"Untuk pelukis sehebat kamu, tidak sulit melukis permaisuri rajanya," ucap Prabu Brawijaya membangkitkan kepercayaan diri Prabangkara. "Kamu akan melukis di rumahmu tanpa melihat permaisuri. Kamu sanggup ?"
Tanpa berpikir panjang, Prabangkara menyanggupinya. "Hamba sanggup Baginda Prabu."
Prabu Brawijaya tersenyum lebar. "Lukisan itu akan menjadi hadiah istimewa  yang kupersembahkan untuk permaisuri. Aku ingin menunjukkan besarnya cintaku padanya," dia berhenti sejenak untuk melihat wajah Prabangkara. "Karena kamu pelukis hebat di negeri ini, aku ingin menguji kehebatanmu. Aku akan memberikan tantangan padamu untuk melukis permaisuri tanpa busana. Ingat,  kamu harus melukis di rumahmu sendiri dan  tidak boleh melihat permaisuri."
Mendengar permintaan rajanya, Prabangkara terdiam beberapa lama. Ingatannya berusaha keras mengumpulkan gambaran wajah permaisuri. Dia baru sekali bertemu langsung dengan permaisuri ketika mengantarkan lukisan ke rumah salah satu petingi kerajaan. Pada waktu itu permaisuri sedang mengadakan pertemuan di sana.Â
Postur tubuhnya tinggi semampai dengan sepasang kaki panjang yang mengecil di bagian bawahnya. Kecantikannya yang tak terkira membuat siapa saja yang memandangnya akan terkesima. Â Rambutnya disanggul sehingga seluruh paras wajahnya terlihat jelas.Â
Matanya  berbinar-binar memancarkan pesona dan kharisma seorang bangsawan. Sewaktu tersenyum dia terlihat begitu anggun dengan bibir bagian bawah yang menggantung dan lebih tebal dari bibir atasnya. Bentuk wajahnya bulat telur dengan dagu runcing tetapi sepasang pipinya kelihatan montok. Hanya itulah  gambaran keseluruhan yang diingatnya dari permaisuri.
"Bagaimana ? Kamu perlu waktu berapa lama untuk menyelesaikan lukisan permaisuri tanpa busana?" suara Prabu Brawijaya menggetarkan dadanya. Sebuah tantangan yang tidak mudah untuknya. Jika dia menolak mengerjakan lukisan itu, entah hukuman apa yang akan diterimanya. Semua orang  pasti akan mengejeknya karena tidak sanggup memenuhi permintaan raja.
"Beri saya waktu satu  bulan," dia memohnon sambil menyembah.
"Satu bulan?" Prabu Brawijaya terkejut mendengarnya. "Itu terlalu lama. Kuberi waktu kamu dua minggu. Lukisan itu dibuat di atas kain dengan  pewarna dan dipigura. Kamu bisa minta bagian perlengkapan istana untuk menyiapkan kain, pewarna  dan pigura. Setelah lukisan selesai, kamu sendiri yang mengantarkan ke istana. Lukisan harus kamu bungkus rapat dan langsung kamu serahkan kepadaku. Hanya aku yang boleh melihat lukisan itu. Ingat, jangan ada orang lain yang melihatnya selain aku!"
Wajah Prabangkara pucat setelah mendengar permintaan Prabu Brawijaya tetapi dia tak kuasa menolaknya. Pertemuan mereka pun berakhir tak lama berselang. Langkah kakinya gontai meninggalkan istana. Sampai-sampai dia hampir melupakan kudanya yang setia mengantarkannya pulang. Pelan-pelan dia memacu kudanya menuju rumahnya.
Istrinya ternyata sudah menyambutnya dengan wajah cerah. Tentu saja dia tahu kalau banyak lukisan yang terjual pasti juga suaminya mengantongi banyak uang.  Semua orang membicarakannya  karena selama pameran banyak pengunjung yang minta dilukis. Semakin banyak saja uang suaminya sekarang.Â