Kedua murid setianya tidak bisa membantunya melukis karena memang bukan keahliannya. Mereka hanya menemani pengunjung yang berkeliling melihat lukisan-lukisan yang tergantung di dinding. Jika ada yang bertanya, mereka bisa menjelaskan cerita di balik gambar itu.
Setelah pameran ditutup sore itu, Satrio dan Nendra menurunkan semua lukisan dari dinding kemudian membawanya pulang dengan kereta pinjaman. Sebagian lukisan laku terjual sehingga masih ada tempat  untuk mereka berdua duduk di dalam kereta.Â
Sementara Prabangkara bergegas ke istana untuk bertemu Prabu Brawijaya. Mudah-mudahan ada kabar baik  untuknya dari Baginda. Barangkali beliau berkenan memesan lukisan padanya, begitulah harapannya.
Prabangkara harus menunggu beberapa lama di pendopo istana  sebelum Prabu Brawijaya menemuinya. Begitu rajanya datang, segera dia memberikan penghormatan  dengan menundukkan kepala sambil menyembahnya.Â
Prabu Brawijaya mengangguk-angguk lagi sambil tersenyum seperti yang dilakukan tadi siang di ruang pameran. Tak lama kemudian dia menyuruh punggawa kerajaan yang berada di sana untuk meninggalkan tempat. Nampaknya beliau hanya ingin berbicara berdua dengan Prabangkara.
"Melihat keahlianmu melukis orang , aku lantas terpikir untuk memintamu melukis istriku. "
"Baik Prabu, Â hamba akan melakukan dengan sebaik-baiknya," balasnya dengan tegas.
"Apakah kamu harus melihat orang yang kamu lukis ?" tanya Prabu Brawijaya agak mencengangkan Prabangkara. Bukankah beliau sudah melihat sendiri bagaimana cara dia melukis?
"Bagaimana saya bisa melukis kalau tidak melihat apa yang akan saya lukis?" Prabangkara ganti bertanya.
"Kamu adalah pelukis ternama. Pasti kamu juga pelukis yang hebat," pujinya dengan senyuman mencibir. "Bukankah kamu sudah pernah melihat istriku ?
"Betul Baginda Prabu, tetapi hanya sekilas ," jawabnya takut-takut.