Yuniar Khairani Mohon Tunggu... lainnya -

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aroma Kesedihan

2 April 2015   11:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:38 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam mobil yang kubawa, aku berkali-kali mencuri pandang melalui sudut mata kiriku. Menelusuri wajah cekung Naira yang telah bertekad bulat. Hatiku terasa nyeri memandanginya. Seandainya saja aku berjuang lebih keras dulu untuk mendapatkannya.

“Aku akan mengakhiri segalanya saat kami bertemu nanti,” ucapnya dingin.

Aku mendengarkan.

“Aku memutuskan ini karena aku tak pernah memercayai kata-kata filsuf yang kau ucapkan dulu,” sambungnya.

“Filsuf?” Aku sedikit tercengang. Tak siap akan pembicaraan ini.

“Bahwa kematian seseoranglah yang membuat dirinya bermakna dan membawanya pada kebahagiaan,” ia berkata, “Heidegger bodoh itu.”

Aku tertawa kecil. “Ya, aku senang karena kau tak memercayainya. Tapi Heidegger tak bodoh.”

Naira tersenyum kecil. Ia selalu tersenyum sekecil itu seingatku.

Melihatnya begitu rapuh, rasanya aku ingin menangis keras-keras jika saja ia tak sedang berada di sampingku.

“Naira,” suaraku berderak tanpa bisa kutahan.

Naira menoleh. Menunggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun