Karir militer Malahayati terus menanjak hingga ia menduduki jabatan tertinggi di angkatan laut Kerajaan Aceh kala itu. Sebagaimana layaknya para pemimpin jaman itu, Laksamana Malahayati turut bertempur di garis depan melawan kekuatan Portugis dan Belanda yang hendak menguasai jalur laut Selat Malaka.
Di bawah kepemimpinan Malahayati, Angkatan Laut Kerajaan Aceh terbilang besar dengan armada yang terdiri dari ratusan kapal perang. Adalah Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang tiba di Indonesia, pada kunjungannya yang ke dua mencoba untuk menggoyang kekuasaan Aceh pada tahun 1599. Cornelis de Houtman yang terkenal berangasan, kali ini ketemu batunya. Alih-alih bisa meruntuhkan Aceh, armadanya malah porak poranda digebuk armada Laksamana Malahayati. Banyak orang-orangnya yang ditawan dan Cornelis de Houtman sendiri mati dibunuh oleh Laksamana Malahayati pada tanggal 11 September 1599.
Selain armada Belanda, Laksamana Malahayati juga berhasil memukul mundur armada Portugis. Reputasi Malahayati sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan membuat Inggris yang belakangan masuk ke wilayah ini, memilih untuk menempuh jalan damai. Surat baik-baik dari Ratu Elizabeth I yang dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh, membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan ini membuat James Lancaster dianugrahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.
Ketika Negara-negara maju dan kita sendiri sering kali masih berteriak dengan masalah-masalah kesetaraan gender yang kemudian menjamur di era keterbukaan informasi terutama pada Negara yang berkembang dewasa ini, tanpa kita sadari wilayah nusantara telah lama mempunyai pahlawan gender yang luar biasa. Laksamana perang wanita pertama di dunia.
Nama Malahayati saat ini terserak di mana-mana, sebagai nama jalan, pelabuhan, rumah sakit, perguruan tinggi dan tentu saja nama kapal perang. KRI Malahayati, satu dari tiga fregat berpeluru kendali MM-38 Exocet kelas Fatahillah. Bahkan lukisannya diabadikan di museum kapal selam surabaya. Meskipun demikian, entah kenapa tak banyak yang mengenal namanya. Laksamana Malahayati “grande dame” (perempuan yang agung) begitu julukan Protugis terhadapnya sebagai wujud penghormatan. Pahlawan emansipasi yang terlupakan.
Lihatlah perempuan tanpa jari-jari kuat dan tubuh berotot, perempuan dengan kelembutannyapun mampu berperang melebihi kemampuan laki-laki bahkan menjadi pemimpin ratusan prajurit.
Jiwa keibuannya melahirkan sebuah kepemimpinan yang handal dan kelembutannya mampu mengayunkan pedang menghunus tepat dijantung lawan.
Kemudian kita meloncat pada tokoh lainnya yang juga luar biasa
Benazir Bhutto
Namanya diambil dari bahasa Urdu, dia lahir di Karachi, 21 Juni 1953 – meninggal di Rawalpindi, Pakistan, 27 Desember 2007 pada umur 54 tahun adalah perempuan pertama yang memimpin sebuah negara Muslim di masa pasca-kolonial. Bhutto yang karismatis terpilih sebagai Perdana Menteri Pakistan pada 1988, namun 20 bulan kemudian ia digulingkan oleh presiden negara itu yang didukung militer, Ghulam Ishaq Khan, yang secara kontroversial menggunakan Amandemen ke-8 untuk membubarkan parlemen dan memaksa diselenggarakannya pemilihan umum. Bhutto terpilih kembali pada 1993 namun tiga tahun kemudian diberhentikan di tengah-tengah berbagai skandal korupsi oleh presiden yang berkuasa waktu itu, Farooq Leghari, yang juga menggunakan kekuasaan pertimbangan khusus yang diberikan oleh Amandemen ke-8.
Benazir lahir di era di mana perempuan masih menjadi kasta kedua pada masyarakat patriarki kental dinegaranya.