Ternyata Satria memang menepati janjinya. Tidak hanya membantu agar bisa mengadakan pameran di istana, dia juga membantu membawa semua lukisan yang akan dipamerkan Prabangkara . Dia meminjam kereta kuda dari Pamannya untuk membawa semua lukisan itu.Â
Nendra tak ketinggalan ikut membantu mengatur penempatan lukisan di gedung pameran. Selama tiga hari pameran berlangsung, baik Nendra maupun Satria menemani Prabangkara menjaga pameran.
Seperti harapan mereka, banyak pengunjung pameran yang minta dilukis. Karena itu, Prabangkara harus selalu siap di sana dengan kertas dan peralatan melukisnya. Kebanyakan yang minta dilukis adalah pengunjung wanita tetapi beberapa pria bangsawan pun tertarik untuk dilukis dengan pakaian kebesaran mereka. Â
Untuk karyanya itu, Prabangkara menerima bayaran yang lumayan banyak sehingga dia tidak merasa sayang untuk memberikan sebagian uang yang diterimanya kepada dua murid kesayangannya. Tentu saja hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan istrinya.  Dia masih  meragukan kebaikan hati sang istri untuk bisa berbagi dengan sesama.  Â
Pada hari ke tiga pameran, Prabu Brawijaya datang ke gedung pameran untuk melihat-lihat lukisan yang dipajang di sana. Dari raut wajahnya yang sumringah nampaknya Baginda raja sangat terkesan dengan lukisan karya Prabangkara.Â
Apalagi ketika dia melihat antrian pengunjung yang minta dilukis. Bergegas beliau mendekati kerumunan di pojok gedung pameran. Menyaksikan dari dekat bagaimana Prabangkara melukis di atas kertas.  Hasilnya benar-benar sempurna . Dia berhasil memindahkan  wajah asli orang di hadapannya ke atas kertas  melalui goresan tangannya.
"Apakah kamu bisa melukis  menggunakan bahan selain kertas?" tanya Prabu Brawijaya.
Mendengar pertanyaan dari sang raja, Prabangkara segera menghentikan kegiatannya melukis. Terlebih dulu dia memberikan hormat sebelum menjawab. "Bisa Baginda."
Prabu Brawijaya mengangguk-angguk sambil tersenyum. " Datanglah ke istana sore ini setelah pameran selesai."
"Baik Baginda Prabu," suara Prabangkara bergetar  antara senang dan khawatir.
Waktu pun berlalu dengan cepat  hingga tak terasa hari sudah menjelang sore. Sedari pagi Prabangkara melayani permintaan pengunjung untuk dilukis. Hanya sesekali dia beristirahat untuk makan dan minum.Â